Pemutihan Sawit, Modus Ladang Korupsi Gaya Baru

Pemutihan Sawit, Modus Ladang Korupsi Gaya Baru

Law-Investigasi, Upaya pemerintah untuk menarik cuan dari sektor sawit terus digalakkan, terutama terhadap perekebunan besar yang menempati kawasan kehutanan. Meskipun upaya penegakkan hukum akan segera dilaksanakan, namun pemerintah agaknya masih menawarkan solusi non-litigasi, melalui program pemutihan. Kebijakan yang merujuk pada UU Ciptaker ini meskipun menguntungkan pengusaha, tetapi tidak berjalan lancar. Perlu transparansi proses pemutihan dan integritas aparat pemerintah. Jika pemerintah tak jeli dan tegas dalam dua hal tersebut, kebijakan pemutihan ini rawan menjadi ladang korupsi gaya baru.

Kawasan hutan yang ditanam sawit secara ilegal sekurangnya mencapai 3,37 juta hektare yang tersebar di 23 provinsi. Riau dan Sumatra menjadi yang terbesar dengan total gabungan 1.52 juta hektare atau hampir separuh total cakupan lahan. Per Maret 2024, terdapat 365 korporasi yang mengajukan pemutihan dari total ribuan itu. Namun, data KPK menunjukkan hanya ada 155 perusahaan yang membayar PSDH-DR. Jumlahnya cuma Rp648,8 miliar yang tidak sebanding dengan jumlah ratusan perusahaan yang ingin dilegalkan aktivitas bisnis sawitnya.

Pada awalnya, korporasi atau pelaku usaha sawit dapat dicabut izin usahanya secara permanen jika kedapatan menanam sawit di kawasan hutan. Tetapi, melalui UU Cipta Kerja ini aktivitas perusahaan bisa dilegalkan selama melengkapi syarat sebelum 2 November 2023. Dalam Pasal 110A, misalnya, perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan dapat dilegalkan atau diputihkan area tanam sawitnya. Area operasi bisnisnya akan dianggap sebagai kawasan di luar hutan. Hal itu dengan catatan, jika korporasi memenuhi persyaratan yang diatur KLHK. Jika tidak, perusahaan dapat dikenai sanksi pembayaran secara administratif dan atau izin usahanya dicabut.

Sementara itu, dalam Pasal 110B dijelaskan bahwa korporasi yang tidak punya izin usaha sebelum UU Cipta Kerja berlaku, tetapi sudah beroperasi di dalam kawasan hutan, maka mendapat kesempatan satu waktu daur sejak masa panen dan mesti membayar denda administratif yang disetor ke KLHK. Merujuk data KLHK, ada 2.130 perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja.

Data dari monitoring tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan ada korporasi nakal yang seharusnya diwajibkan membayar kewajiban dan denda. Jumlahnya sekira mencapai 2.130 perusahaan yang tersebar di hampir semua provinsi. Adapun pendataan sawit ilegal dalam kawasan hutan dimulai dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Riau, Sulawesi Barat sampai Papua. Prosesnya melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten bersama Badan Informasi Geospasial, Kementerian hingga lembaga swadaya masyarakat. Pada akhir 2023, Stranas-PK memperluas cakupan ke area Aceh, Jambi, Sumatera Utara, Seumatera Selatan, Bengkulu, hingga Kalimantan Barat. Tim yang dipimpin Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan ini memverifikasi dan penyandingan data di lapangan, verifikasi ke korporasi, serta menganalisis spasial dan legal.

Data-data itu lalu diteruskan ke KLHK (kini Kementerian Kehutanan) sebagai pijakan untuk memberlakukan tarif PNBP atau skema denda administratif. Dari data yang dimilik tim Pahala, setidaknya terdapat 761 perusahaan yang dikenai tarif PNBP dengan luas 655.123 hektare. Korporasi diwajibkan membayar provisi sumber daya hutan-dana reboisasi (PSDH-DR) atau tanpa denda sesuai dengan Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja.

Lalu, ditemukan juga 486 perusahaan dengan luas 217.809 hektare yang dikenai denda administratif sesuai dengan Pasal 110B. Juga ditambah adanya 1,34 juta hektare kawasan hutan yang dikangkangi perusahaan belum teridentifikasi pelakunya. Di saat bersamaan, data Kementerian Kehutanan yang dipakai tim Pahala mendata 2.130 unit perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 110A dan 110B. Jumlah tersebut merujuk pada Surat Keputusan Data dan Informasi yang diterbitkan Kementerian Kehutanan. Dari pendataan Kementerian, hanya 365 korporasi yang ditagihkan denda sesuai Pasal 110A.

