Jakarta, LINews – LSM pemantau korupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan fakta, bahwa pada 2020 lalu pemenang proyek infrastruktur terbesar di Indonesia, didominasi oleh perusahaan plat merah, atau BUMN.
Di mana saat itu, pemerintah Indonesia membuka sekitar 36,8 ribu tender atau lelang proyek infrastruktur dengan nilai total Rp180,07 triliun. Kemudian daftar tender dengan nilai kontrak tertinggi mayoritasnya dimenangkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Hal ini diungkapkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan bertajuk Indonesia dan Tender Infrastruktur 2020 yang dirilis 1 Juni 2022.
DAlam laporan itu disebutkan, ada 10 vendor atau pemenang tender proyek infrastruktur dengan nilai kontrak tertinggi pada 2020 lalu, yakni:
1. Sino Road and Bridge Group Co. Ltd: Rp4,58 triliun
2. PT Brantas Abipraya (Persero): Rp3,12 triliun
3. PT Pembangunan Perumahan Tbk (Persero): Rp2,72 triliun
4. PT Waskita Karya Tbk (Persero): Rp2,66 triliun
5. PT Adhi Karya Tbk (Persero): Rp2,41 triliun
6. PT Adhi Karya Tbk (Persero): Rp2,35 triliun
7. PT Nindya Karya Tbk (Persero): Rp2,07 triliun
8. PT Wijaya Karya Tbk (Persero): Rp1,66 triliun
9. PT Len Industri (Persero): Rp1,62 triliun
10. PT PP Tbk (Persero): Rp1,5 triliun
Dari daftar di atas, hanya ada satu pemenang tender dari pihak swasta, yakni Sino Road and Bridge Group Co. Ltd. Sedangkan sisanya berstatus sebagai BUMN.
“Di pasar infrastruktur, mayoritas penyedia adalah BUMN. Dari kesiapan administrasi selama masa prakualifikasi, jumlah aset yang dimiliki dijadikan jaminan, alat dan perlengkapan menjadi salah satu alasan mengapa BUMN menjadi pemenang untuk sebagian besar proyek konstruksi publik,” jelas ICW dalam laporan tersebut.
Peneliti ICW, Kes Tuturoong mengatakan, ada banyak faktor yang membuat pada akhirnya perusahaan BUMN yang mendapatkan proyek infrastruktur itu. Salah satunya, ia memperkirakan, akses BUMN untuk masuk dalam proyek tender lebih mudah dibanding pihak swasta.
Hal ini terlihat dari adanya sejumlah keluhan dari pihak swasta ketika mengikuti proses tender, seperti pungutan liar, masalah perizinan dan lain sebagainya.
“Tapi bukan berarti tidak ada perusahaan swasta yang bermain dalam tender tetap ada tapi proporsinya kemudian banyak yang lebih masuk ke BUMN,” ujar Kes.
Kes menambahkan, ini seperti “jeruk makan jeruk”. Namun ia belum sampai pada kesimpulan apakah munculnya lebih banyak BUMN dalam proyek infrastruktur tersebut adalah murni dari hasil proses tender atau ada kongkalikong di balik itu semua.
Namun untuk menjawab hal tersebut, Kes mengajak masyarakat untuk melihat rekam jejak sejumlah nama besar BUMN yang menjadi pemenang tender infrastruktur pada 2020 lalu.
Menurut dia, masing-masing BUMN tersebut memiliki rekam jejak di dunia korupsi, baik itu sebagai tersangka, atau minimal namanya pernah disebut di pengadilan sebagai saksi.
Diantaranya adalah Waskita Karya yang tersandung kasus puluhan proyek fiktif hingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp202.29 miliar. Kini kasusnya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lima mantan petingginya telah divonis 4-7 tahun penjara.
Adapun para pejabat Waskita Karya itu adalah mantan Kepala Divisi Sipil/Divisi III/ Divisi II Waskita Karya periode 2008-2011 Desi Arryani, mantan Kepala Proyek Pembangunan Kanal Timur-Paket 22 PT Waskita Karya Fathor Rachman.
Kemudian mantan Kepala Bagian Pengendalian II Divisi II PT Waskita Karya Jarot Subana, mantan Kepala Proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir Fakih Usman. Terakhir adalah mantan Kepala Bagian Keuangan Divisi Sipil III PT Waskita Karya Yuly Ariandi Siregar.
Selain itu ada juga nama PT Adhi Karya, dimana anak perusahaannya, yakni PT Adhi Persada Realti, tersandung perkara dugaan korupsi pembelian tanah pada kurun waktu 2012-2013. Kini kasusnya tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Penyebab BUMN Terperosok ke Dalam Korupsi
Mendominasinya BUMN dalam tender infrastruktur terbesar di Indonesia, bukanlah sebuah hal buruk, menurut Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja BUMN, Ahmad Yunus.
Menurut dia hal itu malah bagus, karena BUMN menjalankan fungsinya dalam bekerja untuk membangun bangsa.
Lantas bagaimana dengan sejumlah BUMN yang terseret kasus korupsi dan berakhir di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung?
Menurut Ahmad Yunus, tak selamanya kebobrokan BUMN disebabkan oleh orang BUMN itu sendiri. Dengan tegas, ia malah mengatakan, kebobrokan BUMN terjadi karena adanya pengaruh swasta yang masuk ke dalam tubuh perusahaan plat merah tersebut.
Pengaruh swasta yang ia maksud adalah masuknya orang-orang dari luar BUMN yang kemudian langsung duduk di posisi strategis, seperti direksi atau komisaris.
Menurut Ahmad Yunus, dua posisi tersebut rentan diisi oleh orang-orang yang memiliki latar belakang politik yang sudah barang tentu akan bekerja sesuai dengan kepentingan politiknya.
Ia menambahkan, direksi yang berasal dari model seperti ini biasanya memiliki jaringan perusahaan swasta di luar, baik itu milik sendiri atau milik rekanannya.
Dan ketika BUMN tersebut mendapatkan proyek, maka direksi tersebut dapat membawa perusahaan swasta itu untuk menggarap proyek itu.
“Direksi BUMN karya hampir semuanya dari swasta dan ketika itu dari swasta khawatir akan membentuk gurita bisnis dari tempat dia sebelumnya, tapi sekarang kembali lagi bahwa jabatan direksi itu adalah jabatan politis,” ujar Ahmad Yunus ketika dihubungi.
Dari sinilah awal mula penggerogotan BUMN terjadi. Menurut Ahmad Yunus, masuknya unsur swasta dalam BUMN telah memberikan dampak negatif. Salah satunya adaah merusak sejumlah tatanan dalam BUMN, diantaranya adalah good corporate governance (GCG). (Tim Investigasi)