Oleh: DR. Adrian Simanjuntak, S.I.P, M.H, CLA
Law-Investigasi, Politisasi hukum memiliki makna menggunakan hukum sebagai alat demi kepentingan politik untuk menghabisi lawan lawan politiknya. Menjelang tahun politik, trend untuk menggunakan penegakan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan lawan politik sudah sering terjadi sehingga dianggap hal yang biasa biasa saja.
Politisasi hukum memang sulit untuk dibuktikan namun bisa dirasakan kebedaannya. Isu soal adanya politisasi penegakan hukum untuk kepentingan politik ini ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga ada di mancanegara. Seperti di Amerika Serikat, penegakan hukum terhadap mantan Presiden AS ke-45, Donald Trump juga dianggap sebagai serangan politik dari Partai Demokrat ke politikus Partai Republik sehingga dinilai tidak semata mata aspek penegakan hukum yang terjadi disana.
Dalam kasus yang menjeratnya, Donald Trump harus menyiapkan berbagai tangkisan hukum atas 30 dakwaan yang disangkakan kepadanya. Amerika Serikat yang selama ini dirujuk sebagai kampiun hukum dinilai menggunakan alat kekuasaan rezim untuk mengganjal Trump pada Pilpres 2025.
Di Indonesia, penegakan hukum yang diduga untuk kepentingan politik pernah terjadi pada saat Presiden Abdurrahman Wachid atau Gus Dur berkuasa. Pada tahun 2001, Gus Dur diterpa rumor penyalahgunaan bantuan dana dari Sultan Brunei dan Bulog. Sangkaan itu tidak pernah terbukti kebenarannya sampai hari ini karena kasus hukum ini tidak diadili sebagaimana mestinya. Tapi kasus ini telah menyebabkan Gus Dur harus kehilangan kekuasaannya.
Menyikapi kasus yang menimpa Gus Dur, pada tahun 2013 yang lalu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD secara tegas menyatakan, bahwa baik secara hukum pidana maupun hukum tata negara, tidak ada kesalahan Gus Dur yang membuat ia harus dilengserkan dari kursinya.
Prahara politik 2001 itu akhirnya mendasari lahirnya kewenangan MK untuk menguji impeachment presiden untuk bisa dijatuhkan dari kursi kekuasaannya. Akhirnya UUD 1945 memberi aturan tegas bahwa presiden bisa dimakzulkan apabila terbukti secara hukum melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela serta apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. UUD 1945 melarang tegas presiden dilengserkan berdasarkan asumsi dan bualan politik semata.
Dalam catatan lainnya, dimana hukum harus kalah dengan kepentingan politik menimpa pula kepada para aktifis yang kritis kepada penguasa. Aktivis aktifis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dan dianggap berseberangan secara politik dengan kekuasaan, langkah penegakan hukumnya sangat cepat bahkan terkesan sengaja dicari cari kesalahannya. Seperti apa yang dialami Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan yang lain lainnya.
Mereka semua dibidik akibat cuitan di Medsos yang dianggap berisi konten yang dapat menghasut publik melakukan aksi penolakan atas pengesahan Undang-Undang Omnibus Law (UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja).
Kali ini kasusnya sampai ke pengadilan dengan tuntutan penjara selama 6 tahun lamanya. Walau akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan vonis 10 bulan pada 29 April 2021 lalu, tapi kasus ini dinilai sarat dengan kepentingan politis untuk membungkam suara suara yang tidak sejalan dengan keinginan penguasa.
Demikian juga kasus yang menimpa beberapa ustadz atau ulama kritis yang terkesan proses hukumnya sangat cepat tidak seperti biasanya. Sebagai contoh penanganan kasus Ustadz Dr Alfian Tanjung yang kerap bersuara kritis saat ceramah kepada jamaahnya tentang indikasi kebangkitan Komunis dan ancaman bagi bangsa dan negara ini bila PKI dibiarkan bangkit dan berkembang di Indonesia. Ustadz Dr Alfian Tanjung dihukum 2 tahun penjara, denda Rp100 juta melalui putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
Adanya politisasi penegakan hukum untuk kepentingan politik diduga juga menimpa Habib Riziek Shihab (HRS) yang harus menghadapi tiga tuntutan sekaligus dalam perkara dugaan pelanggaran protokol kesehatan saat merebaknya virus corona. Kasus HRS sangat banyak mendapat sorotan publik nasional maupun internasional karena sifat janggalnya.
Banyak kalangan mempertanyakan sebenarnya kejahatan apa yang dilakukan HRS, sehingga aparat memperlakukan HRS jauh dari etika dan sopan santun termasuk penghormatan terhadap haknya sebagai warga negara.