Adapun dari 365 perusahaan itu, hanya ada 155 korporasi yang membayar PSDH-DR dengan nilai total Rp 648,8 miliar. Sedangkan, 210 korporasi lain belum membayar kewajibannya. Data ini juga ditambah sura keputusan tagihan denda administratif terhadap 49 perusahaan sesuai dengan Pasal 110B.

Di KPK sendiri dalam mitigasi korupsi tata kelola sawit, masih menghadapi masalah besar lantaran ada 1.716 perusahaan sisanya belum rampung dianalisis. Sehingga, sejumlah perusahaan itu belum dapat dikenai sanksi mengunakan menanisme Pasal 110A dan 110B.

Pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025. Satgas bentukan Presiden Prabowo Subianto ini diberi mandat besar untuk memberantas aktivitas ilegal di kawasan hutan, meningkatkan tata kelola lahan, dan memaksimalkan penerimaan negara. Satgas Penertiban Kawasan Hutan berada langsung di bawah koordinasi presiden. Struktur organisasi Satgas mencakup Pengarah yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Pelaksana yang diketuai oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung.

Sebagai Pengarah, Menteri Pertahanan dibantu oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Agus Subiyanto, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta beberapa menteri, termasuk Menteri Kehutanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Menteri Agraria. Peran utama mereka adalah memberikan arahan strategis dan mengevaluasi pelaksanaan penertiban kawasan hutan.

Pelaksana Satgas dalam Pasal 11 Ayat 2, memiliki sejumlah tanggung jawab menginventarisasi aset negara, dengan mengidentifikasi lahan yang dikuasai secara ilegal di kawasan hutan. Lalu penegakan hukum, dengan melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran, baik melalui jalur pidana, perdata, maupun administrasi. Selanjutnya, pemulihan aset, mengembalikan kawasan hutan yang telah dirambah kepada negara. Keanggotaan Pelaksana juga mencakup pejabat dari berbagai kementerian, seperti Direktur Jenderal Kehutanan, Direktur Jenderal Perkebunan, serta Deputi Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Proses Pemutihan, Buka Celah ladang Korupsi Baru

Sementara itu, data tentang luasan kebun sawit yang dalam kawasan hutan yang sedang diproses Kemenhut, tertuang dalam lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 36 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 6 Februari 2025. Surat Keputusan Menhut berisi Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan yang Berproses atau Ditolak Permohonannya di Kementerian Kehutanan sesuai kriteria Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja.

Dari data tersebut bisa dilihat, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI sedang memproses permohonan ketelanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 1.107.727 juta hektare di seluruh wilayah Indonesia. Kebun sawit tersebut dikelola oleh sebanyak 436 subjek hukum yang terdiri dari perusahaan (korporasi) maupun kelompok masyarakat. Dari sebanyak 1,1 juta hektare lebih kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan, Kementerian Kehutanan telah memproses seluas 790.474 hektare. Sementara sisanya seluas 317.253 hektare dinyatakan ditolak. Lokasi kebun sawit dalam kawasan hutan yang paling luas berasa di Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau.

Adapun data perusahaan yang permohonannya sedang diproses maupun ditolak oleh Kementerian Kehutanan tersebut, akan menjadi bahan masukan bagi Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan. Satgas yang dimaksud dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Perusahaan yang permohonannya diproses, akan dikenai kewajiban membayar denda administratif. Sementara, bagi perusahaan yang ditolak permohonannya, berpotensi dijerat secara pidana.

Perusahaan kebun sawit yang diproses permohonannya tergabung dalam raksasa korporasi sawit. Di antaranya Duta Palma Grup, First Resources (Surya Dumai Grup), Sinarmas Agro dan Astra Agro. Juga ada perusahaan dari Musim Mas dan Salim Ivomas, Mahkota Grup dan PTPN IV (eks PTPN V). Kemudian grup Bumitama Gunajaya Abadi, Citra Borneo Indah, Sampoerna Grup, Tor Ganda, Best Agro, Eagles High Plantations, London Sumatera, Triputra dan Incasi serta USTP. Kemudian Wilmar Grup, PTPN, Permata Hijau, Sinar Alam Plantations, DSN, Nusantara Sawit Sejahtera, KLK, Genting, Mahkota Grup, ANJ, Gawi, Djarum, MP Evans Grup, USTP, Cargill, KPN Plantations, Genting, Austindo, Goodhope, Kencana dan Sinar Mas Agro serta sejumlah grup besar lainnya.

Menilik pihak-pihak di belakang korporasi sawit, banyak pihak yang pesimis dengan kinerja satgas bentukan Presiden Prabowo ini. Tak mengejutkan, sebab di pemerintahan sebelumnya pun satgas seperti ini pun telah dibentuk. Tentu saja, dengan hasil yang tidak maksimal.

