GARUT, LINews – Pembangunan menara telekomunikasi setinggi 62 meter yang dilakukan oleh pihak profeider Telkomsel kembali menjadi sorotan tajam. Berdasarkan temuan lapangan, di berbagai titik lokasi yang telah atau sedang dikerjakan, ditemukan banyak pelanggaran terhadap ketentuan teknis, sosial, dan administratif. Bahkan, saat ini ada satu titik proyek yang masih berjalan secara aktif meski prosedurnya belum tuntas.
Alih-alih menjadi simbol kemajuan jaringan, pembangunan ini justru memunculkan kegelisahan warga akibat minimnya transparansi dan lemahnya pengawasan. Beberapa indikasi pelanggaran mulai dari pembayaran lahan yang belum lunas, kompensasi warga yang tidak merata, hingga papan informasi proyek yang tidak dipasang—semuanya memperkuat kesan bahwa proyek dijalankan secara tergesa dan tidak utuh secara hukum.
Ada juga pekerjaan sudah dilakukan padahal status hukum lahan belum diselesaikan. Termasuk di titik yang saat ini masih aktif dikerjakan, perjanjian sewa lahan belum diteken resmi dan pembayaran belum tuntas. Namun pelaksanaan fisik tetap dilakukan secara manual. Hal ini melanggar prinsip hukum agraria sesuai UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 24 Tahun 1997, yang mewajibkan legalitas penuh sebelum tanah digunakan untuk proyek komersial.
Di sisi lain Proses sosialisasi memang dilakukan kepada sebagian warga di radius 50–100 meter dari titik pembangunan. Namun realisasi kompensasi tidak berjalan merata. Ada warga yang telah menerima, ada pula yang hanya dijanjikan tanpa tindak lanjut, bahkan masih ada yang tidak tahu bahwa mereka berhak atas ganti rugi dampak pembangunan, serta kompensasi yang di janjikan kepada karang taruna, kelembagaan lainnya tak kunjung datang.
Permenkominfo No. 22 Tahun 2011 mengatur bahwa pelibatan warga bukan hanya formalitas, tapi harus disertai perlindungan hak dan kepastian atas kompensasi yang layak.
Di titik proyek yang masih aktif berjalan saat ini, tidak ditemukan papan informasi proyek. Padahal, menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, papan informasi wajib berisi identitas proyek, tinggi menara, izin yang digunakan, waktu pelaksanaan, dan pelaksana kegiatan. Ketidakhadiran papan informasi menunjukkan sikap tertutup yang bertentangan dengan asas transparansi publik.
Menara 62 meter tergolong kegiatan berisiko tinggi yang wajib memiliki dokumen lingkungan berupa UKL-UPL atau AMDAL. Namun berdasarkan pengamatan, proyek yang masih berjalan saat ini belum menunjukkan kejelasan dokumen tersebut. Ini bisa mengindikasikan pelanggaran terhadap UU No. 32 Tahun 2009 dan Permen LH No. 16 Tahun 2012.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pondasi di titik aktif pembangunan saat ini sedang dikerjakan secara tergesa, sebelum hasil kajian teknis atau geoteknik disampaikan ke publik. Hal ini sangat riskan, apalagi Garut memiliki karakteristik tanah labil dan rawan pergerakan, terutama di kawasan bekas sawah dan dataran tinggi.
PP No. 36 Tahun 2005 tentang Bangunan Gedung menegaskan bahwa struktur pondasi wajib disesuaikan dengan kondisi tanah berdasarkan kajian teknis yang sah. Jika langkah ini diabaikan, risiko kecelakaan dan kerugian jangka panjang akan mengintai.
Pembangunan infrastruktur yang baik tidak cukup hanya cepat dan menjulang—tapi harus disertai kepastian hukum, perlindungan hak warga, dan kepatuhan pada regulasi. Fakta bahwa di satu titik proyek saat ini pekerjaan tetap berjalan meski belum memenuhi persyaratan menunjukkan lemahnya pengawasan dan potensi kesalahan prosedural yang berulang.
Pemkab Garut dan dinas teknis terkait sudah semestinya melakukan evaluasi menyeluruh dan segera menertibkan proyek yang berjalan tanpa dasar hukum lengkap. Jangan sampai menara berdiri, tapi aturannya roboh.
(Ys)