Law-Investigasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta berani memeriksa dua Presiden Republik Indonesia dalam kasus dugaan korupsi kontrak impor LNG Pertamina. Kasus tersebut terjadi di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Kasus ini harus diungkap tuntas untuk membongkar kongkalikong di industri migas, terutama dalam hal impor LNG. Pertanyaannya, apakah KPK berani?
Di jumpai di gedung DPD RI, Jumat (6/10/2023), pengamat energi Marwan Batubara bicara gamblang tentang penanganan kasus dugaan korupsi kontrak pembelian LNG di Pertamina yang tengah digeber Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia menilai, KPK akan dianggap berpolitik jika hanya menetapkan tersangka tunggal dalam kasus ini.
Direktur Eksekutif IRESS ini bahkan secara tegas meminta KPK berani memeriksa Presiden Joko Widodo dan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Kontrak LNG ini terjadi saat Presiden RI masih SBY dan kemudian direvisi saat Jokowi jadi presiden. KPK mesti periksa keduanya, sebab Karen (tersangka Karen Agustiawan) mengaku menjalankan kebijakan Presiden,” ujar Marwan.
Marwan menilai, tak mungkin Karen bekerja sendirian. Pasti ada pihak lain yang bertanggung jawab. “Pertamina itu kan ada komisari dan juga dalam pengawasan dan pembinaan Menteri BUMN. Selain itu, kasus ini bermula dari arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. KPK harus bikin semua ini clear,” ujarnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan, Selasa (20/9/2023). Karen ditahan setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (liquefied natural gas atau LNG) di PT Pertamina tahun 2011-2021.
Ia tiba di KPK sekitar pukul 10.15 WIB. Menjalani pemeriksaan kurang lebih delapan jam Karen keluar dengan rompi oranye tahanan KPK.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan penahanan Karen untuk kepentingan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau LNG di PT Pertamina. Perempuan yang memiliki nama asli Galaila Karen Kardinah ini ditahan selama 20 hari pertama di rumah tahanan negara KPK terhitung mulai Selasa (19/9/2023).
Firli menjelaskan dalam memimpin PT Pertamina periode 2009-2014, tersangka telah mengambil keputusan secara sepihak untuk menjalin kerja sama dengan produsen dan supplier LNG, Corpus Christi Liquefaction (CLL), LLC, Amerika Serikat.
Dalam konstruksi perkaranya, pada tahun 2012 PT Pertamina (Persero) memiliki rencana melakukan pengadaan LNG sebagai alternatif mengatasi defisit gas di Indonesia yang diperkirakan terjadi pada kurun waktu 2009 s.d 2040. Sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN, Industri Pupuk, dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.
GKK alias KA kemudian mengeluarkan kebijakan menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG dari luar negeri, diantaranya perusahaan CCL LLC Amerika Serikat. Pengambilan keputusan tersebut dilakukan sepihak oleh GKK alias KA tanpa kajian menyeluruh dan tidak melaporkan kepada Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero). Selain itu tidak dilakukan pelaporan untuk menjadi bahasan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerinah. Sehingga tindakan GKK alias KA tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari pemerintah.
Oleh karenanya seluruh kargo LNG milik PT Pertamina (Persero) yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat itu tidak terserap di pasar domestik, yang berakibat menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia. Atas kondisi itu, kargo LNG harus dijual oleh PT Pertamina (Persero) dengan merugi di pasar internasional. Sehingga menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara sejumlah sekitar USD140 juta yang ekuivalen dengan Rp2,1 Triliun.
Mungkinkah Karen Sendiri?
Selain Karen Agustiawan eks Dirut Pertamina periode 2009-2014, tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan LNG atau gas alam cair di BUMN PT Pertamina berpotensi akan bertambah. Merujuk keterangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), proses pengadaan gas ini terjadi dalam rentang 2011 hingga 2021. Dalam interval waktu itu, dirut perusahaan pelat merah tersebut berganti tiga kali setelah Karen, yakni mulai Dwi Soetjipto, Elia Massa Manik hingga dirut sekarang yang dijabat Nicke Widyawati.
Karen ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK lantaran diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp2,1 triliun atas pengadaan gas yang diimpor dari Corpus Christi Liquefaction, anak usaha korporasi minyak dan gas asal Amerika Serikat, Chenire Inc. Komisi antirasuah berpatokan bahwa Karen melakukan diskresi secara sepihak, tanpa melalui persetujuan komisaris dan pemerintah. Ditambah, Karen disebut mengeluarkan kebijakan impor gas tanpa adanya kajian dan analisis yang tidak sesuai dengan kebutuhan gas dalam negeri. Alhasil, stok berlebih tak dapat sepenuhnya dioptimalkan hingga akhirnya berujung kerugian.
Proses jual-beli gas dari Corpus Christi awalnya memang digodok dalam periode Karen yang saat itu masih masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Merujuk sejumlah informasi dihimpun Law-Investigasi, Pertamina mengirim Letter of Intent kepada Chenire pada April 2012. Setelahnya, dibentuk struktur Direktorat Gas dalam Pertamina yang dikepalai oleh Hari Karyulianto yang berstatus Direktur Gas Pertamina.
(R. Simangunsong)