Law-Investigasi – Lagi, penegak hukum bongkar dugaan korupsi di grup usaha BUMN Telekomunikasi PT Telkom. Kali ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengusut kasus korupsi di PT Sigma Cipta Caraka (SCC) yang merupakan anak perusahaan Telkom. Ratusan milyar duit rakyat yang dikelola korporasi ini ditengarai raib akibat proyek fiktif. Sebanyak 6 orang sudah ditetapkan jadi tersangka. Tetapi, belum ada petinggi Telkom yang dipanggil.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyampaikan kepada law-justice, bahwa perkara bancakan ini seputar proyek pengadaan barang dan jasa, yakni penggarapan pusat data atau data center yang berkerjasama dengan pihak ketiga atau vendor. Akan tetapi, proyek ini diduga kuat hanya rekayasa atau fiktif sebagai modus yang digunakan untuk pencairan anggaran proyek.
Menurut Asep, awal tahun ini KPK sudah melakukan pemeriksaan sejumlah saksi di level pimpinan perusahaan SCC. Mereka adalah; VP Treasury and Payment, Guruh Firman Kurniawan; VP Legal and Compliance periode 2015-2022, Kurniawan; dan Taufik Hidayat, VP Business Data Centre and Cloud periode 2016-2017. Tak hanya itu, KPK juga menggali kesaksian dari pihak swasta yang diduga sebagai vendor proyek fiktif ini bernama Gatot Wahyudianto.
Sedangkan, dari informasi yang dihimpun, ada dua pejabat SCC yang ditetapkan sebagai tersangka yakni Bakhtiar Rosyidi yang pernah menjabat Direktur Human Capital dan Finance dan Judi Achmadi yang juga menempati posisi Direktur Utama. KPK juga disebut sudah menetapkan tersangka dari kalangan swasta atau vendor, antara lain Suryo Laksono selaku Direktur PT Granary Reka Cipta, Roberto Pangasian Lumban Gaol selaku pemilik PT Prakarsa Nusa Bakti dan dua yang diduga sebagai makelar proyek fiktif ini, yakni Afrian Jafar dan Imran Mumtaz.
Asep Guntur menjelaskan SCC dalam kasus ini bergerak sebagai pihak yang memberikan modal kerja untuk penggarapan proyek. Vendor seolah diberikan modal atau dana untuk mengeksekusi proyek. Akan tetapi jika merujuk bisnis utama SCC, mereka merupakan perusahaan solusi teknologi informasi yang model bisnisnya berkutat pada pengembangan, operasi solusi IT hingga memberikan layanan teknologi telekomunikasi secara nasional.
“Proyek ini suatu hal yang di luar koridor bisnis Sigma Cipta Caraka yang bergerak di bidang telekomunikasi, bukan keuangan. Mereka melakukan pembiayaan bukan penggarapan proyek data center itu sendiri,” kata Asep saat dihubungi, Kamis (29/2/2024). Kata Asep, proyek pembiayaan yang fiktif ini yang menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk melakukan pengusutan.
Asep mengatakan laku bancakan di SCC mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp200 miliar lebih. Jumlah itu masih bisa bertambah, seiring proses penyidikan yang masih berlangsung. Proyek fiktif ini diduga berlangsung pada rentang waktu sejak 2017 sampai 2022 dengan melibatkan banyak pihak. “Ada pihak yang berperan sebagai makelar,” kata Asep.
Kejagung pun sebenarnya sedang mengusut dugaan korupsi dalam rekayasa proyek fiktif di Grup Usaha PT Telkom, PT SCC. Hanya saja, periode korupsi yang diusut pada 2017-2018 atau lebih sedikit dibanding periode yang diusut KPK. Kepada Law-Investigasi, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Kuntadi, mengatakan awal penyidikan dimulai sejak Oktober 2023 lalu. Penyidik menemukan indikasi awal kerugian negara sebesar Rp318 miliar. Modusnya pun sama ihwal proyek fiktif proyek pengembangan pusat data dengan melakukan pembiayaan kepada pihak ketiga yang bukan merupakan bisnis dari SCC.
