Law-Investigasi
Jangan Hanya Sasar Pelaksana Teknis
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Benny K Harman berharap KPK tidak tebang pilih dalam mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI. Benny meminta KPK dapat memproses siapapun yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI.
“Intinya siapapun terlibat diproses, silahkan, asal jangan tebang pilih,” kata Benny ketika dikonfirmasi, Selasa (19/03/2024).
Benny meminta KPK dalam pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI tidak bermotif politik. Benny mengingatkan, jangan ada motif balas dendam apalagi memperalat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI. “Jangan ada motif politik, balas dendam dan jangan diperalat,” ungkapnya.
Sementara itu, pakar hukum pidana Chairul Huda menyoroti pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini. Menurutnya, KPK jangan hanya berkutat pada pelaksana teknis saja.
“Kejadian ini yang bisa disasar KPK sampai level mana sih sebenarnya?” ujarnya. Dia lantas menguraikan, dalam kasus seperti ini yang pertama harus dimintai tanggung jawab adalah mereka yang tanggung jawab secara administrasi. Dalam kegiatan pengadaan barang jasa pemerintah ini ada pengunaan anggaran dan ada kuasa pengguna anggaran. Kemudian ada pejabat pembuat komitmen.
“Jadi kalau ditanya pertanggung jawabannya di mana? Ya pertama mereka dulu, ya kan mulai dari pejabat pembuat komitmennya lalu kemudian yang berhubungan dengan penyedia jasanya kontraktor, dalam hal ini pengawasnya,” kata dosen Universitas Muhamadiyah Jakarta ini.
Selanjutnya, menurut menurut Huda, baru naik ke kuasa pengguna anggarannya. Sejauh mana pertanggungjawabannya, tentu sejauh mana ada bukti yang mengkaitkan antara kegiatan tersebut yang menyimpang dengan tugas dan tanggung jawab dari yang bersangkutan. Jadi tidak tertutup kemungkinan kalau rumah jabatan DPR ini pengguna anggaran adalah Sekjen DPR misalnya begitu tidak kemungkinan sampai ke sana pertanggungjawabannya.
Nah, tahap berikutnya adalah itu tahap siapa yang mendapatkan kickback. “Siapa saja yang mendapatkan cuan dari kegiatan itu, ini bisa ke mana saja. Bisa ke pimpinan DPR, bisa ke anggota DPR. Ini kan yang diperiksa itu paling tinggi saat ini baru sekjen.Tetapi, dari pihak DPR nih baik pimpinan maupun anggota ini belum ada,” ujarnya.
Dia menambahkan, nanti dari hasil pemeriksa akan terlihat apakah perlu nanti penyidik untuk memeriksa. Apakah dari penyimpangan ini, apakah ada kick back yang mengalir ke kepimpinan DPR. “Sekarang itu kalau tindak korupsi pengadaan barang jasa kadang-kadang malah menjangkau pada orang-orang yang justru secara struktural tidak ada tidak ada di situ. Kita bisa lihat itu dalam kasus Permai Grup. Anas dan Nazarudin itu beneficial owner yang tidak ada dalam struktur. Tapi dia ada di balik layar yang mengendalikan,” paparnya.
Dia menilai, pihak yang diuntungkan dalam kasus ini bisa jadi ada pimpinan atau anggota DPR yang kemudian mengendalikan kegiatan ini. “Nah, itu KPK harus sampai ke sana,” tegasnya.
Namun dia meragukan kredibilitas KPK. Menurutnya, KPK sekarang tidak bisa diharapkan. “KPK dulu kita bisa berharap ya bahwa ini sampai aktor intelektualnya bisa dijangkau. Kalau sekarang mungkin paling tinggi sampai ke Sekjen aja gitu,” pungkasnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa pihak Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI soal kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI yang saat ini sudah naik ke tahap penyidikan.
Lucius menjelaskan bahwa proyek pengadaan itu walaupun kuasa pengguna anggarannya ada di Setjen DPR RI, tetapi dalam pengerjaannya Sekjen DPR RI akan selalu berkonsultasi dengan BURT RI karena sebagai mitra kerja.
