Bongkar Mafia Pemutihan Kebun Sawit di Kawasan Hutan Lindung

Bongkar Mafia Pemutihan Kebun Sawit di Kawasan Hutan Lindung

Kawasan Hutan Dijadikan Kebun Sawit Ilegal, Kerugian Negara Capai Rp 300 Triliun

Law-Investigasi, Meski dinobatkan sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, dampak dari industri ini belum terasa signifikasn. Justru marak berita pembegalan keuangan dan perekonomian negara melalui industri. Modusnya beraneka rupa, mulai dari menjarah hutan hingga mengemplang pajak. Kejaksaan Agung serius menangani dugaan korupsi sektor ini. Presiden Prabowo Subianto pun memberikan perhatian khusus.

Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim S Djojohadikusumo, yang juga adik Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa negara akan mendapat potensi pemasukan hingga Rp 300 triliun dari pengusaha sawit, yang mengemplang pajak atau tidak membayar pajak. Menurut dia, dalam waktu dekat para pengusaha pengemplang pajak tersebut akan menyetor Rp 189 triliun untuk tahap pertama.

“Sudah dikasih laporan ke Pak Prabowo, yang segera bisa dibayar Rp 189 triliun dalam waktu singkat. Tapi, tahun ini atau tahun depan, bisa tambah Rp 120 triliun lagi, sehingga Rp 300 triliun itu masuk ke kas negara,” ujar Hashim di Jakarta, Kamis (24/10/2024).

Salah satu sektor yang menjadi sasaran pengemplangan, selain pajak, adalah bea pemutihan lahan sawit. Terkait dengan pemutihan sawit, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menegaskan kebun sawit di kawasan hutan lindung (HL) dan hutan konservasi (HK) harus dikembalikan kepada negara.

Toleransi pelepasan status kawasan hutan hanya bisa diberikan kepada kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan produksi dan area penggunaan lain (APL), tapi tidak untuk sawit di hutan lindung dan hutan konservasi.

Dia menyebut saat ini ada sekitar 200.000 hektare lahan sawit ilegal yang berada dalam kawasan HL dan HK. Menurutnya, pelaku usaha yang menjalankan bisnis perkebunan sawit di atas kawasan HL dan HK itu harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan hutan kepada negara. Setelah itu, lahan dikembalikan kepada negara karena status hutan lindung dan konservasi.

“Hitungannya yang HLHK itu udah sekitar 200.000-an hektare di 110 B (pasal dalam UU No.1/2020) dan itulah berpeluang kembali lagi kepada negara. Jadi mohon izin, mohon maaf sawit tidak boleh di area perlindungan dan konservasi,” ujar Bambang melalui keterangan yang diterima Law-Investigasi, Jumat (25/10/2024).

Bambang menjelaskan, aturan pengembalian lahan sawit dalam kawasan HLHK sudah menjadi keputusan Mahkamah Agung. Pemerintah melarang keberlanjutan bisnis kelapa sawit di atas HLHK, meskipun sanksi denda administratif telah dilakukan. Bambang mengklaim, pengembalian lahan sawit di kawasan HLHK kepada negara untuk dipulihkan kembali menjadi HLHK sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengendalikan dampak perubahan iklim. “Nah sawitnya yang sudah tua-tua itu nanti digantikan dengan fungsi perlindungan dan konservasi ditanami jenis pohon kembali sehingga di mana tempatnya sawit itu di tempat yang benar, di area penggunaan lain [APL],” katanya.

Menurutnya, total perusahaan yang sudah mengajukan pemutihan lahan mencapai 365 perusahaan. Pemutihan dilakukan sebagai upaya penyelesaian masalah kebun sawit yang sesuai dengan mekanisme Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja. Masalah itu terkait dengan izin lokasi dan hak guna usaha perkebunan sawit yang sering tumpang tindih dengan kawasan hutan.

“Target kami 2.130 perusahaan sawit, dan 1,493 dari masyarakat,” imbuhnya.

Asal tahu saja, pemerintah berencana memutihkan atau melegalkan 3,4 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang selama ini berada di kawasan hutan. Langkah ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola industri sawit yang sebelumnya dianggap tidak teratur. Dengan pemutihan ini, luas perkebunan sawit yang dimiliki perusahaan, koperasi, dan masyarakat akan jelas statusnya dan mereka menjadi patuh terhadap hukum dan kewajiban pajak.