Kuntadi menekankan bahwa SCC memberikan pembiayaan modal kepada vendor, salah satunya kepada perusahaan berinisal PT PDS. Namun, saat dikonfirmasi apakah kasus yang sedang disidik Kejagung lebih dulu beririsan dengan KPK, Kuntadi tidak menjawab jelas. “Masih penyidikan sejauh ini dan sudah menemukan terduga tersangka dengan modus proyek fiktif itu,” kata Kuntadi saat dihubungi, Kamis (14/3/2024).
Senada, Asep Guntur juga tak mengonfirmasi ihwal kesamaan kasus SCC yang tampak selaras dengan kasus yang disidik Kejagung. “Silakan konfirmasi ke Kejagung,” ujar Asep.
Sementara, Kasman Sangaji selaku penasihat hukum Bahtiar Rosyidi menganini kalau kliennya kembali menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Grup Telkom ini. Menurut Kasman, kliennya mengambil risiko menjadi tersangka dengan membongkar kasus ini.
“Pak Bahtiar ini kan punya track record yang sangat idealis ya gitu nah beliau mengambil resiko (menjadi tersangka) karena memang melihat banyaknya cara dan penggunaan anggaran-anggaran perusahaan yang memang dikategorikan atau diduga itu fiktif. Nah, daripada ini terus berlanjut dan tidak ada yang bongkar, maka dibongkar lah kasus-kasus ini,” ujar Kasman saat dijumpai di Kantornya di bilangan Tebet Jakarta selatan, Jumat (1/3/2024).
Kasman mengklaim kalau kasus-kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh penegak hukum ini merupakan inisiasi dari kliennya. “Kamilah yang berinisiatif dalam hal ini, nah, seperti apa nanti bukti dan kelanjutannya tinggal kita lihat dari lembaga atau institusi penegak hukum,” ujarnya.
Kasman menambahkan, kliennya bakal kooperatif dan siap membongkar semuanya karena data data-data komplit. Dengan data-data yang dimiliki kliennya, Kasman meyakini kalau yang terlibat bukan hanya di manajemen kelas bawah. “(Kasus) ini jelas melibatkan petinggi Telkom. Sayangnya, jangan kan dijadika tersangka, sekedar dipanggil sebagai saksi pun tidak,” ujarnya.
Menurut Kasman, saat ini penegak hukum tengah menyidik sejumlah kasus lain di grup Telkom. “Total korporasi yang terlibat ada sekita 16. Masih jauh lebih sedikit dari yang ada di data kami, sejumlah 71 korporasi,” ujarnya. Namun, korporasi yang ditangani itu masih merupakan bagian dari korporasi yang mereka bidik.
Menurut Kasman, potensi kerugian dari sejumlah dugaan korupsi dengan modus proyek fiktif ini mencapai Rp 2,1 triliun. “Sebanyak Rp 300 M kabarnya sudah dikembalikan. Sehingga, kini tinggal Rp 1,8 triliun yang masih kita kejar,” tandasnya.
AVP External Communication Telkom Sabri Rasyid mengatakan perusahaannya akan patuh terhadap proses hukum yang tengah berjalan. Serta mendukung KPK untuk menuntaskan kasus tersebut dan ia menyebut bila PT Telkom akan kooperatif bila diminta KPK membutuhkan bantuan.
“Kita pasti akan mendukung penuh langkah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk menuntaskan kasus tersebut,” tutur Sabri saat dikonfirmasi, Rabu (21/02/2024).
Sabri memastikan pihaknya akan berkoordinasi lebih lanjut dengan internal untuk mengetahui kasusnya secara detail. “Kami akan pantau terus,” imbuhnya.
Motif Politik di Balik Dugaan Korupsi di Telkom
Badiul Hadi meyakini kasus korupsi di SCC yang disidik Kejagung dan KPK adalah kasus dengan modus dan duduk perkara yang serupa. Perbedaannya, kata Manajer Riset Seknas Fitra ini, hanya di periode penyidikan. “Sehingga sebenarnya butuh sinergi antara Kejagung dan KPK. Jangan berjalan sendiri-sendiri. Tidak tau ini KPK datang belakangan. Apakah ada aspek sudut pandangan yang baru dalam kasus di SCC ini,” kata Badiul kepada Law-Investigasi, Kamis (29/2/2024).
