Jakarta, LINews – Ombudsman Republik Indonesia (RI) menemukan dugaan maladministrasi terkait penentuan subjek dan objek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) oleh pelaksana layanan di Kementerian ATR/BPN.
Hal itu disampaikan Anggota Ombudsman RI, Dadan S Suharmawijaya dalam acara Penyampaian Hasil Kajian Ombudsman RI tentang “Tinjauan Terhadap Implementasi Reforma Agraria dalam Penyelesaian Konflik Agraria dan Redistribusi Tanah” yang digelar di Jakarta, Selasa (7/6).
Dadan menjelaskan, pelayanan publik di bidang pertanahan belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat.
Hal itu terlihat dari jumlah laporan masyarakat kepada Ombudsman RI yang tinggi yakni 1.612 Laporan pada tahun 2021.
Menurutnya, jumlah tersebut adalah jumlah laporan tetringgi yang pernah diterima Ombudsman RI berdasarkan jenis atau substansi yang dilaporkan dengan materi yang beragam dan cenderung tidak sekedar administrasi pelayanan.
Tetapi bergeser pada pokok permasalahan yang lebih kompleks dan berdimensi konflik.
“Berdasarkan informasi yang terkumpul menunjukkan capaian reforma agraria masih menjadi catatan, khususnya pada aspek redistribusi lahan di kawasan eks HGU, legalisasi tanah transmigran, dan objek redistribusi pada areal atau kawasan hutan,” ujar Dadan.
Di sisi lain, Ombudsman juga mendapati program reforma agraria yang menyentuh sektor lahan atau kawasan yang juga tercatat sebagai aset negara juga menunjukkan belum ada penyelesaian yang komperhensif dilakukan.
Pasalnya, dari target 9 juta hektar lahan untuk mewujudkan reforma agraria, realisasi tanah baru mencapai 26,17 persen, jauh lebih rendah dari catatan Kementerian ATR/BPN yang mengklaim telah merealisasi sekitar 85,67 persen atau 7,7 juta hektar lahan reforma agraria.
“Salah satu kendalanya karena target pelepasan kawasan hutan baru mencapai 5,15 persen,” urai Dadan.
Namun temuan menarik Ombudsman, lanjut Dadan, adalah tentang sejauh mana reforma agraria menjadi solusi terhadap konflik agraria yang terjadi.
Kemudian bagaimana realisasi redistribusi tanah yang berasal dari tanah yang konflik agrarianya telah terselesaikan?
Berdasarkan laporan masyarakat yang diterima Ombudsman RI, menunjukkan bahwa sejak tahun 2019 terdapat 6 laporan berkaitan langsung dengan substansi TORA atau landreform yang terjadi di Jawa Tengah (2020), Riau (2019), Jambi (2020), Maluku (2020), dan Jawa Barat (2 Laporan 2020 dan 2021).
“Substansi laporan tersebut adalah keberatan masyarakat atas belum adanya penyelesaian permasalahan tanah yang dimohonkan melalui mekanisme program TORA,” ungkapnya.
Namun demikian, isu berkaitan dengan penyelesaian layanan pertanahan melalui TORA erat kaitannya dengan permasalahan konflik masyarakat atas penguasaan lahan di areal perkebunan, baik itu perkebunan yang dikelola oleh BUMN maupun badan hukum (swasta).
Dadan menuturkan, pengaduan yang berhubungan dengan konflik atau keberatan atau permasalahan masyarakat atas penguasaan lahan perkebunan yang telah terbit HGU, jumlah Laporan yang diterima dalam rentang waktu tahun 2017-2021 berjumlah 196 yang tersebar di seluruh Provinsi di Indonesia.
Maka dari itu, Ombudsman menemukan sejumlah permasalah yang diduga menjadi penyebab utama permasalahan agraria. Pertama, adanya ketidaksikronan regulasi antar instansi yang membuat konflik tidak tertangani dengan baik.
Dadan menjabarkan, Perpres 86/ 2018 tentang Reforma Agraria mengamanatkan bahwa penanganan sengketa dan konflik agraria diatur dengan Peraturan Menteri.
Namun Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesain Kasus Pertanahan tidak secara spesifik diterbitkan dalam kerangka reforma agraria.
“Dari sisi materi atau substansi konflik agraria tidak diatur dalam Perpres 86/ 2018, seperti substansi konflik agraria yang berkaitan dengan Kawasan Hutan, aset negara/BUMN serta proyek strategis nasional. Hal ini mengakibatkan tidak sinkronnya regulasi,” paparnya.
Kemudian penyebab kedua, disebutkan Dadan, adalah belum adanya skema layanan administrasi dalam penentuan subjek dan objek TORA, di mana dalam implementasinya berdimensi konflik karena masih bersifat perkiraan di atas peta.
“Sehingga berpotensi menimbulkan salah perhitungan luas pada saat pelaksanaan Inventarisasi dan verifikasi di lapangan. Persoalan penentuan subjek dan objek ini terjadi di seluruh daerah yang diteliti yaitu Jambi, Kabupaten Pemalang, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kabupaten Bogor,” jelas Dadan.
Temuan Ombudsman atas penentuan subjek dan objek TORA di seluruh daerah menunjukkan adanya keterlibatan NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mengusulkan Lokasi Prioritas Refoma Agraria (LPRA).
Akan tetapi, tidak ditemukan adanya regulasi mengenai kriteria pihak-pihak yang dapat mengusulkan LPRA tersebut.
“Akibatnya, terbuka ruang bagi berbagai pihak yang berkepentingan untuk mengusulkan LPRA. Hal ini berpotensi terjadinya maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang oleh pelaksana layanan,” kata Dadan.
“Di sisi lain, bisa saja berdampak pada tidak akuratnya data penerima TORA serta membuka ruang terjadinya monopoli penguasaan lahan. Hal tersebut bertolak belakang dengan tujuan reforma agraria,” tandasnya. (RN)