Perlakuan berlebihan dan cenderung tidak manusiawi terhadap HRS selama proses hukum telah meneguhkan munculnya anggapan masyarakat bahwa perlakuan itu tidak terlepas dari figur HRS sebagai seorang ulama yang selama ini begitu kritis pada kebijakan menyimpang yang dipamerkan oleh penguasa. HRS adalah tokoh yang selama ini berani menyuarakan dan membela kebenaran dan keadilan dengan prinsip amal ma’ruf nahi mungkar sesuai ajaran agama yang dianutnya.
Memang sudah lama rezim penguasa maupun kelompok oligarkhi terusik dan terancam kepentingannya oleh sikap tegas HRS yang menolak segala yang dianggap bertentangan dengan idiologi Pancasila, konstitusi, hukum, syariat dan tujuan bangsa dan negara.
Atas tiga kasus janggal yang dituduhkan kepadanya, HRS harus menerima konsekuensinya. Untuk kasus kerumunan di Petamburan HRS divonis selama 8 bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Jakarta Timur yang diketuai Suparman Nyompa pada 27 Mei 2021. Pada hari yang sama HRS diadili atas kasus kerumunan Mega Mendung dengan hukuman denda Rp20 Juta.
Pada masa yang sama, banyak para pihak termasuk para pejabat tinggi negara yang diduga juga melakukan perbuatan pelanggaran Prokes, kerumunan massa tidak pernah disentuh hukum atau diproses sebagaimana mestinya termasuk yang dilakukan oleh Jokowi sebagai orang pertama di Indonesia. Tentunya perlakuan diskriminasi hukum tersebut akan menjadi preseden buruk dan menambah potret buram penegakan hukum di Indonesia.
Munculnya bau bau penegakan hukum yang sarat kepentingan politik juga terjadi akhir akhir ini ketika KPK dengan tiba tiba memanggil Muhaimin Iskandar alias Cak Imin atas kasus korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi tahun 2012. Kasus itu sudah lama terjadinya tapi entah kenapa tiba tiba berusaha untuk di ungkit kembali saat Cak Imin berpasangan dengan Anies Baswedan sebagai pasangan Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2024.
Nuansa kepentingan politik bermain dalam penegakan hukum juga menimpa kader kader Nasdem yang duduk di kabinet seperti Jhony G Plate, dan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Lucunya kasus ini seolah olah hanya mereka berdua saja yang diproses hukum untuk bisa dikirim ke penjara. Pada hal dalam kasus yang melibatkan Jhony G Plate misalnya diduga banyak elite politik di lingkaran istana yang terlibat tetapi tidak diusut sebagaimana mestinya.
Adanya politisasi hukum untuk kepentingan politik penguasa memang dapat dirasakan tapi memang sulit untuk dibuktikan. Dalam hal ini kalau ditanya kepada Pemerintah atau rezim yang sekarang berkuasa tentu saja akan dengan tegas menolaknya. Bahwa politisasi penegakan hukum untuk kepentingan politik itu tidak ada. Tapi publik tentu bisa menilainya berdasarkan nalar dan logikanya.
Hukum Sengaja Dilumpuhkan?
Dalam hukum dikenal jargon klasik dari Lucius Calpurnius Piso Caesoninus yang hidup pada 43 SM yaitu fiat justitia ruat caelum (keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh). Konsep itu menegaskan bahwa penegakan hukum tidak kenal waktu, tidak kenal konteks, termasuk tidak kenal pemilu sekali pun. Bahkan dalam perang, kejahatan tetaplah kejahatan yang harus diadili pelakunya.
Hukum humaniter harus ditegakkan saat itu juga. Perang tidak bisa menjadi alasan pemaaf bagi Adolf Eichmann lolos dari tiang gantungan tepat pada pergantian hari 31 Mei – 1 Juni 1962.
Oleh sebab itu, Dewi Themis yang menjadi simbol penegakan hukum digambarkan memakai tutup mata dengan pedang bermata dua. Sebuah simbol peradaban hukum dalam mencari keadilan tanpa kenal waktu dan siapa yang akan ditindak dengan segala dampaknya.
Penegakan hukum yang harus dilakukan dalam segala medan dan “cuaca” memang sangat ideal untuk dilaksanakan dengan catatan penegakan hukumnya memang benar benar dijalankan secara adil, transparan sesuai dengan ketentuan yang ada. Tetapi di tengah tengah kondisi penegakan hukum di Indonesia yang sarat dengan kepentingan politik penguasa, adagium penegakan hukum yang harus dijalankan dalam segenap “medan” dan” cuaca” kiranya kurang tepat juga.
