Jakarta, LINews – Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan, memberikan rapor merah kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.
Menurut koalisi tersebut, selama tiga tahun memimpin Kemendikbudristek, Nadiem Makarim telah meluncurkan berbagai kebijakan yang dikemas dalam Program Merdeka Belajar.
Program tersebut diluncurkan pada Maret 2020, dan saat ini terdapat 17 kebijakan yang mencakup semua jenjang dan jenis pendidikan non-formal dan pendidikan khusus.
17 kebijakan dalam Program Merdeka Belajar tersebut yakni.
1. Merdeka Belajar 1: Asesmen Nasional, USBN, RPP dan PPDB
2. Merdeka Belajar 2: Kampus Merdeka
3. Merdeka Belajar 3: Penyaluran dan Penggunaan Dana BOS
4. Merdeka Belajar 4: Program Organisasi Penggerak
5. Merdeka Belajar 5: Guru Penggerak
6. Merdeka Belajar 6: Transformasi Dana Pemerintah untuk Perguruan Tinggi
7. Merdeka Belajar 7: Program Sekolah Penggerak
8. Merdeka Belajar 8: SMK Pusat Keunggulan
9. Merdeka Belajar 9: KIP Kuliah Merdeka
10. Merdeka Belajar 10: Perluasan Program Beasiswa LPDP
11. Merdeka Belajar 11: Kampus Merdeka Vokasi
12. Merdeka Belajar 12: Sekolah Aman Berbelanja dengan SIPLah
13. Merdeka Belajar 13: Merdeka Berbudaya dengan Kanal Indonesiana
14. Merdeka Belajar 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual
15. Merdeka Belajar 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar
16. Merdeka Belajar 16: Akselerasi dan Peningkatan Pendanaan PAUD dan Pendidikan Kesetaraan
17. Merdeka Belajar 17: Revitalisasi Bahasa Daerah
17 program turunan dari Program Merdeka Belajar itu lantas mendapat kritikan dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan.
Salah satu LSM yang tergabung dalam koalisi tersebut adalah Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW, Dewi Anggraeni mengatakan, selama 3 tahun, menteri Nadiem memang telah menghasilkan banyak kebijakan. Namun sayangnya, menurut dia, ada sejumlah kekurangan dalam kebijakan tersebut.
Diantaranya adalah minimnya pelibatan publik. Hal itu kemudian berdampak pada transparansi dan akuntabilitas program, dalam hal ini adalah Program Merdeka Belajar.
“Apalagi dari sisi anggaran, tidak banyak yg diinformasikan ke publik,” ujar Dewi.
Lebih lanjut ia mengatakan, minimnya transparansi tersebut meninggalkan banyak pertanyaan dan berpotensi menciptakan kerugian bagi peserta didik, orang tua siswa, masyarakat secara umum, serta negara di masa depan.
Menurut Dewi, salah satu bentuk tidak transparannya Kemendikbudristek dalam mengelola anggaran Program Merdeka Belajar adalah pada Program Organisasi Penggerak (POP).
Menurut data yang dimiliki koalisi, Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran sebesar Rp595 miliar setiap tahunnya. Dengan anggaran sebesar itu, Kemendikbudristek menargetkan memberikan pelatihan untuk para guru, sebanyak 20.438 orang.
Namun tidak ada keterangan lebih lanjut seperti apa perincian alokasi dana tersebut.
“Kemendikbudristek belum mempublikasikan siapa saja organisasi atau komunitas penerima dana program ini, berapa anggaran yang diterima oleh masing-masing penerima, dan bagaimana hasil pemantauan serta evaluasi Kemendikbudristek terhadap pelaksanaan, ketercapaian, dan dampak program ini,” papar Dewi.
Menurut Dewi, transparansi tersebut menjadi penting, sebab anggaran yang dikelola Kemendikbudristek dalam Program Merdeka Belajar sangat besar.
Ia menyebut sebuah data yang dihimpun oleh koalisi, dimana pada 2021 lalu, Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran Rp 56,2 triliun untuk Program Merdeka Belajar. Menurut Dewi, anggaran tersebut baru tersebut baru terserap kurang dari 30 persen pada semester pertama 2021.
Sementara setahun sebelumnya, Kemendikbudristek mendapatkan alokasi anggaran Program Merdeka Belajar sebesar Rp 35,4 triliun dan tercatat realisasi pada 2020 mencapai 90,54% atau sebesar Rp 32,1 triliun.
“Melihat bertambahnya episode dan target program ini, anggaran Program Merdeka Belajar tahun 2022 diyakini mengalami kenaikan,” sambungnya.
Dalam konteks yang lebih luas, lanjut Dewi, Kemendikbud juga dinilai kurang transparan dalam pengelolaan angarannya.
Ia lalu memberikan contoh lainnya, yakni program bantuan kuota internet siswa untuk endukung belajar dari rumah selama pandemi Covid-19.
Menurut data yang dimiliki oleh koalisi, kata Dewi, program tersebut diterima oleh 35,725 juta peserta didik dan tenaga pendidik.
Namun tidak jelas berapa anggaran yang dikeluarkan untuk bantuan kuota tersebut. Informasi mengenai hal tersebut tak terlacak, termasuk dalam dokumen resmi Kemendikbudristek.
“Kami tidak bisa menyebutkan apakah itu karena kesengajaan atau memang model publikasi Kemendikbudristek. Yang pasti apapun alasannya, itu tidak transparan dan perlu segera diperbaiki. Karena informasi tersebut merupakan informasi publik dan hak publik untuk tahu,” papar Dewi.
Lagi-lagi Dewi mengingatkan, bahwa transparansi adalah hal yang sangat penting. Terlebih anggaran pendidikan yang dikelola Kemendikbudristek terus meningkat setiap tahunnya.
Pada 2019, alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp 460,3 triliun. Anggaran pendidikan tahun 2020 dan 2021 tidak jauh berbeda, yakni sebesar Rp 547,8 triliun pada 2020 dan Rp 550 triliun pada 2021. Sedangkan anggaran pendidikan pada 2022 mengalami sedikit penurunan menjadi Rp 542,8 triliun.
Meski begitu, belum diketahui pasti apakah ada tindak pidana korupsi di balik tidak transparannya penggunaan anggaran Program Merdeka belajar tersebut.
Namun potensi tersebut tetap ada, karenanya publik harus mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan.
Terlebih sektor pendidikan merupakan salah satu lahan basah yang kerap menjadi sasaran pelaku korupsi.
Data ICW menyebutkan, dalam enam tahun terakhir tercatat sedikitnya ada 240 kasus korupsi di dunia pendidikan, dengan kerugian negara mendapai Rp1,6 triliun.
“Kerugian anggaran ini setara dengan pemberian dana BOS untuk 1,46 juta siswa sekolah dasar atau membangun lebih dari 7 ribu Ruang Kelas Baru (RKB) di wilayah Papua,” ungkap Dewi.
Terkait banyaknya catatan yang diberikan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan, kami mencoba untuk mengonfirmasi kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Banyak hal yang harus dijawab oleh Kemendikbudristek. Namun hingga laporan ini disusun, permohonan wawancara kami belum juga direspon.
Merdeka Belajar jadi Program Gagal?
Semenjak dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Tahun 2019 lalu, Nadiem Makarim kerap menjadi kontroversi dan sorotan publik.
Misalnya terkait program merdeka belajar yang dinilai tidak memiliki implementasi yang kurang jelas dan sulit dipahami.
Tak jarang banyak sejumlah pengamat, pakar hingga Anggota DPR mengomentari program merdeka belajar.
Pengamat Pendidikan Darmaningtyas bahkan mengatakan bila program merdeka belajar kini menjadi merek dagang.
Ia mengatakan tentu akan berbahaya bila konsep program Merdeka Belajar dikapitalisasi karena itu bisa berdampak pada sanksi hukum.
“Terkait Merdeka Belajar ini jadi merek dagang suatu perusahaan pendidikan swasta nasional, implikasinya pasti ke hukum. Siapapun yang menggunakan istilah tersebut implikasinya ke hukum. Inilah sisi negatif dari kapitalisasi pendidikan,” kata Tyas.
Tyas menuturkan bila suatu pemakaian nama tidak membayar royalti, mungkin itu tidak ada masalah.
Akan tetapi ketika itu berimplikasi misalnya pada royalti yang harus dibayar Negara, dalam hal ini kemendikbud, maka itu jadi masalah karena seperti diketahui kemendikbud juga menggunakan jargon Merdeka Belajar.
“Saya waktu itu berdiskusi dengan teman teman UNJ, bila Mereka konsep Merdeka Belajar, Kampus Merdeka atau Merdeka Kuliah itu ternyata itu sudah digagas Rektor Universitas Terbuka (UT) pertama,” tuturnya.
Menurutnya, Merdeka Belajar merupakan konsep pendidikan yang sudah lama, di era 70-an sampai 80-an.
Tentu setiap program yang berada di lembaga kementerian jangan sampai terjadi kapitalisasi pada program tersebut.
“Persoalan yang terjadi di era Mendikbud Nadiem Makarim ini apakah ada proses kapitalisasi itu. Yang bisa jelaskan itu ya Nadiem sendiri,” ucapnya. (Vhe)