Jakarta, LINews – Dwi Andreas cukup skeptis dengan program swasembada pangan yang selalu digembor-gemborkan Presiden Prabowo Subianto. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menilai program swasembada pangan bakal sebatas jargon, alih-alih terealisasi seutuhnya. Sebab, histori mewujudkan Indonesia berdikari kebutuhan pangan selalu berujung gagal. Yang terjadi bukan swasembada pangan, tapi: impor pangan.
Impor komoditas pangan seakan menjadi keniscayaan bagi pemerintah. Bukan hanya 1 atau 3 komoditas pangan, tapi 12 komoditas bergantung dari pasokan negara lain, dengan volume impor lebih dari 100.000 ton per tahun. Mulai dari beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, kacang tanah, daging sapi, kentang, bawang bombai, dan susu.
Di sisi lain, produksi terus loyo. Ambil contoh tren produksi padi nasional yang relatif menurun sejak periode 2018 atau menjelang paruh kedua rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi). Angka produksi selalu stagnan di kisaran 50 jutaan ton per tahun.
Merujuk tren impor pangan yang melonjak dan produksi dalam negeri diam di tempat, Dwi Andreas bersama koleganya di IPB turun tangan terlibat mencari akar masalah. Beberapa riset lapangan dan pemberdayaan lahan hingga membersamai petani kerap dilakoni, termasuk mencari varietas padi unggul. Bolak-balik bertukar pikir dengan pejabat Perum Bulog dan Bapanas pun ditempuh sebagai bagian lobi birokrasi demi perbaikan.
Lain itu, menulis pendapatnya soal realitas kebijakan pangan di media massa juga kerap disumbang Dwi. Namun, penjabaran perspektif dan data dalam opininya tak selalu bikin senang pemangku kepentingan. Alih-alih dianggap kritik membangun, opini justru dicap memojokkan. “Kalau data saya utarakan, banyak orang yang panas telinganya,” tutur Dwi.
Selama kurang lebih 1,5 jam, Law-Investigasi berdiskusi dengan Dwi Andreas di ruangan pribadinya di kampus yang berjuluk ‘kampus rakyat’ itu. Sebagian besar percakapan off the record. Tapi kebanyakan, Dwi leluasa membahas topik masa depan program swasembada pangan, arah food estate hingga akar masalah mengapa Indonesia selalu menjadi negara pengimpor pangan.
Berikut petikan wawancara dengan Andreas yang berlangsung pada Senin (5/5/2025):
Bagaimana melihat kebijakan pangan dari masa peralihan Menteri Syahrul Limpo ke Amran Sulaiman?
Tetap salah satunya yang diandalkan adalah food estate. Karena kalau kita melihat rencana pemerintah dan Kementan bahwa akan mengembangkan 1 juta hektare untuk food estate. Dan kemudian memang ada optimalisasi lahan.
Tapi dengan adanya efisiensi anggaran, tentu akan menghambat program.
Lalu peralihan dari Rezim Presiden Jokowi ke Prabowo.
Kalau Jokowi itu kan tagline-nya adalah kedaulatan pangan, kalau Prabowo yaitu swasembada pangan. Swasembada pangan ini akan terbentur beberapa hal. Yang pertama, ketika kita bicara food self-sufficiency, itu maknanya adalah Self Sufficiency Ratio (SSR)—yang mana itu harus sama atau lebih besar.
Maknanya adalah produksi pangan itu harus sama atau lebih besar dari konsumsinya. Dalam arti, Indonesia harus mampu memproduksi pangan untuk kebutuhan dalam negeri. Nah pertanyaannya ketika kita bicara pangan, pangan itu amat sangat beragam dan luas. Sehingga pertanyaan besarnya adalah apakah Indonesia mampu melakukan itu semua. Mengganti semua pangan yang sekarang ini banyak sekali diimpor diganti dengan produksi dalam negeri.