Bicara soal modus pembiayaan oleh SCC, Badiul menekankan modus seperti ini baru. Sebab, SCC seolah ingin membuat perspektif baru bahwa adanya prospek bisnis dengan pembiayaan kepada pihak ketiga dalam hal pengembangan pusat data, meski bisnis utama SCC tidak sama sekali terkait pembiayaan modal kerja.
“Tapi Kalau fiktif kan artinya tidak ada prospek bisnisnya. Ini betul-betul rekayasa untuk keuntungan sendiri maupun kelompok,” kata dia.
Menurutnya, sejumlah saksi yang diperiksa maupun terduga tersangka belum mencerminkan seutuhnya ihwal konfigurasi para pelaku. Ia menitik beratkan korupsi ini semacam permufakatan jahat yang bersifat struktural secara hierarki perusahaan. Ini kan pasti kerjasama internal sangat luar biasa. Bahwa ada kebijakan dari pimpinan tertinggi dan pasti sepengetahuan mereka. Apalagi ini duit besar ratusan miliar,” ucapnya.
Dia mewanti-wanti, jajaran redaksi maupun komisaris SCC sangat sulit dibilang jika tidak mengetahui adanya pencairan dana proyek pembiayaan. Pembahasan soal proyek ini bisa saja masuk dalam agenda di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sehingga KPK maupun Kejagung, katanya, mesti melakukan pemeriksaan di level pimpinan tinggi.
“Saya menduga ada proses yang dilakukan dan itu sepengetahuan pimpinan. Ini yang jadi pintu masuk untuk mengusut penyalahgunaan kewenangan,” ucapnya.
Melihat penegak hukum yang hanya melakukan pemeriksaan pada level pelaksana, Badiul menekankan adanya relasi politik dalam pengusutan kasus di SCC ini. Hal ini tidak terlepas dari fenomena bahwa komisaris maupun direksi di BUMN seperti Telkom merupakan jabatan yang politis. Proses penunjukkan tidak sepenuhnya berdasar nilai profesionalisme, tetapi juga berkelindan dengan politik.
Menjadi pilihan bagi penegak hukum, aakah akan dihentikan di level pelaksana teknis atau sampai ke pemimpinan. Kalau sudah masuk level tinggi, nuansa politisnya juga makin tinggi. Karena direksi dan komisaris ini kan jabatan politis sehingga bakal ada impact politik,” katanya.
“Maka dari itu, kasus berhenti di level teknis. Atasnya tidak akan tersentuh. Itu semacam hal yang sudah lazim dilakukan oleh penegak hukum. Kecuali pihak yang menjadi saksi atau pelaku mau buka suara. Penyidikan di level politik ini (mengusut direksi dan komisaris), biasanya akan tersendat karena banyak drama politiknya,” ia menambahkan.
Dia juga mengatakan peranan makelar juga mesti diusut lebih dalam untuk menarik katian antara pimpinan SCC dengan pihak ketiga. Sebab, penunjukkan vendor juga tak terlepas dari preferensi pimpinan. Potensi kongkalikong itu sangat besar karena ini melibatkan pihak ketiga. Ada makelar yang juga disebut KPK. Karena enggak mungkin pihak perusahaan yang menerima itu enggak tahu apa,” kata dia.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menduga adanya peranan komisaris maupun direksi dalam setiap kasus korupsi di BUMN, termasuk Telkom. Lagi-lagi, titik beratnya adalah intervensi politik, terlebih imbas dari politik balas budi terkait kemenangan elektoral dalam Pemilu. Pengusutan kasus yang menyasar beberapa level pelaksana hingga komisaris, katanya, hanya semacam cara merotasi jabatan dengan cara lain. Ketika rezim berganti, maka pihak-pihak yang mengisi posisi pun menyesuaikan.
“Mereka (pimpinan BUMN) dirotasi. BUMN jadi tempat parkir timses karena banyaknya kroni rezim. Ketika ada rolling jabatan ini, kasus-kasus di balik meja seperti ini akan muncul karena politik balas budi,” kata Bagus kepada Law-Investigasi, Kamis (29/2/2024).
