Bandar dan Bandit Kini Pegang Kendali Setelah 25 Tahun Reformasi

Bandar dan Bandit Kini Pegang Kendali Setelah 25 Tahun Reformasi

Jakarta, Law-Investigasi – Dua puluh lima tahun yang lalu, api reformasi dinyalakan oleh mahasiswa dan elemen bangsa lainnya untuk meruntuhkan hegemoni penguasa orde baru (orba) yang telah berkuasa 32 tahun lamanya. Kala itu, sejumlah mahasiswa dan rakyat menuntut adanya reformasi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dalam gerakannya, mahasiswa Indonesia menyampaikan beberapa tuntutan reformasi, yang kemudian dikenal sebagai enam agenda reformasi 1998.

Enam agenda reformasi itu adalah: adili Soeharto dan kroni kroninya, hapus dwi fungsi ABRI, hapus korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN), tegakkan supremasi hukum, amandemen UUD 1945 dan otonomi daerah seluas luasnya.

Kini setelah 25 tahun berlalu, seperti apa kira kira gambaran ringkas pelaksanaan agenda reformasi yang diperjuangkan oleh para mahasiswa ?. Setelah 25 tahun berlalu, benarkah para bandar dan bandit menjadi pengendali kekuasaan di Indonesia ?

Implementasi Agenda Reformasi

Agenda pertama reformasi yaitu adili Soeharto dan kroni kroninya. Dalam hal ini peradilan terhadap Soeharto telah dilakukan ditandai dengan penetapan yang bersangkutan sebagai tersangka. Seperti diketahui, pada 31 Maret 2000, Kejaksaan Agung telah menetapkan Soeharto sebagai tersangka. Namun status tersangka yang disematkan kepadanya hanya sebatas sebagai Ketua Yayasan belaka bukan sebagai mantan presiden Republik Indonesia.

Baca Juga : Menelisik Dugaan Korupsi Proyek Jalan Tol Layang MBZ #1

Banyak yang menyayangkan mengapa Kejagung tidak mengadili Soeharto dalam kapasitasnya sebagai mantan presiden Republik Indonesia yang diduga telah menyalahgunakan kekuasaannya. Padahal selama menjabat sebagai presiden, Soeharto banyak mengeluarkan kebijakan yang berbau abuse of power misalnya dalam betuk Keppres dan PP dan sebagainya. Tetapi dugaan penyalahgunaan kekuasaan itu tidak di adilinya.

Proses peradilan terhadap penguasa Orba itupun terkesan hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan publik semata agar seolah olah proses peradilan telah dijalankan tetapi sebenarnya tidak sampai menyentuh substansinya. Soeharto dengan alasan kesehatan, selalu gagal datang dalam persidangan yang semestinya dihadirinya. Kalau ditanya soal Yayasan Pak Harto selalu menjawab ‘tidak tahu` atau ‘lupa`. Apalagi pengelolaan yayasan itu memang dilakukan oleh para pembantunya.

Baca juga : Membongkar LHP BPK Atas Menguapnya PNBP & DHPB di Kementerian ESDM #2

Akhirnya dengan selalu gagalnya upaya untuk menghadirkan Soeharto dalam persidangan, maka pada 11 Mei 2006 Kejagung memilih untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan kepadanya. Dan perkara ditutup demi hukum, yaitu karena gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan sebagaimana mestinya.

Sampai dengan meninggalnya penguasa Orba tersebut masalah terkait pengadilan terhadap Soeharto masih menyimpan teka teki karena memang belum tuntas pengusutannya. Semoga beliau diampuni dosa dosanya dan mendapatkan tempat yang layak di sisinya.

Lalu bagaimana halnya dengan peradilan terhadap para kroni kroninya? Ternyata tokoh tokoh Orba yang berjaya ketika Soeharto berkuasa itu tetap bisa wara wiri menjadi bagian dari penguasa pasca tumbangnya pemerintahan Orba. Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rejim otoritarianisme Soeharto telah membuat mantan kroni kroni cendana itu dengan cepat mengonsolidasi dirinya (untuk beradaptasi) dengan rezim reformasi pasca tumbangnya kekuasaan Orba.

Baca juga: Membongkar LHP BPK Atas Menguapnya PNBP & DHPB di Kementerian ESDM #3

Jadi alih alih ada peradilan terhadap kroni kroni cendana, mereka justru menjelma menjadi seolah olah ikut berperan menumbangkan pemerintah Orba dan pada akhirnya mereka bisa kembali menduduki posisi posisi penting yang dalam banyak hal lebih menguntungkannya.Kenyataan bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orba kembali dikuasai oleh para mantan penguasa yang telah berkuasa sebelumnya.

Agenda kedua reformasi yaitu hapus dwi fungsi ABRI. Pada masa Orba, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sosial politik dan fungsi keamanan negara. Dwifungsi menyebutkan bahwa ABRI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.