Ada celah korupsi yang mesti diperhatikan oleh Presiden dalam proses pemutihan ini. Salah satunya akibat implementasi UU Ciptaker ini masih belum transparan. Menurut Manajer Kampanye Hutan dari Walhi, Uli Arta, implementasi pengenaan denda maupun pencabutan izin sesuai dua pasal di UU Cipta Kerja itu begitu tertutup. Sehingga, memantik celah korupsi yang dimainkan antara pemangku kepentingan dan korporasi. Jumlah denda yang seharusnya dibayarkan sesuai luasan hutan cakupan bisnis rentan dikondisikan. Begitu pula dengan penegakan aturan pencabutan yang memungkinkan korporasi tak berizin bisa meneruskan bisnis sawitnya dalam hutan melalui cara penyimpangan.

Tidak cuma proses penarikan denda dan pengenaan sanksi kepada perusahaan yang sangat tertutup, Uli juga menekankan tidak diketahuinya basis data yang digunakan KLHK untuk menghitung luasan konsesi. Juga data soal berapa luas hutan yang ditanami sawit dan berapa luas tutupan hutan sebelum dibuka menjadi perkebunan oleh korporasi.

“Patut dipertanyakan transparansi data yang dikeluarkan KLHK. Bisa saja itu bukan gambaran sebenarnya atau lebih banyak sekian juta realitasnya,” kata Uli kepada Law-Investigasi, Kamis (13/2/2025).

Polemik Pemutihan, Pro Cuan vs Pro Lingkungan 

Pemutihan sawit adalah program legalisasi perkebunan sawit yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Program ini dilakukan oleh Kementerian Kehutanan (KLHK). Pemutihan sawit dilakukan dengan mekanisme Pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Program tersebut juga mengundang kontroversi di publik karena menuai pro kontra. Kebijakan ini juga dipertanyakan karen dinilai kurang transparan ke publik dan isu tersebut kini sering menjadi perbincangan publik. Saat RDPU dengan Walhi, Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Soeharto menyakinkan bahwa Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo tidak akan gegabah melanggar Undang-Undang (UU) dalam alih fungsi hutan.

Hal tersebut dikatakan Titiek merespon aspirasi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait dengan isu lahan 20 juta hektar yang digunakan untuk pertanian dan industri lainnya. Hal tersebut juga terkait dengan masalah sawit yang selalu menjadi isu publik yang dibahas.

“Terkait lahan 20 juta hektar yang digunakan untuk pertanian dan industri lainnya, Presiden Prabowo tentunya tidak akan gegabah dalam mengalihfungsikan hutan yang melanggar Undang-Undang,” ujar Titiek saat Komisi IV DPR RI menerima audiensi Walhi yang digelar di Ruang Rapat Komisi IV, Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (12/02/2025).

Dalam kesempatan tersebut, Titiek Soeharto mengungkapkan rasa prihatin terhadap kondisi lingkungan di Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, serta berbagai wilayah lainnya di Indonesia yang tengah menghadapi permasalahan serupa. Ia meyakinkan Walhi bahwa pemerintahan Presiden Prabowo akan segera menangani isu-isu lingkungan yang menyakitkan hati rakyat ini.

“Percayalah, dalam pemerintahan Presiden Prabowo, kami akan segera menanggulangi permasalahan ini. Beliau sangat peduli terhadap kesejahteraan masyarakat dan ingin memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat memberikan manfaat untuk rakyat,” tutur Legislator Fraksi Partai Gerindra tersebut yang juga mengingatkan bahwa Pemerintah akan berusaha menghindari kebijakan yang merugikan masyarakat.

Lebih lanjut, ia berencana untuk mempertanyakan hal ini kepada Menteri Kehutanan untuk mendapatkan klarifikasi mengenai daerah-daerah yang akan diprioritaskan. Titiek mengungkapkan jika daerah tersebut tidak produktif atau tidak melanggar aturan, maka pihaknya menilai hal tersebut bisa dilaksanakan demi kepentingan masyarakat khususnya untuk mencapai ketahanan pangan dan swasembada pangan yang sukses.

“Jadi nanti kita akan pertanyakan kepada Menteri Kehutanan sebetulnya daerah-daerahnya yang mana saja sih yang akan diplot, kalau memang itu daerah-daerah yang tidak produktif, atau tidak melanggar, saya rasa itu bisa dilakukan karena ini juga untuk kepentingan masyarakat juga untuk supaya bagaimana kita bisa ketahanan pangan ini bisa sukses dan kita bisa swasembada pangan,” tandas Titiek Soeharto.

Sementara itu, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat terdapat sekitar 1,9 juta hektare lahan di Indonesia mengalami deforestasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Deforestasi adalah penggundulan hutan, secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan serta ekosistemnya. Juru Kampanye FWI Anggi Putra Prayoga mengatakan, hutan yang kini tersisa sekitar 90 juta hektare terus mengalami kerusakan.