Meski begitu, penegak hukum, katanya, agak sulit jika menyasar level direksi dan komisaris. Menurutnya, relasi antara jajaran pimpinan di level atas dengan pelaksana itu terjadi, akan tetapi skema bancakan lebih dominan dilakukan level pelaksana. Dia menekankan proyek ini bisa saja tak masuk agenda RUPS alias proyek dirancang di balik meja.
“Karena mekanismenya atau strateginya layering seperti itu. Karna yang dipasang untuk berkubang di lahan kotor pasti dibikin enggak berelasi dengan high level. Karena untuk mengamankan agar jangan sampai daftar tunggu (pemeriksaan oleh penegak hukum). Sehingga mau diusut dari kapanpun, yang diincar pasti level direktur pelaksana saja. Karena ada patron-klie nya,” ujar Bagus.
Ada Orang Dekat Menteri yang Terlibat?
Menyinggung soal modus, Bagus tidak habis pikir dengan proyek fiktif yang dimainkan. Pembiayaan keuangan dengan dalih eksekusi proyek data, menurutnya, sudah melenceng dari bisnis SCC. “Dari situ saja sudah mengingkari fungsi awal profesionalismenya. Ini jelas sudah monopolisitik. Ada upaya untuk mengkooptasi agar koridor bisnis utama tidak dijalankan dan dialihkan ke bisnis fiktif yang dikuasai segelintir orang saja,” ucap dia.
Menilik jajaran komisaris SCC, ada satu nama yang cukup akrab bersinggungan dengan Menteri BUMN, Erick Thohir. Dia adalah Farida Sunarjati yaang menjabat komisaris independen. Farida sempat menempati posisi Head of Risk Management di PT Mahaka Media. Perusahaan itu merupakan salah satu yang terafiliasi dengan Erick Thohir.
Badiul mengatakan kinerja Telkom dan sub-holdingnya dalam tanda tanya besar. Penekanannya pada sejumlah anggaran untuk penggarapan proyek maupun kerjasama. Sehingga anggaran begitu rentan disalahgunakan. Dia juga menyinggung soal dugaan konflik kepentingan saat Telkom berinvestasi di GoTo. “Ini menunjukkan tingkat transparansi dan akuntabiltiasnya tidak baik. Sehingga potensi penyalahgunaan anggaran jadi sangat besar karena kontrolnya tidak maksimal,” katanya.
Menanggapi kasus di Telkom, Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza menyebut salah satu muara kasus di Telkom ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Seperti diketahui, BPK menemukan 11 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak perusahaan pelat merah bermasalah. Salah satu diantaranya adalah PT Telkom (Persero) yang rugi Rp 459,29 miliar.
Untuk itu, Faisol mengatakan bila Menteri BUMN Erick Thohir harus menindaklanjuti temuan BPK tersebut agar tidak menjangkiti perusahaan lainnya. “Saya kira temuan BPK ini sebaiknya ditindaklanjuti oleh masing-masing BUMN, termasuk juga Telkom,” kata Faisol saat dihubungi, Selasa (20/02/2024).
Legislator dari Fraksi PKB DPR RI ini mengatakan, sejumlah perusahaan pelat merah tersebut harus mampu mengendalikan masalahnya dan menjalankan apa yang diminta BPK untuk diperbaiki.
“Menurut saya, sebagai sebuah perusahaan yang sudah lama berkiprah, dan juga perusahaan yang memiliki reputasi besar,Telkom rasanya akan mematuhi apa yang sudah diminta oleh BPK,” kata Faisol.
Faisol menekankan, untuk menjadikan BUMN sebagai perusahaan dengan pengelolaan terbaik atau Good Corporate Governance (GCG) maka mereka harus mematuhi arahan Menteri BUMN dengan serius mengatasi permasalahannya.
“Memang ini temuan penting, terutama untuk menjaga GCG, yang sudah menjadi aturan perusahaan secara serius, dan diminta betul oleh Menteri BUMN untuk dijalankan,” ujarnya.
