Relasi Kekuasaan di Balik Ekspor Ilegal Nikel ke Tiongkok

Relasi Kekuasaan di Balik Ekspor Ilegal Nikel ke Tiongkok

Jakarta, Law-Investigasi – Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain besar dalam industri nikel dunia, tampaknya menemui jalan terjal. Regulasi soal larangan ekspor bijih nikel dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 yang mengarahkan kebijakan hilirisasi industri nikel, justru menjadi bumerang untuk pemerintah. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menemukan adanya dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke Tiongkok sebanyak 5 juta ton lebih sepanjang periode 2020-2022. Padahal, regulasi itu baru mulai berlaku Januari 2020.

Temuan KPK menunjukkan, pasokan ekspor ilegal bijih nikel ke Tiongkok mulanya berkisar 3,39 juta ton pada 2020. Di tahun berikutnya, bijih nikel yang dipasok secara ilegal berjumlah 0,8 juta ton dan terakhir Negeri Tirai Bambu mengimpor sebanyak 1,08 juta ton.

KPK belum menaksir potensi kerugian negara dari dugaan ekspor ilegal bijih nikel ini, akan tetapi data KPK mengemukakan selisih nilai ekspor terkait bijih nikel hingga Rp14,5 triliun. Angka selisih itu didapatkan dengan mengkomparasi data ekspor bijih nikel di Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia dengan data impor bijih nikel di situs Bea Cukai Tiongkok.

Pasca KPK mengumumkan temuannya, perkembangan kasus hingga kini belum masuk dalam proses penyelidikan. Plh. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menuturkan bahwa KPK masih dalam upaya untuk lebih lanjut menelusuri temuan awal, sebelum akhirnya diproses secara hukum.

“Rencana tentu ada (penyelidikan). Tapi, kami sebelum penyelidikan itu ada tahap dimana pendalaman dahulu, mengumpulkan informasi dulu. Kemarin baru pendalaman informasinya,” ujar Asep dalam keterangannya, Jumat (7/7/2023).

Menurut peneliti Transparency International Indonesia (TII), Gita Atikah, praktik ekspor ilegal bijih nikel itu jelas sebagai tindak pidana yang mengarah laku korupsi. Titik celah yang dapat digunakan aparat penegak hukum untuk membuktikan adanya korupsi ialah melalui penelusuran alur proses ekspor ilegal itu terjadi. Artinya, mesti ada penelusuran bagaimana peranan APH di kawasan yang menjadi pintu masuk ekspor ilegal itu.

“Ini bukan lagi kecolongan, tapi indikasi korupsi yang sistematis,” kata Gita saat dihubungi Law-Investigasi, Kamis (6/7/2023).

“Titik penelusurannya ada di proses alur ekspornya, dari sana bisa kelihatan siapa saja yang terlibat. Ditelusuri juga aparat penegak hukum atau pengawas yang ada di perairan seperti aparat penegak hukum yang patroli. Agak aneh kalau tidak kelihatan ada proses muat ekspor itu. Kemudian di Bea Cukai, perlu dicek lagi dokumen ekspornya, apakah memang ada pemalsuan dokumen atau apakah ada pihak tertentu yang melakukan kecurangan secara sistematis yang kongkalikong dengan pegawai Bea Cukai,” ia menambahkan.

Penekanan soal keterlibatan aparatur negara dan APH, kata Gita, memang sudah sepatutnya dikemukakan lantaran mereka menjadi bagian dari kelompok yang memuluskan praktik ekspor ilegal. Selain karena otoritas yang dimiliki, celah lain yang dimainkan adalah melalui regulatory capture (korupsi peraturan) sebagai akses khusus untuk melayani kepentingan kelompok-kelompok yang mendominasi aktivitas pertambangan.

Dalam pandangannya, relasi kekuasaan, baik level pejabat publik maupun APH daerah hingga level nasional, juga saling berkoordinasi demi keuntungan dari praktik tambang ilegal. Misal dalam kasus Ismail Bolong, seorang mantan polisi di Polres Samarinda yang mengaku dirinya menyetor duit ke Kabareskrim dari hasil mengelola pertambangan ilegal. Gita lantas menguatkan asumsinya dalam kasus ekspor ilegal nikel ini bahwa diduga kuat pihak yang berada di sirkulasi kekuasaan mendapat untung dari selisih neraca perdagangan nikel.

“Kasus ekspor yang dilakukan secara ilegal tentunya merugikan negara, kerugian dapat dilihat dari adanya selisih neraca perdagangan nikel antara Indonesia dengan Tiongkok. Selisih neraca perdagangan yang tinggi menciptakan ruang rente ilegal yang dapat menjadi insentif bagi aparatur untuk terlibat dalam perilaku berburu rente,” katanya.

Apalagi, kata Gita, relasi kekuasaan yang melibatkan pejabat publik, APH hingga politisi memang terbukti secara faktual. Berdasar indeks persepsi korupsi Indonesia akhir-akhir ini yang semakin anjlok menempatkan pangkal masalahnya karena konflik kepentingan antara politisi dan pebisnis. Dalam praktiknya, terjadi suap dari pebisnis untuk urusan izin ekspor-impor.

“Hal tersebut juga diperparah dengan tidak adanya pasal yang mengatur tentang larangan konflik kepentingan akan membuka ruang berbisnis seluas-luasnya bagi politically-exposed person (PEPs) di sektor tambang,” ujarnya.