Memang realitas pergerakan impor pangan bagaimana?
Ya ambil contoh komoditas gandum, pada 2024, Indonesia adalah pengimpor terbesar di dunia dengan impor 12,3 juta ton, yang kebanyakan dari Australia dan Amerika Serikat. Dan gandum untuk pakan diambil dari Ukraina. Lalu bagaimana caranya mengganti gandum ini agar bebas ketergantungan impor. Dengan beras tidak mungkin.
Lalu kedelai, tahun lalu mencetak rekor, tahun lalu impor kedelai 8,2 juta ton. Kedelai yang sering dipahami masyarakat luas adalah kedelai dalam bentuk biji. Itu impornya 2,7-2,8 juta ton. Dan ada juga bungkil kedelai untuk industri. Saat ini gandum 100 persen impor. Kedelai 90 persen impor, gula 70 persen impor, bawang putih 100 persen impor, dan daging 50 persen impor. Susu 82 persen impor.
Beras juga fluktuatif. Beras tahun lalu mencetak rekor selama 20 tahun terakhir. 4,5 juta ton selama 2024. Yang sebagian besar tersimpan di Bulog yang seharusnya diserap pasar. Lalu kemudian diklaim pemerintah stok beras terbanyak dalam sejarah. Padahal setengahnya adalah beras impor. Lalu ada rilis 3,5 juta ton beras tersimpan di Bulog, padahal itu kan setengahnya beras impor.
Sekarang pertanyaannya ketika bicara swasembada pangan, setidaknya menyinggung 12 komoditas pangan termasuk yang disebut tadi. Kalau bicara swasembada pangan dengan definisi FAO yang merujuk SSR, swasembada pangan enggak mungkin.
Mustahil atau enggak mungkin karena apa Indonesia sulit swasembada pangan?
Iya, karena kenyataan yang ada. Pada 10 tahun terakhir, coba bayangkan ada impor 12 komoditas utama. Itu melonjak dari 11,8 juta juta ton ke 34 juta ton. Lalu bagaimana mengganti ketergantungan impor pangan sebanyak 34 juta ton itu. Ya jawabannya ya tidak mungkin. Jadi swasembada pangan tidak akan mungkin pernah tercapai.
Karena ketergantungan impor pangan tadi.
Ya ketergantungan impor sedemikian besar.
Atau memang ada perburuan rente di balik angka impor pangan yang besar?
Oh iya, nanti saya ceritakan (off the record).
Jadi tidak ada harapan sama sekali swasembada pangan?
Ada, makanya kami sarankan pemerintah swasembada komoditas saja. Misal komoditas beras. Dan kemungkinan besar tahun ini Indonesia swasembada beras dengan catatan jumlah produksi lebih besar dari angka konsumsi.
Perhitungannya bagaimana?
Tahun 2024, produksi beras di Indonesia terendah selama 20 tahun terakhir, 30,4 juta ton. Pemicu salah satunya dari badai el nino pada 2023. Sehingga musim tanam mundur. Akibatnya musim panen raya 2024 juga terimbas mundur beberapa bulan. Jadi, produksi menurun.
Karena Indonesia dalam titik nadir terkait produksi beras pada 2024, pasti tinggal tren naiknya tahun ini. Karena 2025 tidak ada fenomena iklim yang akan mengacaukan produksi. Dari pengamatan saya selama 30 tahun terakhir, kalau datang badai el nino, pasti produksi turun, tapi kalau efek badai la nina, produksi naik.
Kalau perhitungan saya kenaikan produksi 3-4 persen atau setara 1-1,5 juta ton beras.
Nah untuk mencapai swasembada komoditas beras ini, pemerintah mesti melakukan apa?
Sebenarnya pemerintah sudah on the track. Dan ini kontribusi besarnya dari badan pangan nasional. Jadi saat 2021-2022, nilai tukar petani tanaman pangan (NTP) itu hanya sebesar 98. Dalam arti, petani tanam padi untuk rugi.
Karena saya dekat dengan Kepala Badan Pangan Nasional (Arief Prasetyo Adi), maka saya bilang HPP harus diubah karena HPP gabah kering panen masih 4.200 rupiah selama 5 tahun. HPP ini sangat berpengaruh terhadap pergerakan harga di tingkat usaha tani. Sehingga pas panen raya tahun 2020-2022, itu HPP bisa jatuh di bawah 4.000.
Untuk itu saya dorong, waktu itu kami rapat di Bapanas, kami sampaikan berapa biaya produksi yang jauh lebih tinggi dibanding HPP. Lalu akhirnya pada 2023 dinaikkan, dari yang semula 4.200 menjadi 5.000. Efeknya langsung NTP tanaman pangan melonjak mulai 2023. Lalu 2024 kami rapat lagi dengan Bapanas dan ada penetapan HPP baru, dari 5 ribu ke 6 ribu. NTP naik lagi. Lalu rapat lagi dengan Bapanas pada 2025 sehingga kenaikan HPP menjadi 6.500.
Sekarang kesejahteraan petani padi mulai relatif baik. Nah kuncinya di sana, ketika kesejahteraan petani padi meningkat, maka otomatis mereka bergairah produksi.
Selain NTP yang kurang, fenomoena iklim, lalu apa lagi yang menghambat nilai produksi beras nasional?
Ya, saya amati fenomena yang terjadi selama 30 tahun terakhir ini adalah bukan konversi lahan pertanian ke non-pertanian, tapi konversi kepemilikan lahan. Ini bahaya. Karena maknanya kepemilikan lahan yang mulanya dikuasai petani beralih ke bukan petani. Akibatnya lahan tidak akan digunakan jadi persawahan. Tapi mengikuti spekulasi pasar, misal kawasan itu potensial dibangun perumahan, ya pasti akan dijual.
Kalau lahan pertanian sudah kurang dari 1.500 meter persegi, pasti dilepas petani atau pemilik sawah.
Kalau Kementan, bagaimana kontribusinya dalam swasembada beras?
Kontribusi pasti ada semisal optimalisasi lahan. Ada juga bantuan alsintan, tapi kita tahu sendiri bagaimana ketidaktepatan nya.
Lalu Kementan kan ada upaya ekstensifikasi melalui food estate. Tapi tahu juga kan sendiri hasilnya bagaimana.
Bagaimana tanggapan kritis soal cetak sawah di Merauke?
Kalau niatnya mengerek tingkat produksi padi nasional, tapi yang justru terjadi tidak ada hasilnya. Selama sejarah food estate tidak ada yang berhasil. Saya sempat terlibat. Pada 1996, saya diajak Pak Rokhmin Dahuri (mantan Menteri KKP dan kini anggota DPR) untuk ikut susun amdal proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut) di Kalimatan Tengah jutaan hektare. Tapi kan semuanya gagal. Lalu di masa Presiden SBY, ada proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate tahun 2013 seluas 1,23 juta hektare. Semuanya juga gagal. Kemudian di masa Presiden Jokowi, yang mulanya dikembangkan 1,2 juta hektare tapi berujung gagal juga.
Kenapa dibilang gagal, ya karena luas sawah tidak bertambah dan ada juga yang dialihfungsikan. Bayangkan tahun 2012 saja menurut data BPN ada 8,3 juta hektare, lalu 2019 tinggal 7 jutaan hektare.
Kenapa food estate selalu gagal?
Itu karena melanggar kaidah-kaidah akademis. Karena melanggar pilar pembangunan lahan pertanian berskala besar. Ada 4 pilar, pertama soal kesesuaian tanah dan agroklimat. Ini sering dilanggar. Tanah yang tidak sesuai untuk budidaya padi, tapi dipaksakan penanaman. Pilar kedua ada infrastruktur terkait jalan usaha tani dan tata kelola perairan. Salah satu kegagalan besar food estate di Kalimantan Tengah karena infrastruktur. Pilar ketiga soal budidaya dan teknologi, apakah ada varietas tertentu yang cocok dengan geografi setempat. Juga soal teknologi dan pengendalian hama. Pilar keempat itu, isu sosial dan ekonomi.
Nah banyak sekali proyek food estate berbenturan dengan tanah adat yang akhirnya jadi konflik agraria. Juga terkait relasi dengan penduduk. Satu petani mengelola dua hektare, itu sudah luar biasa. Kalau food estate ambil contoh saat masa Jokowi yang luasannya 1 juta hektare, artinya kan butuh ratusan ribu petani. Namun penduduk aslinya kurang di Merauke. Kalau opsi mendatangkan ratusan ribu orang ke Merauke, ya selesai lah Indonesia. Papua bisa lepas.
Bagaimana forecast cetak sawah di Merauke sekarang yang digagas Prabowo?
Ya pasti akan mengulangi hal yang sama dan kegagalan yang sama. Beberapa pilar tidak dipenuhi. Katakan soal kecocokan tanah dan agroklimat, itu kan di Merauke kebanyakan lahan rawa dan lahan sulfat masam. Kurang cocok untuk lahan pertanian, terlebih saat dibongkar menggunakan alat berat. Ya sudah pasti kadar PH akan drop.
Kalau proyek food estate era Jokowi gagal di Merauke, lalu kenapa digarap lagi sekarang?
Ya itu yang kacau.
Artinya proyek food estate zaman prabowo ini non-sense untuk capai swasembada beras?
Sebenarnya indonesia itu tidak pernah swasembada berkelanjutan. Yang terbaru kan hanya di masa Menteri Syahrul Yasin Limpo periode 2019-2022, Indonesia tidak impor. Lalu pada 2023, impor 3,06 juta ton. Terus lanjut 2024 impor melonjak 4,5 juta ton dan itu sebagian alokasi untuk impor 2025.
Pada 2024 stock to use ratio Indonesia untuk beras 13 persen. Dan pada saat itu stok resmi 2023 akhir yang jadi awal stok 2024 sebanyak 4 juta hektare sehingga harus impor pada 2024.
Sepak terjang Kementerian Pertanian untuk swasembada beras? Gampang saja dicek berapa jumlah produksi dalam 10 tahun terakhir dari 2014-2024. Justru mengalami penurunan. Kalau produksi menurun, apakah bisa disimpulkan program pemerintah berhasil, ya kan enggak. Kalau data seperti itu saya utarakan, banyak orang yang panas telinganya.
Jadi 2026 impor lagi?
Kalau tidak terimbas fenomena iklim, tidak impor kemungkinan besar. Tapi yang harus diwaspadai stock to use ratio pasti turun tahun depan karena tidak ada impor.
Nah konon BUMN pangan bakal diambil alih oleh Kementerian Pertanian untuk swasembada pangan, apakah itu tepat?
Ya itu enggak tepat. Karena setiap lembaga punya tupoksi. Kementan ini kan tupoksinya meningkatkan produksi. BUMN kan beda lagi, misal menjaga harga pangan. Apalagi ada Bapanas. Justru saya lihatnya akan sama saja capaian produksi pangan jika pun BUMN pangan di-supervisi Kementan.
Karena yang saya pantau faktor iklim jadi penentu. Dan ini kan tidak dipengaruhi faktor kelembagaan.
Alternatif lain untuk menjaga ketahanan pangan tidak terlalu bergantung impor?
Agak sulit dengan kondisi yang ada selama ini. Tapi kalau pemerintah bisa menjaga jumlah impor 12 komoditas utama pangan seperti saat ini (jumlahnya tidak naik) untuk 5 tahun ke depan, itu sudah luar biasa.
(Rey)