Jakarta, LINews – Sidang perdana gugatan Rp 1 triliun yang diajukan Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun, Panji Gumilang, kepada Anwar Abbas dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ditunda. Sebab, perwakilan MUI tidak menghadiri sidang perdana ini.
Sidang itu digelar di Ruang Kusumah Atmaja, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (26/7/2023) sekira pukul 11.15 WIB. Mulanya, majelis hakim meminta kepada pihak penguggat dan tergugat untuk menyampaikan legal standingnya.
Kuasa hukum dari Panji Gumilang dan Anwar Abbas sudah hadir di ruang sidang. Namun, belum terlihat kuasa hukum dari MUI. Meskipun Anwar Abbas adalah Wakil Ketua MUI, namun kehadirannya dianggap tak mewakili MUI.
Setelah memeriksa legal standing dari Panji Gumilang dan Anwar Abbas, hakim memutuskan untuk menunda persidangan. Sidang ditunda hingga Rabu (2/8) mendatang dengan agenda pemanggilan terhadap MUI.
“Jadi sidang ini akan ditunda sampai dengan tanggal 2 Agustus dengan agenda legal standing, pemanggilan terhadap Majelis Ulama Indonesia, jam 10.00 WIB,” kata Hakim Ketua Zulkifli Atjo saat sidang.
Panji Merasa Disudutkan
Diketahui, Panji Gumilang dari Al-Zaytun menggugat Anwar Abbas dan MUI karena dia merasa disudutkan. Panji ingin agar Anwar dan MUI membayar ganti rugi Rp 1 triliun.
“Kami penasihat hukum pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun mengajukan gugatan kepada Anwar Abbas dan MUI sebagai turut tergugat. Dalam surat gugatan kami uraikan semua hal yang harus diuraikan, dan kami juga menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 rupiah dan Rp 1 triliun atas kerugian material dan imateriel,” ujar pengacara Panji Gumilang, Hendra Efendi, kepada wartawan, Senin (10/7).
Selain menggugat, pihak Panji Gumilang berencana melaporkan Anwar Abbas ke polisi. Namun, belum diketahui kapan mereka akan melapor.
Hendra mengatakan MUI dan Anwar Abbas diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melontarkan tuduhan yang hanya berdasarkan potongan video di TikTok. Hendra menyebut Panji tidak seperti yang dikatakan MUI dan Anwar Abbas.
“Bahwa karena klien kami merasa dijustifikasi, disudutkan, dihina, karena yang bersangkutan tidak seperti yang dituduhkan oleh Anwar Abbas, sementara penyampaian klien kami adalah dalam rangka pembinaan terhadap santri yang tamat pendidikannya dan akan terjun ke masyarakat. Dalam pembinaan akhir kepada para santri yang tamat tersebut, klien kami menyatakan betapa hebatnya sosok muda dari China, seorang pengusaha yang performance-nya sangat menarik, namun saat ditanya oleh klien kami tentang apa agamanya, tamu dari China tersebut menyatakan dia seorang Buddhist, Nasrani, atau Hindu, melainkan jawabannya adalah ‘saya komunis’. Dan jawaban tersebut disampaikan ke santri-santri yang akan meninggalkan Al-Zaytun,” beber Hendra.
Anwar Abbas merespons pernyataan yang disebut dimanipulasi itu.
“Bahwa kami tidak yakin, jika seorang wakil ketua umum MUI seperti Anwar Abbas adalah sosok yang ‘buta digital’ atau ‘digital illiterate’, tetapi yang bersangkutan melakukannya dengan sengaja sebagai rangkaian yang tidak terpisahkan dari upaya institusinya MUI, yang sangat gencar melakukan upaya penyudutan kepada klien kami, dan jika semua disimak secara utuh, maka Anwar Abbas ‘tergugat’ dan semua perilaku pimpinan MUI sudah bisa dikriteriakan sebagai pelanggaran terhadap HAM, dan melanggar UUD 1945,” imbuhnya.
(Jhon)