Mungkin itulah sebabnya lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung menunda seluruh proses pemeriksaan para Capres-Cawapres, Caleg, serta calon kepala daerah terkait kasus dugaan korupsi hingga Pemilu 2024 selesai pelaksanaannya. “Hal itu dilakukan guna mengantisipasi dipergunakannya proses penegakan hukum sebagai alat politik praktis oleh pihak-pihak tertentu,” ujar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam memorandumnya, pada Minggu (20/8/23).
Pasca terbitnya memorandum Jaksa Agung itu telah membuat para penggiat anti korupsi murka. Sebaliknya, para koruptor yang sekarang ini mendaftar sebagai peserta pemilu bisa bernafas lega. Pertanyaannya kemudian, jika para koruptor tersebut terpilih sebagai Presiden/ Wakil Presiden atau anggota DPR, apakah Kejaksaan Agung masih berani mengusutnya?!
Memorandum Jaksa Agung tersebut sebenarnya bertentangan dengan dasar hukum pemberantasan korupsi yang mengacu pada Undang-Undang (UU) 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam Pasal 25 UU Tipikor itu, tegas disebutkan penanganan kasus tindak pidana korupsi mengharuskan percepatan proses untuk mendapatkan kepastian hukumnya. Bahkan, disebutkan dalam pasal tersebut, penanganan tindak pidana korupsi harus lebih didahulukan ketimbang proses hukum yang terkait dengan tindak pidana lainnya.
Jadi suatu yang sangat keliru kalau penanganan kasus korupsi yang melibatkan peserta pemilu harus ditunda. Justru seharusnya dipercepat (penanganan kasusnya) agar dapat mencegah calon presiden ataupun calon anggota DPR yang bermental korup menang dalam Pemilu nantinya.
Tetapi dengan kondisi penegakan hukum kita yang saat ini sarat dengan nuansa tebang pilih, terkesan dipolitisir dan hanya menguntungkan penguasa saja, apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sepertinya cukup masuk akal juga. Tetapi apakah itu menjadi solusinya ? Rasanya kebijakan itu hanya mengalihkan permasalahan saja tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Sampai disini, upaya untuk terus mengusut kasus kasus korupi yang dilakukan oleh calon pejabat negara menjelang pemilu maupun kebijakan untuk menundanya kedua duanya mengandung potensi pelemahan penegakan hukum untuk kepentingan pihak pihak tertentu yang mengendalikannya.
Karena kalau penegakan hukum tetap dilakukan tetapi sarat kepentingan politis pada akhirnya akan membuat penegakan hukum menjadi cacat karena tiadanya unsur keadilan didalamnya. Tetapi kalau dihentikan hanya karena alasan pemilu, berarti menyalahi ketentuan yang ada.
Yang jelas pola pola penegakan hukum seperti digambarkan diatas akan sangat menguntungkan mereka yang saat ini menjadi aparat penegak hukum sebagai The structure of the law-nya. Karena seperti diketahui, aparat penegak hukum saat ini masih dihuni oleh pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan aktif dalam rangkaian keputusan atau praktek hukum yang menyimpang dari rel yang seharusnya.
Apalagi the culture of the lawnya, budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang profesionalisme sebagai aparatur penegak hukum. Kondisi hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan ketiadaan keseriusan pemerintah untuk mengedepankan agenda law enforcement dan hambatan-hambatan politis lainnya.
Desakan untuk melakukan pembersihan secara radikal terhadap institusi hukum (Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah Agung) serta pencabutan keputusan-keputusan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan (TAP MPRS No XXV dan UU Subversif) yang pernah dirintis Abdurahman Wahid, tidak pernah bisa berlanjut sampai pemerintah yang sekarang berkuasa.
Artinya, dalam kondisi dimana proses pemulihan hukum dari kelumpuhan tengah berlangsung, upaya-upaya untuk mempertahankan kelumpuhannya juga gencar dilakukan berbagai pihak yang berkepentingan dengan lumpuhnya hukum karena akan menguntungkannya.
Semua upaya tersebut dilakukan tidak lain untuk mempertahankan ketidakpastian hukum supaya hukum tetap bisa dipermainkan untuk kepentingan pemegang kendali kekuasaan demi menjegal lawan lawan politiknya.
Dasar dari seluruh permasalahan ini adalah tidak adanya visi, konsep dan strategi dalam masalah penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Tidak ada pendekatan baru dalam membangun image hukum kita kecuali sekadar meneruskan apa yang ditinggalkan rezim masa lalu bahkan cenderung untuk terus melestarikannya.
(Vhe)