“Jadi kalau ada dugaan korupsi, sangat mungkin bukan hanya melibatkan Sekjen DPR misalnya. Karena anggaran itu atau proyek-proyek itu tidak pernah diputuskan sendiri oleh Sekjen DPR bahwa uang itu kemudian menjadi tanggung jawab Sekjen, tapi proyeknya sendiri itu dirancang bersama dengan BURT,” kata Lucius kepada Law-Investigasi, Kamis (21/03/2024).
Lucius mengaku tidak terlalu terkejut dengan langkah KPK yang mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI. Lucius menerangkan kasus dugaan korupsi ini selaras dengan aroma penyalahgunaan anggaran pada sejumlah proyek janggal.
“Munculnya dugaan korupsi terkait pengadaan perlengkapan rumah tangga anggota DPR sesungguhnya tak mengagetkan. Aroma penyalahgunaan anggaran pada sejumlah proyek janggal yang sempat heboh di DPR sesungguhnya bisa dijelaskan melalui kemunculan dugaan kasus korupsi pengadaan fasilitas rumah tangga DPR ini,” ucapnya.
Lucius memandang, dugaan korupsi proses pengadaan barang memang yang paling mungkin terjadi di DPR khususnya yang bersumber dari anggaran APBN. Lucius mengakui, anggaran di DPR memang tak sebesar untuk kementerian namun ada alokasi untuk pengadaan fasilitas penunjang di Parlemen. “Nah dari proyek pengadaan itu yang paling mungkin dijadikan celah penyimpangan barangkali dengan modus mark up,” ucapnya.
Lucius mencontohkan, seperti program pengadaan gorden model peruntukkan bagi sejumlah rumah dinas DPR yang sempat viral. Dengan contoh kasus tersebut, Lucius mengamini paling mungkin dilakukan dengan mark-up harga satuan barang yang dibelanjakan. “Selisih antara harga satuan di pasaran dengan budget yang dianggarkan menjadi ceruk keuntungan yang bisa dimanfaatkan,” ungkapnya.
Lucius memaparkan selain markup, permainan lain yang bisa dilakukan DPR ialah melalui penunjukan langsung ataupun tender dengan proses yang tertutup. Lucius menerangkan, kongkalingkong dengan mudah terjadi antara penyedia anggaran dengan pelaksana proyek.
“Nah pihak yang potensial menjadi tersangka kasus pengadaan di DPR tentu saja adalah pihak kesekjenan DPR. sekjen DPR lah yang mempunyai kuasa pengguna anggaran karena itu menjadi yang paling potensial terlibat jika dugaan korupsi pengadaan di DPR akan berujung pada penetapan tersangka,” paparnya.
Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas menyatakan jika Indra Iskandar memang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka pimpinan DPR RI harus tegas mengambil tindakan serius dan secepatnya. “Apabila (Sekjen DPR RI) ditetapkan sebagai tersangka, segera dicopot dari jabatannya sebagai Sekjen DPR RI,” kata Fernando kepada Law-Investigasi, Jumat (22/03/2024).
Fernando menegaskan KPK sebaiknya juga melakukan penyelidikan pada anggaran Setjen DPR RI tahun 2022. Menurutnya, banyak anggaran yang nilainya tak masuk akal pada anggaran pada tahun tersebut. Sehingga ia mendesak KPK untuk menelusuri secara lebih lanjut. “Sebaiknya KPK juga melakukan penyelidikan anggaran Sekretariat Jenderal DPR RI tahun 2022 yang dianggarkan untuk pengaspalan jalan di lingkungan DPR RI yang mencapai Rp11 miliar dan pengadaan gorden rumah dinas anggota DPR RI dengan nilai Rp 84,7 miliar,” imbuhnya.
Duit rakyat yang dialokasikan untuk kenyamanan wakil rakyat pun rupanya tak lepas dari incaran begal anggaran. Lemahnya pengawasan, menjadi salah satu titik tolak terjadinya kasus seperti ini. persoalan yang mesti didalami adalah, apa faktor yang menyebabkan pengawasan menjadi lemah? Apakah furni faktor kelalaian, atau mungkin justru ada kesengajaan untuk mengabaikan unsur pengawasan. Tugas dari KPK adalah untuk menuntaskan kasus ini sampai ke level sutradara, yang mungkin saja tidak terlihat dalam rangkaian kejadian namun merasakan manfaat dari kasus ini.
(R. Simangunsong)