Terjadinya pemutihan lahan sawit tersebut, Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Hariyadi menyatakan bila Komisi IV DPR akan segera melakukan rapat kerja dengan pemerintah membahas mengenai isu yang sedang berkembang dan berkaitan dengan Komisi IV DPR RI. Politisi yang akrab disapa Titiek Soeharto tersebut menyatakan bila Komisi IV DPR saat ini baru saja diresmikan menjadi Anggota DPR RI baru dan akan mengurai terlebih dahulu isu yang terjadi belakangan ini.

“Ya kita baru rapat internal nanti akan kita pelajari (soal kebijakan pemutihan sawit),” kata Titiek kepada Law-Investigasi di Gedung DPR RI Senayan Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024).

Namun Politisi Partai Gerindra tersebut menyatakan bila ia akan segera melakukan kajian terkait dengan beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan Komisi IV DPR RI. Titiek menuturkan bila Komisi IV DPR RI berencana akan melakukan Rapat Kerja dengan Menteri Kehutanan pada pekan depan untuk membahas isu terkait.

“Ya untuk rapat dengan mitra kerja nanti kita akan bahas semua, rencananya ya pekan depan udah mulai rapat bersama mitra kerja,” tuturnya.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI) masih menunggu aturan teknis pemutihan lahan sawit yang masuk di kawasan hutan. Ketua Umum Gapki, Eddy Martono mengklaim seluruh pelaku usaha dibawah Gapki telah menyelesaikan proses pemutihan melalui pasal 110 A UU Cipta Kerja.

Hanya saja, pihaknya masih menunggu aturan teknis dari Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup untuk penagihan dendanya. “Nanti ada Permen yang baru akan menagih lagi. Nah yang ini kita belum tahu seperti apa penagihannya,” ungkap Eddy ketika dikonfirmasi, Jumat (25/10/2024).

Menurutnya yang saat ini masih menjadi kendala adalah legalisasi lahan sawit yang melalui Pasal 110 B UU Cipta kerja. Eddy mengatakan hingga kini belum ada kejelasan terkait informasi ataupun tagihan dari pemerintah terkait berapa besaran lahan dan jumlah denda yang harus dibayar pengusaha.

“Yang 110 B anggota kita belum mendapatkan informasi atau tagihan, artinya menunggu pemerintah terutama dari kementerian Kehutanan,” paparnya.

Dilema Ekologi Pemutihan 3 Juta Hektar Lahan Sawit di Kawasan Hutan

Pada tahun 2023, Pemerintah telah mengupayakan penyelesaian keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare melalui pemutihan. Langkah ini dianggap oleh lembaga-lembaga pegiat lingkungan sebagai bagian dari kejahatan lingkungan. Analisis Greenpeace dan TheTreeMap (2019) menyebutkan terdapat sekitar 3.118.804 hektar kelapa sawit di dalam kawasan hutan di Indonesia. Setengahnya merupakan milik 600 lebih perusahaan perkebunan kelapa sawit, masing-masing mengusahakan lebih dari 10 ha di dalam kawasan hutan. Kebun sawit seluas 90.200 ha ditanam di hutan konservasi dan seluas 146.871 ha di hutan lindung.

Menukil data yang dihimpun Sawit Watch, sedikitnya ada 3.690 subjek hukum terkait pemutihan sawit dalam rentang Juni 2021 hingga Oktober 2023. Namun, dari angka tersebut hanya 17 subjek hukum yang diberikan pelepasan kawasan hutan dan hanya 35 subjek hukum yang dikenakan sanksi administratif seperti denda dan PSDH-DR. Pada periode 1 Januari 2023 sampai dengan 28 Oktober 2023, denda administratif yang telah terbayar berjumlah hanya sebesar Rp239 miliar, PSDH dari keterlanjuran tebang sebesar Rp61 miliar dan dana reboisasi keterlanjuran tebang sebesar Rp13 juta.

Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo memepertanyakan besaran denda yang dikutip KLHK selama ini. Lain itu, KLHK disebut mengutip denda dari hanya segelintir perusahaan. Preseden janggal soal nilai denda ini, yang menurutnya, menuntun Kejagung memulai penyelidikan.

“Artinya kebijakan ini dipertanyakan efektifitasnya karena berjalan tidak sesuai harapan. Seharusnya proses penegakan hukum kembali ditegakkan bagi korporasi yang melakukan kegiatan sawit secara ilegal,” kata Rambo kepada Law-Investigasi.