“Deforestation sepanjang 2021-2023 sekitar 1,9 juta hektare, itu masih sangat tinggi sebetulnya dalam konteks kita menghadapi krisis iklim. Tidak ada keseriusan kita melindungi sumber daya alam,” ujar Anggi saat dihubungi, Kamis (13/02/2024).

Analisis FWI menunjukkan, Indonesia kehilangan 23 juta hektare hutan pada 2000-2017. Kalimantan menjadi wilayah yang mengalami deforestasi paling parah. Berdasarkan data Auriga Nusantara, Kalimantan Barat tercatat sebagai provinsi dengan deforestasi tertinggi di 2023. Wilayah ini kehilangan 35.162 hektare lahan hutan. Disusul Kalimantan Tengah seluas 30.433 hektare, Kalimantan Timur seluas 28.633 hektare, Sulawesi Tengah seluas 16.678 hektare. Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan terjadi penurunan deforestasi pada 2021-2022 yang mencapai 104.000 hektare. Angka deforestasi ini turun dari sebelumnya seluas 113.000 hektare pada 2020-2021.

Anggi menyebut bila Masyarakat Adat Kunci Pelestarian Hutan dan masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang dapat menjadi solusi penting untuk pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pengelolaan berbasis masyarakat adat dinilai mampu menjadi kunci keberhasilan perlindungan hutan, terutama di tengah kerusakan hutan yang tidak terhentikan akibat konsesi-konsesi besar seperti tambang, perkebunan, dan hutan tanaman industri.

“Jadi kami mendefinisikan bahwa hutan dan sumber daya alam itu tidak bisa dipisahkan dengan manusianya,” tuturnya.

Keterbukaan informasi HGU seperti terkait lokasi spesifik, pemegang HGU, dan jenis komoditas yang dibuka ke publik diyakini dapat meminimalisir praktik-praktik ilegal seperti perambahan kawasan hutan dan korupsi dalam proses perizinan dan penertiban kawasan hutan.

Di tengah banyaknya penyimpangan perusahaan dalam menggasak hutan untuk kepentingan bisnis, petani kecil sawit justru paling berdampak. Ketua Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Marselinus Andry, mengatakan petani kecil sawit ditimpah dua masalah besar. Pertama soal dana BPDPKS yang tidak berpihak pada petani, alih-alih berpihak pada kepentingan korporasi. “Derita yang sudah lama dirasakan soal ketimpangan akses dan sumber daya modal petani kecil sawit untuk bertahan. Dana BPDPKS saja kan sudah dikorupsi dan kini masuk kasus di Kejaksaan” ujar Marselinus kepada Law-Investigasi, Kamis.

Masalah kedua, ujar Marselinus, yaitu serampangannya tata kelola sawit. Dia menyadari pengusaha diberi keleluasaan dalam mengelola lahan hutan, termasuk kawasan hutan lindung untuk diubah menjadi kawasan sawit. Di sisi lain, petani sawit kecil yang mengambil sedikit lahan justru kerap dikriminalisasikan.

“Sejarah pengelolaan sawit memang berpihak pada oligarki sawit, yang kita ketahui orangnya itu-itu saja,” ujarnya.

Kebijakan sektor kehutanan emmang sellau menarik untuk diteliti. sebab, potensi ekonomis yang luar biasa besar ini kerap tidak termonitor dan akhrnya hanya menjadi bancakan bagis egelintir pengusaha nakal, birokrat dan politisi yang membentuk kelindan bisnis gelap di tengah hutan. besarnya volume bisnis ditengah hutan ini, akhirnya membentuk jaringan oligarki yang bersimbiosis dengan memanfaatkan celah hukum, terkadang secara terang-terangan melanggar hukum yang ada. Bahkan, pada lebel paling canggih, oligarki ini justru mampu membentuk norma hukum yang menguntungkan pihaknya saja. lagi, lagi rakyat kecil dan lingkungan yang bakal menjadi tumbal.

Upaya Presiden Prabowo Subianto membentuk Satgas penetiban Kehutanan patut diapresiasi sebagai upaya awal untuk menata hutan sekaligus menata ulang usaha yang terlanjur berada di kasawan kehutanan. Namun, perlu diingat, ini bukanlah upaya pertama yang pernah dilakukan pemerintah. Presiden sebelumnya pun membentuk satgas serupa, dengan hasil yang tak memuaskan. Transparansi dan integritas menjadi kata kunci jika ingin satgas ini berjalan sesuai dengan idealnya. Kalau presiden sampai abai terhadap dua hal tersebut, maka diskresi yang dimiliki Satgas ini justru berpotensi menjadi ladang korupsi gaya baru. Upaya Prabowo untuk mendulang cuan sembari menata ulang hutan, bisa gagal. Prabowo harus berani bersikap tegas terhadap kerja Satgas ini, kalau perlu menggunakan kebijaka tangan besi terhadap satgas.

(R. Simangunsong)

Tinggalkan Balasan