Faisol juga meminta kepada Erick Thohir untuk bersungguh-sungguh menindaklanjuti kerugian yang terjadi BUMN termasuk Telkom. Selebihnya, ia menyatakan bila terkait kasus yang sedang berjalan biarkan aparat penegak hukum yang bekerja untuk menuntaskan kasus tersebut.
“Perlu sinergi dari lembaga negara dan lembaga penegak hukum supaya tetap bisa berjalan sesuai koridornya,” katanya.
Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam menyebut Telkom harus membenahi sistem secara serius dalam struktur direksi PT Telkom Sigma. Mufti menyebut sebagai korporasi Telkom Sigma harus dimaknai secara lebih luas tidak hanya sebagai bisnis semata.
“Sektor tersebut tidak hanya dimaknai dari usaha atau bisnis semata, tetapi lebih luas lagi adalah kepentingan strategis negara,” kata Mufti saat dikonfirmasi, Kamis (29/02/2024).
Dia memaparkan, salah satu pilar penting dan strategis di telekomunikasi adalah data. Untuk itu, Mufti mendorong bila Telkom sigma harus segera membenahi manajemen dalam korporasi tersebut.
“Mengingat strategisnya keberadaan Telkom Sigma, tentu harus dibenahi sungguh-sungguh,” tutur Mufti.
Terkait kasus hukum yang sedang berjalan, Politisi PDIP itu menyerahkan hal tersebut kepada aparat penegak hukum untuk menelusuri lebih jauh terkait hal tersebut.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, meminta Aparat penegak Hukum seperti KPK dan Kejaksaan Agung (Kejagung), segera mengusut para oknum dalam kasus dugaan korupsi dalam transaksi di BUMN.
Politikus Partai NasDem itu menilai, proses hukum itu sebagai momentum bersih-bersih Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Ini sekaligus jadi momen bersih-bersih BUMN juga. Dan apalagi kalau kita lihat, spirit pemberantasan korupsi antara Kejagung dan Kementerian BUMN ini serupa. Pucuk pimpinannya pun sama-sama tidak ada yang pernah mau mentolerir para pencuri uang negara,” kata Sahroni kepada wartawan Selasa (20/02/2024).
Sahroni mendesak Kejagung bergerak cepat mengusut kasus tersebut. Sebab, potensi kerugian negara yang sangat besar ditambah dengan adanya temuan dari BPK.
“Tapi saya 100 persen tidak yakin kalau tidak ada penyelenggara negara yang terlibat. Karena di mana-mana, korupsi itu pasti terjadi akibat adanya penyalahgunaan kewenangan. Makanya, saya minta Aparat Penegak Hukum cepat usut kasus ini, pasti banyak yang terlibat,” ucapnya.
Kasus Rombongan
Selain kasus SCC yang tengah ditangani leh KPK, sebelumnya Kejaksaan Agung juga menangani kasus korupsi di Graha Telkom Sigma (GTS). Dari satu saksi dan dua terduga tersangka dalam kasus korupsi proyek fiktif SCC ini, juga terlibat dalam kasus korupsi di Graha Telkom Sigma (GTS), anak usaha dari SCC atau cucu perusahaan dari Telkom. Mereka adalah Bachtiar Rosyidi, yang selain menjabat di SCC, juga berstatus Dirut PT GTS periode 2014-2017 dan merangkap Komisaris PT GTS 2017-2018. Juga ada nama Judi Ahmadi dan satu pihak vendor, yaitu Suryo Laksono. Kasus ini sudah masuk tahap penuntutan dengan ancaman hukuman 7 dan 5 tahun penjara.
Adapun kasus ini disidik Kejagung pada 2023 lalu. Penyidik Korps Adhyaksa mengungkapkan kasus korupsi tersebut terkait proyek pengerjaan apartemen, perumahan, hotel dan penyediaan batu split oleh PT GTS pada periode 2017-2018. Total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp354.335.416.262. Modus korupsi dengan cara membuat akal-akalan proyek seolah berjalan dan dibangun bentuk fisiknya, namun pada faktanya hanya proyek fiktif. Dalam proyek bodong ini melibatkan juga perusahaan lain atau vendor yang dibutuhkan untuk menjalin kerjasama demi memuluskan pencairan dana.
