Jakarta, LINews – Diakui atau tidak kondisi negara kita saat ini memang tidak sedang baik baik saja. Dari sisi ekonomi dan keuangan negara cukup membuat kita harus mengelus dada. Apalagi efek dari merebaknya virus corona telah menguras simpanan keuangan negara.
Uang negara banyak terkuras bukan hanya karena efek sebaran virus corona tetapi juga akibat membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) disebabkant naiknya harga minyak dunia. Belum lagi kewajiban pemerintah yang harus mengembalikan dana haji, dana Jaminan Hari Tua (JHT), dana pensiun yang dipinjam oleh pemerintah dan yang lain lainnya. Selain itu juga pemerintah harus mengembalikan dana bank yang dipinjam pemerintah sekitar Rp 1.500 triliun nilainya.
Satu atau dua tahun kedepan, pengeluaran pemerintah bakal semakin membengkak jumlahnya karena adanya pemilu serentak tahun 2024 yang tentu saja perlu dana. Belum lagi tahun mendatang itu akan banyak sekali perusahaan yang harus disuntik dana PMN (penyertaan modal negara).
Sebab kalau tidak disuntik, BUMN itu dikuatirkan akan banyak yang gulung tikar alias menemui ajalnya. Secara urutan yang bangkrut karena utang sangat besar tersebut adalah Garuda, BUMN Karya, Krakatau Steel,PTPN, angkasa pura, BUMN tambang, PLN dan Pertamina.
Lalu dari mana uangnya untuk bayar itu semua? Sejauh ini untuk mengatasi pandemi virus corona Pemerintah harus nambah utang Rp. 1000 triliun jumlahnya. Jumlah utang akan terus bertambah sehingga diperkirakan sampai 10.000 triliun pasca lengsernya pemerintah yang sekarang berkuasa. Dari utang pemerintah yang sekarang sekitar 7000 triliun, pemerintah saat ini harus bayar bunga utang sekitar 400 triliun pertahunnya.
Selain utang, Pemerintah saat ini tengah berusaha keras menaikkan pajak yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen untuk menambah pemasukan bagi kas negara. Tapi nampaknya usaha ini akan sia sia. Karena kenaikan PPN akan menekan konsumsi masyarakat sebagai penyumbang terbesar atau 60 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia. PPN 11 persen akan kontra produktif dengan usaha memulihkan ekonomi yang saat ini sedang berupaya digenjot pencapaiannya.
Kebijakan menaikkan pajak PPN 11 persen juga dinilai ironis ditengah adanya upaya pemerintah di berbagai belahan dunia lain yang justru menghapus pajak dalam rangka mendongkrak daya beli dan konsumsi rakyatnya. Sebagai contoh di AS seluruh pajak yang berkaitan dengan BBM dihapus saat ini sampai 6 bulan ke depan untuk meningkatkan konsumsi warganya.
Salah satu sumber dana yang potensial didapatkan untuk pemasukan ke kas negara adalah dengan menyita aset aset para bandit perampok kekayaan alam Indonesia yang disimpan di mancanegara. Kekayaan para koruptor yang disimpan di mancanegara itu jumlahnya luar biasa besarnya sampai dengan 11 ribu triliun nilainya. Sekurang kurangnya itulah jumlah yang pernah disebut oleh Presiden Jokowi sebagai potensi nilai uang yang bisa dibawa pulang ke Indonesia melalui perjanjian timbal balik bidang hukum alias mutual legal assistance (MLA).
Lalu apa itu perjanjian timbal balik bidang hukum alias mutual legal assistance (MLA)? Sejauhmana mekanisme MLA ini bisa mengembalikan aset aset negara yang disimpan para koruptor di mancanegara ? Meskipun Undang Undang terkait dengan MLA sudah disahkan namun hingga kini nyatanya belum optimal dilaksanakan sehingga belum mampu menambah pemasukan uang untuk negara, lalu apa kira kira kendalanya? Dengan banyak ragam kendala, benarkah realisasi perjanjian MLA pada akhirnya hanya merupakan utopia belaka ?
Apa itu MLA?
Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) adalah permintaan bantuan berkenan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, sampai dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana yang berada di negara lain, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku bagi kedua negara.
MLA merupakan salah satu dari lima bentuk kerja sama internasional menurut Konvensi PBB tentang korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.UNCAC merupakan dasar dari penyelenggaraan pemberantasan tindak pidana korupsi transnasional/ antar negara. Pentingnya Konvensi ini disadari oleh pemerintah Indonesia yang berperan aktif untuk terlibat menandatangani dan meratifikasinya menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
Pada tahun 2003 pula Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Mutual Legal Assistance In Criminal Matters dimana Undang-undang ini menjadi dasar hukum Pemerintah Indonesia dalam meminta maupun memberikan bantuan timbal balik dan menjadi pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dengan negara lain di dunia.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, permintaan bantuan timbal balik melingkupi penggeledahan, penyitaan, perampasan, mencari, dan membekukan aset hasil tindak pidana. Bantuan timbal balik tidak memberi wewenang untuk melakukan ekstradisi atau penyerahan orang, hanya pengembalian aset terkait tindak pidananya saja.
Narasumber : Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI