Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M., M.H – Jaksa Agung Republik Indonesia #1

Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M., M.H – Jaksa Agung Republik Indonesia #1

Jakarta, LINews – Menjadi Jaksa Agung sudah menjadi impian Sanitiar Burhanuddin, sejak ia menyandang predikat Sarjana Hukum dari Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, pada 1987.

Namun keinginan itu ia simpan dalam-dalam, karena ia menyadari, meraih posisi sebagai Jaksa Agung bukanlah hal yang mudah.

Seiring berjalannya waktu, keinginan tersebut tetap ada dan menjadi motivasi agar ia bisa bekerja sebagai jaksa dengan sebaik mungkin.

“Yang terpenting ketekunan, kerja keras, serta doa dan ridho orang tua yang selalu menyertai setiap pekerjaan merupakan kunci untuk mencapai setiap cita-cita,” ujarnya.

Profesi Jaksa Sebagai Pilihan Hidup

Pria yang biasa disapa ST Burhanuddin ini lahir di Majalengka, Jawa Barat, 17 Juli 1954. Ia memulai karirnya sebagai jaksa pada 1987, setelah ia lulus kuliah.

Sebagai fresh graduate dari fakultas hukum, ia begitu bersemangat untuk bekerja di bidang hukum agar bisa mengimplmentasikan ilmu yang dimilikinya. Diantara banyak profesi di bidang hukum, menjadi jaksa adalah pilihannya.

“Saya sudah menentukan arah hidup saya. Saya ingin menjadi seorang Jaksa, seorang penegak hukum yang dekat dengan kehidupan masyarakat, dan menjadi seseorang yang harus bisa menyeimbangkan rasa keadilan di tengah masyarakat,” ujar ST Burhanuddin mengenang masa mudanya itu.

Ia lantas mengikuti seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia.

Tak disangka ia diterima dan penempatan pertamanya adalah di Kejaksaan Tinggi Jambi.

Seakan tak puas hanya menjadi PNS, ST Burhanuddin lalu mengikuti Pendidikan Pelatihan Pembentukan Jaksa dan setelah itu ia dilantik menjadi seorang jaksa pada 1990.

Meski telah kesampaian menjadi seorang jaksa, ST Burhanuddin menyadari beban dan tanggung jawab yang ia emban sebagai seorang penegak hukum.

Sejak itu ia menjalani tugas di berbagai daerah. Karirnya sebagai seorang jaksa moncer, ia bahkan sempat menduduki sejumlah jabatan strategis.

Diantaranya Kepala Kejaksaan Negeri Bangko, Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Pengalaman Diteror Ketika Bertugas

Selama menjalankan tugas di daerah, banyak pengalaman yang ia dapat. Perkara yang ia tangani pun beragam. Tidak hanya menangani perkara tindak pidana umum, tetapi menangani juga perkara perdata dan tata usaha negara serta perkara tindak pidana khusus.

Semua penugasan itu harus dijalani, meskipun terasa berat dan sulit. Bagi ST Burhanuddin, setiap penugasan merupakan ujian yang harus dilewati, agar kemampuan dan kecakapan sebagai jaksa semakin terasah.

“Seorang Jaksa harus siap ketika tugas itu datang, melaksanakan tugas dengan profesional, jujur dan integritas serta mengedepankan hati nurani,” sambungnya.

Satu pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan selama menjadi jaksa adalah ketika dirinya mengalami teror.

Saat itu ia bertugas di Kejaksaan Tinggi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus.

Tak tanggung-tanggung, yang mengancam ST Burhanuddin adalah kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Begitu saya turun dari pesawat, saya menerima pesan teks atau SMS (short message service), saya masih ingat betul tulisan yang terpampang dalam kotak masuk handphone saya, `Selamat datang saudara Sanitiar Burhanuddin di Nanggroe Aceh Darussalam. Diminta kepada saudara dalam waktu 2×24 jam untuk meninggalkan Kota Banda Aceh`,”kenangnya.

Setelah mendapatkan ancaman tersebut, ia lantas melapor ke atasannya, Kepala Kejaksaan Tinggi Nanggroe Aceh Darussalam, yang saat itu dijabat oleh bapak Teuku yang merupakan orang asli Aceh.

Menjadi Jaksa Agung

Setelah hampir tiga dekade berkarir sebagai jaksa, pada 23 Oktober 2019, ST Burhanuddin berhasil meraih impiannya. Saat itulah ia diamanahkan untuk memegang tongkat komando tertinggi di institusi kejaksaan, yakni menjadi Jaksa Agung Republik Indonesia.

Ketika kepercayaan itu diberikan kepadanya, Presiden Joko Widodo berpesan pada ST Burhanuddin untuk membenahi institusi Kejaksaan di Indonesia.