Sebelumnya, Kuasa hukumnya Telkom, Juniver Girsang, menuturkan kasus ini menyeret nama Bakhtiar Rosyidi, yakni mantan Direktur Human Capital & Finance Telkomsigma. Adapun, ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perkara PT Graha Telkom Sigma, yaitu anak usaha Telkomsigma.
Juniver mengatakan bahwa Bakhtiar kemudian melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 160/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst.
Gugatan itu disebut Juniver merupakan gugatan perbuatan melawan hukum yang ditujukan kepada Menteri BUMN Erick Thohir dan beberapa direktur aktif Telkom yang tidak menjabat pada periode yang dimaksud.
“Perlu kami sampaikan/tegaskan dikarenakan telah berkembang/beredar pemberitaan-pemberitaan tersebut sangat merugikan Telkom,” kata Juniver dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu, Kamis (05/10/2023). Ia kemudian menjelaskan akar persoalan kasus Telkomsigma.
“Bahwa pada tanggal 3 Oktober 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan sela dalam perkara tersebut yang menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara nomor 160/Pdt.G/2023/PN. Jkt.Pst,” ucap Juniver.
Telkom seperti disampaikan Juniver, padahal nyatanya tidak ada kaitannya dengan permasalahan tersebut.
“Hal mana tuduhan tersebut sangat merugikan, khususnya kepada Telkom sebagai perusahaan publik/terbuka karena telah direpotkan dengan permintaan klarifikasi oleh Bursa Efek Indonesia terkait dengan tuduhan yang tidak berdasar menurut fakta dan menurut hukum tersebut,” ucap Juniver.
“Laporan keuangan Telkom telah mengikuti standar internasional kemudian diaudit dan mengikuti pemeriksaan oleh salah satu auditor independen terbesar di dunia, Ernst & Young (EY) dan juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai standar akuntansi yang diakui negara,” pungkasnya.
Mennaggapi perihal putusan perkara perdata di PN Jakarta Pusat, pengacara Bahtiar Rosyidi memiliki pandangan berbeda. “Putusan PN Jakarta Pusat, masih belum inkrah karena kami masih banding. Intinya putusan terebut sebenarnya mengukuhkan kalau dalam kasus ini memang unsur pidana korupsi lebih dominan,” ujar Kasman.
Hal itulah yang membuat Kasman yakin kalau nama-nama yang masuk dalam gugatan mereka, perlahan tapi pasti akan dicokok oleh penegak hukum. “Sementara itu, kami juga masih menyusun gugatan perdata baru untuk kasus ini namun yang melibatkan perusahaan berbeda. Dari 71 perusahaan yang masuk daftar, kan baru 16 yang diproses. Sisanya, tunggu tanggal mainnya,” pungkasnya.
Modus garong duit rakyat di Grup Telkom ini meskipun tergolong canggih dan mutakhir, namun sejatinya adalah modus klasik menggarong duit rakyat. Secara awam, modusnya standar saja, bagaimana memanfaatkan duit rakyat yang terkumpul di pundi-pundi anak Telkom dan anak perusahannya tanpa terendus.
Dalam kasus ini, dibuatlah rancangan, seolah-olah ada prospek bisnis yang bakal menguntungkan kalau dikerjakan dan dimodali oleh anak usaha Telkom. Faktanya, bisnis itu tidak ada, sementra duit Telkom dan anak perusahannya sudah kandas.
Pelru menjadi catatan bagi penegak hukum adalah, kerugian negara ratuan milyar yang kini tengah digarap oleh penegak hukum baru bersumber dari satu anak perusahaan saja. Sementara, PT Telkom memiliki sejumlah anak usaha yang memiliki kapasitas bisnis dan profit yang lebih besar lagi.
Penegak hukum dan auditor negara tampaknya perlu untuk melakukan audit investigasi terhadap PT Telko secara menyeluruh. Mesti diklarifikasi oleh auditor negara, apakah dugaan korupsi ini akiubat laku sektoral pejabat anak usaha. Namun, bisa jadi kalau ini merupakan upaya yang terstruktur, sitematis dan masif terjadi di Telkom. Tak ada cara lain, lakukan audit atau DPR bisa membentuk Pansus untuk Telkom.
(R. Simangunsong)