Oleh : Veronica
Jalan hidup Kepolisian Republik Indonesia pascareformasi berubah total. Mulai dari berpisah dengan militer, hingga bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Polri pun dinilai menjadi anak emas buah reformasi.
Perubahan jalan hidup itu dimulai ketika Presiden B.J Habibie melalui instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 menyatakan Polri dipisahkan dari ABRI. Dengan begitu, Polri bukan lagi angkatan perang.
Sejak 1 April 1999, Polri berada di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).
Setahun kemudian ketika TAP MPR Nomor VI/2000 serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 menyatakan kemandirian Polri berada di bawah Presiden langsung, bukan lagi Dephankam.
Pun demikian pada 8 Januari 2002, diterbitkan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. UU Polri itu di antaranya berisi tentang pengangkatan Kapolri harus disetujui DPR serta dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional untuk membantu Presiden membuat kebijakan dan memilih Kapolri.
Satu hal paling kentara dari kemandirian Polri adalah alokasi anggaran setiap tahunnya. Setelah berpisah dari ABRI dan memiliki regulasi sendiri, Korps Bhayangkara selalu mendapatkan alokasi anggaran dalam APBN yang lebih besar dibandingkan saudaranya, TNI, yang masih berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) hingga saat ini.
Padahal, TNI masih harus membagi total anggaran yang dialokasikan oleh Kemenhan untuk tiga matra, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), serta Angkatan Udara (AU).
Anggaran itu tergolong besar tiap tahunnya hingga hari ini. Bahkan di era kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden RI atau sejak 2015, Polri selalu mendapatkan alokasi anggaran di atas Rp60 triliun. Nominal anggaran terbesar dari 2015 hingga 2020 dialokasikan untuk Polri pada 2020, yakni sebesar Rp104,7 triliun.
Secara rinci, anggaran Polri yang dialokasikan APBN selama pemerintahan Jokowi, yakni Rp62 triliun pada 2015, Rp78 triliun pada 2016, Rp94 triliun pada 2017, Rp98,1 triliun pada 2018, Rp94,3 triliun pada 2019, serta Rp104,7 triliun pada 2020.
Untuk 2021, Polri mengajukan alokasi anggaran sebesar Rp100,5 triliun. Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Komisaris Jenderal Gatot Eddy mengatakan bahwa alokasi anggaran itu akan digunakan untuk belanja pegawai, barang, serta modal.
Pengamat kepolisian dari Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengakui bahwa Polri telah menjadi anak emas pascareformasi, khususnya dengan alokasi anggaran yang besar.
Menurutnya, sejak era Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri hingga saat ini anggaran yang dialokasikan untuk Polri telah mengalami peningkatan hingga 2.000 persen.
Namun, kata Neta, hal itu tidak berjalan lurus dengan peningkatan kinerja Polri. Menurutnya, kinerja Polri dalam penegakan hukum masih kedodoran serta jauh dari jargon ‘Profesional, Modern, dan Terpercaya (Promoter)’ yang senantiasa digaungkan sejak era kepemimpinan Tito Karnavian sebagai Kapolri.
“Apakah itu berbanding lurus dengan kinerja? Enggak juga, masih kedodoran, jauh dari Promoter,” ucap Neta di kutip dari CNNIndonesia, Senin (29/6).
Bahkan, ia menyayangkan, organisasi Polri justru semakin tambun dengan postur APBN yang besar. Neta mengibaratkan, Polri bak raksasa yang sulit bergerak jika melihat kinerjanya yang sangat tidak efisien dan tak menguntungkan masyarakat.
“Lebih parahnya semakin tambun, Polri jadi seperti raksasa yang sulit bergerak,” ujarnya.
Menurut Neta, hal itu bisa dilihat dari jumlah perwira tinggi Polri yang semakin banyak dan peningkatan status seluruh satuan kepolisian tingkat daerah (polda) dari tipe B ke A.
“Padahal (Polda) Bengkulu sama (Polda) Metro Jaya itu kan situasinya berbeda, tapi (sekarang) sama-sama tipe A dan dijabat jenderal bintang dua (inspektur jenderal). Ini sangat tidak efisien, tidak menguntungkan masyarakat, [dan] sangat tidak sehat bagi Polri,” tutur Neta.
Dominasi Penegakan Hukum
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengatakan predikat anak emas terhadap Polri mulai terlihat secara jelas di era pemerintahan Jokowi.
Menurut dia, Polri tidak terlalu terlihat menjadi anak emas di era Presiden RI sebelumnya pascareformasi, termasuk di era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sayangnya, penyematan predikat itu tidak disertai dengan kontrol penggunaan anggaran yang baik. Bahkan Bambang menilai predikat anak emas di era Jokowi membuat Polri menjadi sangat mendominasi dalam penegakan hukum.
“Di zaman SBY relatif masih bagus [tidak menjadi anak emas]. Hanya ini tidak berkembang menjadi kebaikan, sehingga Polri jadi sangat dominan dalam penegakan hukum karena dia langsung di bawah Presiden,” ujarnya.
“Akibatnya anggaran pun dari negara langsung turun ke Polri, kontrolnya sangat minim,” tutur Bambang.
Dia menyatakan Polri di bawah kepemimpinan Jokowi juga terlihat diseret dalam kepentingan yang bersifat pragmatis. Hal tersebut membuat Polri cenderung tidak bisa menjaga jarak diri dengan kepentingan sarat politik.
Selain itu, kata Bambang, hal tersebut juga menjatuhkan citra Polri di mata publik karena kepentingan politik dari setiap langkah hukum yang diambil lebih terlihat menonjol dibanding penegakan hukum itu sendiri.
“Ketika ada konflik kepentingan, akhirnya di mata publik akan muncul persepsi kepentingan politik lebih menonjol karena ada konflik kepentingan. Bagaimana membedakan kepentingan penegakan hukum murni dan kepentingan politik yang di luar hukum itu sendiri,” katanya.