Ia menyadari hal itu bukanlah perkara mudah, sebab tidak sedikit pekerjaan rumah yang ada di internal kejaksaan, mulai dari masalah sumber daya manusia, pembenahan sistem dan administrasi perkara serta pelayanan publik, hingga soal integritas.

“Maka setelah dilantik sebagai Jaksa Agung, saya langsung melakukan identifikasi permasalahan dan program-program yang sedang berjalan di Institusi Kejaksaan dan tentunya harus sejalan dengan visi misi Presiden Jokowi,” katanya.

Dalam penguatan sistem dan lembaga, ST Burhanudiin melahirkan organisasi baru, yakni Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil). Ini merupakan manifestasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan Single Prosecution System.

Tujuannya untuk mewujudkan asas dominus litis yang konsisten, sehingga penegakan hukum dapat terlaksana dengan profesional, akuntabel, objektif dan berkeadilan.

Jaksa Dalam Pusaran Kasus Korupsi

Satu hal yang menjadi perhatian ST Burhanudiin setelah menjadi Jaksa Agung adalah membenahi sumber daya manusia para jaksa. Ini terkait dengan integritas dan professionalisme para jaksa agar tidak terjerumus pada praktik korupsi.

Satu nama jaksa yang mencuat karena terlibat kasus korupsi yakni Jaksa Pinangki. Ia terseret kasus terpidana perkara cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.

Jaksa Pinangki dinyatakan terbukti menerima uang suap 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra. Kedua, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar.

Realita itu sangat memukul ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung. Sebab, menurut dia, seorang Jaksa harus menjaga integritas, profesional dan bertanggung jawab dalam setiap melaksanakan tugas dan fungsinya.

Dan ia yakin, publik akan memantau dan menunggu apa langkah Kejaksaan Agung selanjutnya untuk menindak oknum jaksa seperti jaksa Pinangki.

Menurut ST Burhanuddin, sedikitnya ada dua cara yang ia lakukan untuk mencegah adanya jaksa yang terseret dalam kasus korupsi.

Pertama adalah cara yang cenderung normatif, yakni menekankan kembali kepada setiap pegawai Kejaksaan agar memahami tugas dan kewenangannya selain juga berkaitan dengan penyesuaian yang diamanatkan revisi Undang-Undang Kejaksaan.

Hal ini dilakukan dengan sosialisasi yang lebih intensif lagi, melalui sejumlah kegiatan seperti diskusi internal, maupun semacam Forum Group Discussion (FGD).

Kegiatan tersebut tak hanya menjadi ajang sosialisasi dan seremoni belaka.

Namun juga menjadi ajang untuk menyamakan pandangan para Jaksa atas norma-norma yang terkandung dalam undang-undang, serta menyiapkan langkah-langkah strategis apa yang perlu untuk dilakukan bersama.

Kedua, adalah cara yang lebih tegas, yakni menjatuhkan sanksi kepada para jaksa yang telah terbukti menyalahgunakan wewenangnya dan terseret dalam kasus korupsi.

Menurut ST Burhanuddin, cara ke dua ini berjalan beriringan dengan pengawasan yang lebih ketat agar potensi penyalahgunaan kewenangan dapat dicegah dan ditanggulangi secara dini.

Penguatan dalam pengawasan para jaksa ini sesuai dengan arahan presiden pada Pembukaan Rapat Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2020 pada tanggal 14 Desember 2020.

Ketika itu, sambung ST Burhanuddin, presiden menyampaikan, Kejaksaan adalah wajah penegakan hukum Indonesia di mata masyarakat dan Internasional.

Setiap tingkah laku dan sepak terjang setiap personil di Kejaksaan dalam penegakan hukum akan menjadi tolak ukur wajah Negara dalam mewujudkan supremasi hukum di mata dunia.

Oleh karena itu, penguatan pengawasan dan penegakan disiplin internal dalam tubuh Kejaksaan adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi.

“Tentunya sanksi akan diberikan kepada mereka yang telah menyalahgunakan kewenangannya, serta reward akan diberikan bagi mereka yang berprestasi,” tutur ST Burhanuddin.

Masih terkait dengan pengawasan, ia juga berharap ada peran serta masyarakat di dalamnya.

Menurut dia, pengawasan yang dilakukan oleh masyaralat tak kalah penting dengan pengawasan yang dilakukan secara internal. Sebab pada dasarnya seorang jaksa ada dan bekerja untuk kepentingan masyarakat luas.

Karena itulah masyarakat yang sepatutnya bisa menilai seperti apa kinerja kejaksaan yang sebenarnya.

“Tidak elok rasanya jika kami menilai diri kita sendiri, biarkan masyarakat yang menilai bagaimana kinerja kami, apa yang kurang dari kami. Oleh karena itu kami harapkan agar masyarakat terus mengawasi dan mendukung setiap langkah kerja yang kami lakukan,” pinta ST Burhanuddin. (Vhe)