Peranan politisi yang menjadi pejabat negara dalam pusaran korupsi di sektor tambang kian kentara lantaran posisi penting mereka kini tidak terlepas dari bantuan uang industri tambang. Baik mereka yang berafiliasi dengan pebisnis tambang maupun politisi yang sukses berkuasa berkat menguasai industri tambang.

“Sektor tambang itu jadi salah satu sumber untuk mendanai ongkos politik, baik itu Pilkada maupun Pemilu. Maraknya izin pertambangan sebagai imbalan untuk permodalan politik,” kata Gita.

Karena itulah, kata Gita, instrumen hukum yang ada justru menjadi celah yang dimanfaatkan untuk korupsi. Menurutnya, sejak UU Minerba tahun 2009 direvisi pada 2020, fungsi pengawasan di sektor tambang menjadi semakin tidak ketat. Segala urusan soal tambang, termasuk izin menjadi kuasa pemerintah pusat yang sebelumnya dipegang pemerintah daerah. Di sisi lain, pengawasan tambang tidak diperkuat dengan kuantitas inspektorat, sehingga membikin ruang-ruang gelap dalam industri tambang terbuka lebar.

“Antara sentralisasi, lemahnya pengawasan dan patronase dalam perpolitikan saling berkaitan. Ketika semua ditarik ke pusat, justru tidak ada anggaran yang cukup dan kasus lebih banyak dibanding inspektorat yang ada. Relasi konflik kepentingan, antara pejabat negara, politisi dan pebisnis. Jadi, itu semua menjadi pusaran yang melanggengkan korupsi di pertambangan,” ungkap Gita.

Dia juga menitikberatkan Permen ESDM soal pelarangan ekspor bijih nikel itu juga, justru menjadi celah korupsi, alih-alih menguntungkan negara. Kebijakan hilirisasi pada konsepnya berkutat pada proses mulai penambangan, operasional pabrik smelter hingga produksi olahan nikel yang berpusat di dalam negeri. Tetapi, realitasnya kini bisa berpotensi sebaliknya.

“Apakah pelarangan ekspor memang jalan yang benar. Di sisi lain banyak pihak yang menolak, dan sekarang terjadi kasus ekspor ilegal ini. Itu mungkin karena untungnya lebih besar kalau diekspor bagi segelintir pengusaha, tapi bagi negara justru merugi. Jadi, seperti dibuat secara ilegal supaya lebih murah ongkosnya,” tutur Gita.

Menurut Imam Shofwan, peneliti dari Jaringan Tambang (JATAM), pembuktian pelanggaran hukum, termasuk korupsi yang dilakukan perusahaan tambang nikel bakal menjadi pekerjaan berat. Soalnya, transparansi atau keterbukaan segala aktivitas pertambangan nikel menjadi suatu hal yang sulit didapatkan.

“Negara tidak punya kuasa untuk mengontrol ore (bijih nikel) itu walaupun ada kebijakan hilirisasi. Negara tidak bisa kontrol penuh terhadap alur masuk keluar ore ini. Dan ini diperparah karena izin-izin produksi nikel dikeluarkan oleh pemerintah pusat sehingga efeknya pemerintah daerah tidak punya kontrol terhadap aktivitas tambang yang ada di wilayah mereka,” kata Imam kepada Law-Investigasi, Rabu (5/7/2023).

Soal sulitnya keterbukaan informasi yang menyangkut korporasi tambang nikel, ia berkaca pada kasus kerusuhan pada awal Januari 2023 di PT Gunbuster Nickel Industri (GNI)—perusahaan tambang nikel asal Tiongkok. Saat itu unjuk rasa buruh pabrik yang memperjuangkan keselamatan kerja justru berujung pertumpahan darah. Dikabarkan, terdapat korban tewas dari aksi massa itu. Namun, hingga kini investigasi soal kerusuhan unjuk rasa dan siapa saja korban tewas belum tersiar kabarnya. Pihak kepolisian dinilai Imam justru seolah dalam posisi yang berpihak pada korporasi, alih-alih melakoni tugasnya mencari kebenaran dan menangkap pelaku kerusuhan yang menyebabkan tewasnya buruh.

Menurutnya, pabrik smelter yang memproduksi bijih nikel yang bercokol di Indonesia didominasi oleh kapital Tiongkok. Kepemilikan modal Negeri Tirai Bambu dalam membangun smelter sejalan dengan kebijakan luar negerinya bernama One Belt One Road (OBOR). Sederhananya kebijakan ini menginginkan pengaruh Tiongkok di seluruh kawasan Asia Pasifik, mulai dari ekonomi hingga kebudayaan. Dalam relasi kerja sama ini, Indonesia berada dalam posisi yang tidak setara dengan Tiongkok.

Menukil keterangan dari Kementerian ESDM, hingga akhir 2022 terdapat 20 smelter nikel. Jumlah smelter berpotensi semakin bertambah seiring target dari kebijakan hilirisasi garapan Jokowi yang menginginkan 54 smelter dibangun di kawasan-kawasan yang menyimpan deposit mineral dan logam. Adapun untuk target hilirisasi tambang nikel membutuhkan 30 smelter yang berpusat di Sulawesi, Maluku Utara hingga Papua.

(Vhe)

Tinggalkan Balasan