Adanya dwifungsi menimbulkan permasalahan pada masa Orba. Pasalnya, dapat dikatakan bahwa ABRI menjadi sebuah kekuatan besar yang tidak memihak rakyat sipil pada umumnya. Oleh sebab itu, pada era Reformasi, rakyat meminta dwifungsi ABRI dihapuskan berlakunya.

Baca juga : KPK Kulik Formula E, Kesulitan Data dan Nyangkut di Penyelidikan #1

Pada akhirnya dalam masa jabatannya yang sangat pendek (1999-2001) karena keburu dilengserkan, pemerintahan Presiden Gus Dur melakukan sejumlah reformasi TNI dimana Polri dipisahkan dari tentara. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin dwi fungsi ABRI ini yang selama Orba berkuasa menjadi momok bagi warga sipil Indonesia.

Agenda ketiga reformasi adalah menghapus korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Agenda reformasi yaitu penghapusan KKN dinilai gagal dalam pelaksanannya. Alih-alih membaik, nasib pemberantasan KKN justru dinilai kian mundur diperiode kedua pemerintah yang sekarang berkuasa. Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 yang baru saja dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII), menunjukan skor Indonesia anjlok empat poin yaitu dari 38 menjadi 34.

Selain hal tersebut, peringkat Indonesia pun terjun bebas, dari 96 menjadi 110. Merujuk pada temuan TII, tak salah jika kemudian disimpulkan bahwa Indonesia layak dan pantas dikategorikan sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Gagalnya pelaksanaan agenda reformasi untuk pemberantasan KKN barangkali terwakili melalui pernyataan dari Menko Polhukam Mahfud MD. Beliau mengatakan korupsi di Indonesia saat ini telah terjadi di berbagai sektor. Ia menyebut korupsi sudah menjadi fenomena yang gila.

“Sekarang saudara noleh kemana saja ada korupsi kok. Noleh nih ke hutan ada korupsi di hutan, noleh ke udara ke pesawat udara ada korupsi di garuda, asuransi ada asuransi, koperasi korupsi, semuanya korupsi,” kata Mahfud dalam Sarasehan Sinkronisasi Tata Kelola Pertambangan Mineral Utama Perspektif Politik, Hukum dan Keamanan, Selasa (21/3/2023).

Agenda ke empat reformasi adalah menegakkan supremasi hukum di Indonesia. Negara yang sudah menjunjung tinggi supremasi hukum adalah negara yang mampu menempatkan “hukum” sebagai panglima. Pada era orde baru supremasi hukum tidak dijalankan sebagaimana mestinya, hukum berada di tangan penguasa sehingga apapun kehendak penguasa adalah final dan tidak ada yang berani menggugatnya.

Kini setelah 25 tahun reformasi, agenda untuk menegakkan supremasi hukum masih juga menjadi suatu kendala. Penegakan hukum masih dirasakan tumpul ke atas tajam kebawah yang berarti keadilan masih belum bisa didapatkan oleh segenap warga bangsa. Penegakan hukum yang semestinya bisa menghasilkan keadilan seringkali justru malah sebaliknya.

Bahkan akhir akhir ini ada kecenderungan penegakan hukum dijadikan sarana untuk menyingkirkan lawan lawan politik yang tidak sejalan dengan kehendak pemerintah yang sedang berkuasa. Fenomena ini memang sulit untuk dibuktikan tapi begitu terasa.

Agenda reformasi yang kelima yaitu amandemen UUD 1945. Sejauh ini sudah empat kali amandemen UUD 1945 yang dirampungkan hingga tahun 2002. Namun poin tersebut terbilang normatif karena isunya baru sebatas selesai dengan perubahan UUD 1945. Bahkan amandemen yang dilakukan justru membuahkan persoalan lainnya. Ketimpangan peran legislasi bikameral, misalnya. Kehadiran DPD-RI yang semula dicitakan bisa membentuk model legislasi bikameral melalui representasi keterwakilan daerah, justru menampilkan desain bikameralisme yang lemah pada akhirnya.

Amandemen UUD 1945 memang berdampak positif bagi kehidupan demokrasi antara lain dengan adanya pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan pemilu secara langsung, namun sisi lain amandemen itu telah membuat UUD 1945 semakin berwatak liberal kapiltalistik yang tidak sesuai dengan ideologi negara Pancasila. Itulah sebabnya beberapa elemen bangsa ada yang menghendaki untuk kembali ke naskah asli UUD 1945.

Agenda reformasi ke enam adalah otonomi daerah yang seluas luasnya.Pada masa Reformasi, pemerintah Indonesia melaksanakan otonomi daerah, yaitu penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan kedaerahannya.

Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut telah mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang kemudian juga membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di berbagai bidang. Dalam pelaksanaannya, tentu terdapat tujuan otonomi daerah yang harus dicapai masing-masing pemerintahnya.

Tujuan otonomi daerah ini tidak lain berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum bagi masyarakat, hingga daya saing daerah dengan meningkatkan potensi yang ada. Beberapa tujuan otonomi daerah ini dapat dicapai dengan mudah jika pemerintah dan masyarakat saling mendukung untuk mewujudkannya.

Untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah tersebut, pemerintah diberikan beberapa hak yang bisa dilaksanakan. Mulai dari menyusun pengaturan pemerintahan, memilih pimpinan daerah, mengelola aparatur daerah, mengelola kekayaan daerah, hingga mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah dan sebagainya.

Namun akhir akhir ini muncul kegundahan karena otonomi daerah yang menjadi agenda reformasi tersebut terancam pelaksanaannya terutama dengan disahkannya UU Omnibuslaw cipta kerja, UU minerba dan sebagainya.

Disahkannya RUU Omnibus Law menjadi UU yang isinya antara lain penyederhaaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, kemudahan dan perlindungan UMKM dan sebagainya telah menyebabkan semua perizinan usaha, usaha jasa pertambangan, izin galian C, izin batu kali dan batu kapur dan sebagainya harus izin Pemerintah pusat di Jakarta.

Dengan sendirinya daerah kabupaten, kota dan provinsi sudah tidak punya wewenang apa-apa dalam pemberian izin usaha. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa otonomi daerah yang intinya adalah desentralisasi pemerintahan dan ekonomi, sudah mulai dinihilkan keberadaannya.

Memang Undang-undang Otonomi Daerah dalam bidang pemerintahan, masih berlaku tetapi kewenangan Bupati, Walikota dan Gubernur melalui pemberian izin usaha, sudah diamputasi oleh UU Omnibus Law, sehingga Bupati, Walikota dan Gubernur sudah tidak memiliki kewenangan apa-apa untuk mengembangkan dan memajukan daerah masing-masing melalui pemberian izin usaha.

Kalau memang demikian kenyataannya maka agenda reformasi untuk adanya otonomi yang seluas luasnya perlu dipertanyakan kelanjutannya. Apakah cukup sampai disini saja dan kemudian system pemerintahan akan kembali ke system sentralistik seperti zaman Orba?

Bandar dan Bandit Pegang Kendali?

Saat reformasi digaungkan oleh mahasiswa dan elemen bangsa lainnya tentu mereka semua mempunyai angan angan tentang masa depan Indonesia. Merek memimpikan Indonesia akan menjadi bangsa besar dengan kondisi kehidupan rakyat yang makmur sejahtera secara adil dan merata. Mungkin karena itu pula yang menyebabkan mereka kemudian menyampaikan tuntutan yang diwujudkan dalam bentuk enam agenda reformasi untuk dilaksankan oleh pemimpin terpilih pasca tumbangnya kekuasaan Orba.

Tuntutan itu secara substansi memuat agenda tegakan demokrasi, junjung tinggi Hak Azasi Manusia, Berantas Korupsi kolusi nepotisme, tegakan hukum tanpa tebang pilih, dan kehidupan rakyat yang sejahtera sesuai cita-cita konstitusi negara yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Pasca reformasi, presiden sudah silih berganti namun agenda reformasi yang dituntut mahasiswa dan elemen bangsa tidak berjalan sebagaimana harapan bersama. Ada capaian yang membuat kehidupan di Indonesia menjadi lebih demokratis tetapi secara substansi belum menyentuh elemen mendasar yaitu tercapainya kehidupan rakyat yang makmur sejahtera secara adil dan merata.

Karena ternyata pemimpin rakyat yang terpilih tidak sepenuhnya mengabdi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya. Kepentingan rakyat tidak menjadi orientasi utama untuk disejahterakan sebagaimana misi negara Republik Indonesia.

Faktanya, korupsi semakin merajalela hingga skor indeks korupsi Indonesia jeblok di angka 34, apalagi kini mencuat ada Rp.349 triliun transaksi yang mencurigakan, kejahatan pencucian uang dan ada ratusan triliun uang APBN yang ikut di korupsi pula.

Indeks hak azasi manusia juga masih merah dibawah 35, ratusan jiwa manusia masih terbunuh tanpa pertanggungjawaban secara komprehensif, nyawa rakyat seperti tak berharga. Indeks demokrasi kita masih level flawd democracy (demokrasi cacat) dengan skor masih dibawah 70 dan dengan rapot merah kebebasan sipil 59 (The Economist,2022).

Disaat yang sama utang Indonesia semakin membengkak hingga Rp7.733,99 triliun (Kemenkeu,2023). Angka pertumbuhan ekonomi kita masih kalah jauh dibanding Filipina yang sudah 7%, Vietnam 13% dan Malaysia 14%. Kita masih dikisaran 5%, padahal hampir Rp1.000 triliun uang digelontorkan untuk pemulihan ekonomi kita.

Sementara pada sisi lain kemiskinan terus meningkat, ada 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan (BPS,2022). Pengangguran juga terus bertambah, bahkan 59% pengangguran adalah generasi berusia muda (BPS,2022). Di saat yang sama justru 70,3% pejabat bertambah kaya.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, sekitar 52 persen penduduk miskin yang berusia di atas 15 tahun hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang SD/SMP saja. Bahkan, 31 persen lainnya tidak mampu menempuh jenjang Sekolah Dasar.

(Vhe)

Tinggalkan Balasan