Rambo mewanti-wanti kinerja KLHK yang masih sangat rendah dan lamban menindak korporasi nakal. Misal pada 2022. Dari 1.192 subjek hukum yang sudah diminta kelengkapan data oleh KLHK, hanya 240 subjek hukum yang menyanggupi. Kemduian, hanya 65 subjek hukum yang sudah sampai tahap verifikasi lapangan dan 48 subjek hukum yang sampai tahap penafsiran citra satelit. Padahal, data-data soal luasan hutan yang dibabat untuk bisnis sawit menjadi patokan KLHK dalam mengutip denda atau melakukan pencabutan izin.

Dia menduga kinerja lamban KLHK mengejar denda korporasi memiliki motif terselubung. Sebab, tak ada alasan bagi kementerian untuk tak segera mengutip denda. Rambo memperoleh informasi bahwa adanya dugaan praktik gratifikasi soal penentuan besaran denda tersebut.

“Diduga banyak kongkalikong dalam pengurusannya (antara KLHK dan korporasi),” ujar Rambo.

Korupsi Pemutihan Sawit

Butuh waktu sekitar 15 jam untuk penyidik Kejaksaan Agung menggeledah Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada Kamis (3/10/2024). Sekira pukul 00.20 WIB atau Jumat dini hari, sejumlah penyidik baru keluar dari gedung dengan membawa empat kotak berisi sejumlah barang bukti yang disita.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar mengatakan penggeledahan terkait dugaan korupsi tata kelola perkebunan dan industri kelapa sawit periode 2005-2024 yang melibatkan KLHK sebagai pemangku kepentingan. Tim penyidik menyisir barang bukti di ruangan Sekretariat Jenderal KLHK dan Sekretariat Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian. Lain itu, penyidik memperluas pencariannya ke beberapa tempat, mulai dari ruangan direktorat yang membidangi pembayaran penerimaan negara bukan pajak berupa provisi sumber daya hutan-dana reboisasi atau PSDH-DR, biro hukum, direktorat yang membidangi penegakan hukum, serta direktorat yang mengatur pelepasan kawasan hutan.

Untuk ruangan yang diperiksa terakhir penyidik, kata Harli, penyidik menemukan sejumlah petunjuk yang menguatkan adanya dugaan korupsi ihwal pelepasan kawasan hutan.

“Jadi, ada penguasaan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara,” kata Herli kepada Law-Investigasi, Rabu (23/10/2024).

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, meyakini penggeledahan di kantor KLHK berkaitan dengan upaya pemutihan sawit yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia menduga ada patgulipat dalam pengenaan jumlah denda atau sanksi bagi korporasi yang menanam sawit di kawasan hutan. Kasus ini berpijak pada Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

“Kalau yang digeledah adalah KLHK, artinya berkelindan dengan pemutihan sawit karena kementerian itu yang mengatur dan mengurus sesuai UU Cipta Kerja,” kata Uli kepada Law-Investigasi, Kamis (24/10/2024).

Adapun secara garis besar, kedua pasal dalam beleid itu mengatur aturan terhadap entitas bisnis yang memiliki industri sawit dalam kawasan hutan. Pada awalnya, korporasi atau pelaku usaha sawit dapat dicabut izin usahanya secara permanen jika kedapatan menanam sawit di kawasan hutan.

Tetapi, melalui UU Cipta Kerja ini aktivitas perusahaan bisa dilegalkan selama melengkapi syarat sebelum 2 November 2023. Dalam Pasal 110A, misalnya, perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan dapat dilegalkan atau diputihkan area tanam sawitnya. Area operasi bisnisnya akan dianggap sebagai kawasan di luar hutan. Hal itu dengan catatan, jika korporasi memenuhi persyaratan yang diatur KLHK. Jika tidak, perusahaan dapat dikenai sanksi pembayaran secara administratif dan atau izin usahanya dicabut.

Sementara itu, dalam Pasal 110B dijelaskan bahwa korporasi yang tidak punya izin usaha sebelum UU Cipta Kerja berlaku, tetapi sudah beroperasi di dalam kawasan hutan, maka mendapat kesempatan satu daur sejak masa panen dan mesti membayar denda administratif yang disetor ke KLHK. Merujuk data KLHK, ada 2.130 perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja.

(Remond)

Tinggalkan Balasan