Digugat ke MK, Aturan Percobaan 10 Tahun Pidana Mati di KUHP

Digugat ke MK, Aturan Percobaan 10 Tahun Pidana Mati di KUHP

Jakarta, LINews – Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung menggugat KUHP baru ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta masa percobaan 10 tahun bagi hukuman mati dihapus karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan memicu kolusi di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP).

Aturan yang dimaksud tertuang dalam Pasal 100 KUHP baru yang berbunyi:

Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau

b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.

Pemohon menilai kemungkinan besar dan sangat bisa terjadi terjadinya permainan para pihak untuk memberikan pernyataan bahwa terdakwa sudah merasa menyesal dengan perbuatannya. Sebab, menurut mereka, pernyataan ini hanya bisa dikeluarkan oleh lapas yang bersangkutan dengan demikian menciptakan suatu dimensi kejahatan berupa jual-beli surat pernyataan.

“Maka sangat dimungkinkan terjadinya jual beli surat pernyataan lapas. Dengan kemungkinan hal ini lah maka semakin merajalela jual beli surat pernyataan lapas dan sama sekali tidak berguna penjatuhan hukuman mati bagi terdakwa,” demikian alasan pemohon keduanya yang dikutip dari berkas permohonan pemohon di website MK, Minggu (14/5/2023).

Menurut keduanya, hukuman mati dianggap sebagai hukuman paling manjur untuk memberikan keadilan dan mencegah terulangnya kejahatan serupa. Teror dan rasa takut karena kehilangan nyawa dinilai mereka akan membuat para calon pelaku jera dan melahirkan kontrol dan stabilitas di masyarakat.

“Penilaian unsur kelakuan baik yang dimiliki terdakwa dalam masa percobaan 10 tahun sangat sulit karena ini mengingat merupakan penilaian subjektif dari lembaga pemasyarakatan, karena ini berdasarkan murni dari penilaian subjektif masyarakat maka secara terang benderang di kemudian hari akan tercipta suatu kasus kontroversial terpidana mati yang berubah menjadi pidana seumur hidup,” ungkapnya.

Keduanya juga mengutip hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2022. Dalam survei periode Oktober 2022 itu, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum turun hingga menyentuh angka 51,5 persen. Menurut pemohon, pasal ini juga menjadi salah satu penyebab turunnya kepercayaan publik.

“Artinya, pada aspek ini mengalami penurunan terdalam dari 57,5 persen pada Juni 2022 menjadi 51,5 persen survei tersebut tidak boleh dianggap remeh karena akan mempengaruhi kredibilitas ke depannya,” bebernya.

Lebih lanjut, para pemohon menilai, jika aturan di atas diterapkan pada 2026, dikhawatirkan akan muncul masalah luas dalam masyarakat. Masyarakat dinilai dapat melakukan demo besar akibat negara telah membuat keputusan yang tidak adil bagi masyarakat. Sebab, lanjut pemohon, negara mengubah hukuman mati menjadi pidana seumur hidup.

“Tentu saja dalam hal ini masyarakat semakin geram bagaimana mungkin kejahatan yang sudah dilakukan terpidana merupakan kejahatan yang mengancam masyarakat tetapi justru ketika hukuman pidana mati tersebut berubah menjadi pidana seumur hidup membuat masyarakat semakin merasa tidak didengar keinginan masyarakat,” urainya.

Permohonan ini sudah dua kali disidangkan dan masih berlangsung di MK.

(Adrian)

Tinggalkan Balasan