Wajah Politik di Tahun Baru

Wajah Politik di Tahun Baru

Oleh: Adlan Nawawi (Pengajar pada Program Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta)

Jakarta, LINews – Seperti tahun-tahun yang terlewati, sejatinya tiada yang baru dengan momen pergantian tahun. Paling tidak, keriuhan, hiruk-pikuk, gelegar, ataupun hura-hura tidak lebih sebagai gambaran perayaan-perayaan sebelumnya.

Ada benarnya ungkapan Plato (427-347 SM) bahwa atmosfer dunia dengan segala budaya dan peradabannya hanyalah catatan kaki dari masa lalunya. Apa yang termanifestasi saat ini sesungguhnya pernah tersirat dengan jelas di alam “ide”. Dengan pola dan bentuk yang bermetamorfosis, kekinian diarungi sebagai sesuatu yang pernah ada sebelumnya dengan wujud yang lebih ideal.

Lalu, apa yang berubah sejauh mata memandang? Yang berubah adalah cara kita membumikan idealisme. Sebab perubahan hanya berlangsung di luar alam ide, di alam materi. Lauh mahfudz memori manusia cukup luas untuk menyicil satu per satu momentum dalam kehidupan.

Alam materi itulah yang sedang merayakan kebaruan. Kebaruan yang dapat ditelusuri dari sekian perjumpaan pada tahun-tahun lalu dan tahun-tahun yang akan datang. Kita berjumpa dengan materi-materi yang baru, kebijakan yang baru, figur-figur baru, tatanan baru, harapan baru, sekaligus kegelisahan yang baru, kesedihan yang baru, juga kegembiraan yang baru. Semua atas dasar perjumpaan.

Kebaruan atas dasar perjumpaan mempertemukan eksistensi idealisme yang menyelubungi alam raya. Perjumpaan adalah sekaligus pengakuan bahwa saya atau “kita” dengan “yang lain” memang tidak harus sama, tapi saya dan “kita” wajib memperlakukan mereka sebagaimana seperti selayaknya saya dan “kita” hendak diperlakukan oleh mereka.

Perjumpaan juga mengandung ketersalingan pandangan. Antara wajah yang satu dengan yang lain bertemu dan mempersonifikasi diri masing-masing. Di antaranya tersingkap sisi yang begitu telanjang untuk dimaknai bersama.

Ketelanjangan diperlukan untuk menunjukkan seperti apa diri sesungguhnya. Ketelanjangan diharapkan membuka seluruh kedok dan selubung yang memoles dan menutupi keaslian. Ketelanjangan sekaligus memuat respons etis tentang wajah-wajah yang berseliweran di hadapan kita.

Perlakuan etis itu lahir dari idealisme yang sesungguhnya bersarang dalam ide. Bahwa yang miskin membutuhkan uluran tangan, yang gelisah membutuhkan hiburan, yang teralienasi membutuhkan rangkulan, yang terpuruk membutuhkan sandaran.

Dalam gumpalan sarkasme politik yang seakan tak bertepi, wajah yang telanjang menjadi pilihan. Saat retorika berpoles citra, saat wicara berbalut dusta, saat realita bersemut pura-pura, idealisme tetap bersemayam kokoh dalam ide. Terkadang ia sulit untuk menjadi pilihan, karena reduksi alam materi terlanjur pekat mengelabui hasrat untuk berkuasa.

Pada penghujung 2023 memasuki masa-masa awal 2024, wajah demi wajah itu memproduksi komunikasi yang cukup masif. Sayangnya, ia larut dalam kesenjangan. Ia enggan melucuti pakaian kebesarannya, yang semakin membesarkan dirinya dan mengerdilkan “yang lain”. Ia bersikeras menafikan alam ide sebagai sumber refleksi tentang wajahnya yang sesungguhnya.

Padahal, kesedihan yang mendera sebagian wajah itu sejatinya mengajak kita untuk mengembalikan realitas ke pangkuan idealisme. Kita tidak perlu menunggu gemuruh alam untuk sekedar memberi peringatan tentang wajah kita yang asli. Kita tidak perlu menanti riak-riak materi untuk menjelaskan sejarah perjalanan “kita” yang sedang bernaung di alam yang penuh dengan perjumpaan.

Kontestasi politik pada 2024 akan semakin disesaki oleh perjumpaan. Kebaruan akan tercipta di sana-sini. Mereka yang terpilih adalah mereka yang kembali “baru” dalam perjumpaan. Namun, di balik itu, mereka sesungguhnya diharapkan sebagai manifestasi alam idealisme kita. Bukan berarti keterpilihan itu telah ditentukan di alam “sana”, tapi siapapun wajah yang akan muncul dari momen kontestasi, akan diselimuti tuntutan idealisme.

Seluruh pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta segenap calon kontestan politik yang terpampang di sana-sini, telah memberi argumentasi tentang diferensiasi yang dimilikinya. Meski terkadang sumir, namun “perbedaan” itulah yang hendak dipertarungkan. Seakan dengan berbeda, idealisme akan terwujud sempurna.

Tapi di luar itu, rakyat sedang mengintip lahirnya kebersamaan. Bersama-sama meraih kesejahteraan sebagai warga negara yang rindu untuk diperhatikan dan dilibatkan dalam setiap bentuk kemudahan untuk mengakses hidup yang lebih baik. Bersama-sama menahan diri untuk tidak sesering mungkin berkumpul di jalan, hanya karena kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.

Mereka sadar, perubahan dan keberlanjutan hanya bisa terwujud melalui saluran demokrasi yang ideal. Mereka percaya, melalui pemilu, idealisme akan membumi dan melata dalam keseharian aktivitas yang selama ini dijalani. Mereka berharap pada wajah dan rupa para kontestan yang penuh polesan, menyebar dalam banalitas hidup yang telanjang di dasar harapan yang muncul di setiap hajatan lima tahunan.

Dalam ruang kontestasi, wajah asli dan palsu tidak lagi bisa dibedakan. Semua menyatu dalam gimik yang diproduksi untuk meraup suara publik yang juga tidak lagi mampu dipilah keasliannya. Persis ungkapan Jean Baudrillard (1929-2007), yang menyinggung tentang fenomena hiperealitas yang diidap kondisi modern. Saat suasana dihuni situasi yang simpang siur, kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu melebur dengan masa kini, fakta bercengkerama dengan rekayasa, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Masyarakat pun mengonsumsi hidangan tanpa memedulikan realita dan esensinya.

Namun, di balik segala bentuk kesumiran itu, saat kontestasi telah usai, idealisme tidak pernah usai untuk ditagih. Rakyat boleh saja lupa tentang latar belakang pilihannya. Tapi mereka tidak akan pernah abai tentang harapan yang terpatri dalam ide yang terus mendesak untuk disuarakan.

Oleh karena itu, siapapun nantinya yang akan meraih puncak kekuasaan, sejatinya pertengkaran ide harus memperoleh tempat bersemayam. Fasilitasi idealisme harus ditumbuhkan agar semerbak dan mewangi dalam ruang-ruang yang terlanjur dihuni oleh wajah dan rupa polesan.

Selamat merayakan dan mengarungi kebaruan tahun 2024, di mana idealisme akan kembali dipertarungkan. Janji dan mimpi yang “diperjualbelikan” adalah menu hidangan yang akan terus diperbincangkan. Tidak peduli siapapun figur yang terpilih, idealisme akan terus ditagih. (***)

Tinggalkan Balasan