Jakarta, LINews – Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis analisis pemetaan kepatuhan para pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) DPR dalam melaporkan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Hasilnya, sebanyak 55 dari 86 orang yang menjabat pimpinan AKD DPR dikategorikan tidak patuh melaporkan LHKPN.
Adapun termin waktu yang dijadikan objek pemantauan kepatuhan selama 2019-2021. Rentang waktu pencarian dan pengumpulan data dilakukan pada Maret 2023.
Subjek pemantauan ICW ini adalah pimpinan di 8 AKD DPR. AKD tersebut adalah pimpinan DPR, pimpinan Komisi, pimpinan Baleg, pimpinan Banggar, pimpinan BURT, pimpinan BKSAP, pimpinan BAKN, dan pimpinan MKD.
“Bagaimana hasil Pemetaan yang ICW lakukan pada bulan Maret lalu. Ternyata dari total 86 pimpinan AKD hanya 31 orang dikategorikan patuh. Sedangkan yang tidak patuh angkanya sampai 55 orang,” papar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam acara peluncuran penelitian ICW secara daring, Minggu (9/4/2023).
Kurnia menekankan perlunya penerapan sanksi terhadap para anggota DPR yang tidak patuh melaporkan LHKPN-nya. Menurutnya, hal ini menunjukkan tak sedikit anggota DPR yang tidak menjalankan kewajibannya terkait pelaporan LHKPN.
“Tentu ini harus dipikirkan lagi bagaimana penerapan sanksi tersebut dan juga angka 55 ini bahkan melebihi 50%, menunjukkan anggota DPR tidak mengimplementasikan kewajiban yang mereka buat sendiri dalam UU 28/1999,” katanya.
Lebih lanjut, Kurnia menyebutkan ada 4 jenis ketidakpatuhan pelaporan LHKPN dalam analisisnya itu. “Jenis ketidakpatuhan LHKPN yang ICW pantau ada 4. Pertama, tidak tepat waktu. Kedua, tidak berkala. Ketiga, tidak tepat waktu dan tidak berkala. Keempat, tidak melaporkan,” ujar Kurnia.
Kurnia lalu memerinci 55 orang yang dikategorikan tidak patuh melaporkan LHKPN. Dia miris mayoritas pimpinan DPR justru masuk ke kategori tidak patuh.
“Ini data yang tidak patuh melaporkan LHKPN. Tentu kita miris ternyata pimpinan DPR dari 5 orang, 4 orangnya tidak patuh melaporkan, baik terlambat maupun tidak berkala. Sementara pimpinan komisi sebanyak 37 orang, pimpinan Baleg 2 orang, pimpinan Banggar 2 orang, pimpinan BURT 3 orang, pimpinan BKSAP 2 orang, pimpinan BAKN 2 orang, pimpinan MKD 3 orang,” katanya.
Kurnia juga memaparkan pemetaan ketidakpatuhan para pimpinan AKD berdasarkan asal partai politiknya. Dia menuturkan mayoritasnya berasal dari PDI Perjuangan (PDIP).
“Bagaimana pemetaan dari parpol yang tidak patuh melaporkan LHKPN wakil-wakilnya di pimpinan AKD. Ternyata parpol paling banyak pimpinan AKD-nya tidak patuh adalah PDIP, diikuti Golkar. Jumlahnya 11 orang, PKB 10 orang, Gerindra 6 orang, NasDem 5 orang, PAN 5 orang, Demokrat 3 orang, PPP 2 orang, PKS 2 orang,” ujar Kurnia.
“Sehingga layak kita pertanyakan jika 9 partai ini bicara soal antikorupsi. Karena ini mendekati Pemilu 2024 pasti jargon-jargon antikorupsi banyak disampaikan oleh mereka. Jadi ini layak dan harus dievaluasi parpol pengusung anggota-anggota DPR,” imbuh dia.
Di akhir pemaparannya Kurnia menyampaikan sejumlah rekomendasi dari temuan ini. Rekomendasi itu menyasar pemerintah, DPR, maupun parpol.
“Pertama, untuk pemerintah, harus mengintegrasikan rekomendasi Pasal 20 UNCAC terkait kriminalisasi illicit enrichment. Upaya itu dilakukan melalui revisi UU Tipikor maupun mengakomodir ke dalam Rancangan UU Perampasan Aset,” kata Kurnia.
Kurnia mendorong penegakan kode etik di DPR. Dia juga meminta partai politik mewajibkan para kader yang menjadi penyelenggara negara agar melaporkan harta kekayaan mereka.
“Perubahan kode etik DPR harus dilakukan. Sanksi administratif mesti dituangkan secara jelas. Misal bagi anggota yang terlambat gaji mereka ditangguhkan sampai pelaporan dilakukan,” kata Kurnia.
“Partai politik harus menuangkan kewajiban pelaporan harta kekayaan bagi anggota melalui AD ART,” lanjutnya.
Selain itu, Kurnia meminta KPK agar bersikap tegas dengan mengumumkan siapa saja anggota DPR yang tidak patuh melaporkan LHKPN mereka ke publik.
“KPK harus mengumumkan nama-nama anggota DPR yang tidak patuh dalam melaporkan LHKPN. Selain itu, kewenangan pemberian rekomendasi untuk penjatuhan sanksi administratif. Rakyat berhak tahu bagaimana wakil-wakilnya menjalankan UU terkait LHKPN,” kata Kurnia.
(Robi)