Oleh : D Mahesa
Pertambangan batu bara merupakan ladang penghasilan uang bagi orang-orang terkaya di Indonesia. Bahkan menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyebut, orang-orang terkaya di Indonesia banyak yang berasal dari sektor pertambangan batubara.
Bisnis tambang batu bara sendiri sempat booming di era pertengahan tahun 2000-an saat harga batubara melambung tinggi nilainya di pasar dunia. Indonesia saat ini tercatat menjadi salah satu negara pengekspor batu bara terbesar di dunia setelah China, India dan Amerika.
Melansir ABC Australia saking tingginya jumlah produksi batu bara asal Indonesia, sebanyak 40 persen batu bara dunia tahun 2020 lalu disumbang dari hasil tambang batubara dari Indonesia. Hingga saat ini Indonesia memang masih menjadi salah satu primadona penyuplai batu bara terbesar di dunia.
Meskipun menjadi salah satu negara produsen batubara terbesar di dunia, namun pendapatan yang diperoleh dari sektor batubara untuk negara tidak sebesar potensi yang ada. Adapun total penerimaan negara dari sektor minerba termasuk batubara sebesar Rp42,36 triliun per 6 September 2021, sebuah jumlah yang terbilang kecil jika dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya yang masuk ke APBN kita.
Siapa dan seperti apa gambaran gurihnya berbisnis batubara yang begitu dimanja oleh sistem tata Kelola batubara di negara kita?. Mengapa potensi pendapatan negara yang besar dari sektor batubara tetapi begitu seret pemasukannya untuk negara?
Gurihnya Bisnis Batubara
Gurihnya berbisnis sektor batubara memang membuat banyak orang tertarik untuk terjun terjun kesana. Banyak yang berhasil tetapi banyak pula yang gagal karena kurangnya pengalaman dalam menjalankan bisnisnya.
Mereka yang berhasil telah menjelma menjadi orang orang kaya baru dengan limpahan cuan yang luar biasa banyaknya. Makanya sering kita mendengar ada pesohor baik dari kalangan artis atau selebrities yang menikah dengan pengusaha batu bara.
Dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia, sebagian di antaranya merupakan pengusaha tambang batu bara. Sebagai contoh Garibaldi Thohir atau sering dipanggil dengan Boy Thohir, merupakan kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir yang masuk sebagai orang terkaya di Indonesia di urutan ke-15 versi Majalah Forbes. Total kekayaannya tercatat sebesar 1,65 miliar dollar AS atau sekitar Rp 23,5 triliun (kurs Rp 14.200). Salah satu sumber kekayaan terbesarnya berasal dari kepemilikan sahamnya di PT Adaro yang merupakan perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia.
Selain Boy Thohir ada nama Theodore Permadi Rachmat, salah satu pengusaha nasional yang terbilang sangat senior di industri tambang batu bara. Ia bahkan ikut menjadi salah satu pendiri PT.Adaro Indonesia.
Dikutip dari laman resminya, Triputra diketahui memiliki bisnis batu bara besar lewat anak perusahaannya, Padang Karunia Group. Kapasitas produksinya bahkan mencapai 15 juta ton per tahunnya. Majalah Forbes menempatkan Theodore Rachmat di urutan ke-16 orang terkaya di Indonesia dengan jumlah kekayaan bersih sebesar 1,6 miliar dollar AS atau sekitar Rp 22,78 triliun.
Tercatat pula nama Peter Sondakh, pengusaha batu bara yang menempati urutan ke-18 orang terkaya Indonesia dengan jumlah kekayaan bersih sebesar 1,5 miliar dollar AS atau Rp 21,36 triliun. Sumber pundi kekayaannya berasal dari Rajawali Corpora. Rajawali Corpora adalah induk perusahaan investasi terkemuka yang didirikan pada tahun 1984 dan berbasis di Jakarta.
Dikutip dari laman resmi perusahaan, di sektor pertambangan, Rajawali Corpora memiliki 3 perusahaan besar yakni Archi Group, Golden Eagle Energy, dan Indo Mines Ltd. Untuk bisnis batu bara dikelola oleh PT Golden Eagle Energy Tbk yang mengelola tambang besar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Perusahaan ini diketahui menguasai cadangan batu bara sebesar 730 juta ton yang berada di Kalimantan dan Sumatera. Sementara kapasitas prroduksinya yakni sebesar 2,5 juta ton per tahunnya.
Pengusaha batu bara yang kaya raya lainnya adalah Low Tuck Kwong, pemilik dari Bayan Resources yang masuk sebagai salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia.
Penguasaan konsesi lahan raksasa tambang ini banyak tersebar di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tambang batu bara terbesarnya berlokasi di konsensi Tabang yang menyumbang 80 persen produksi. Area tambang lainnya berada di site Wahana Baratama, Teguh Sinar Abadi, dan Perkasa Inakakerta. Saking besarnya skala produksinya, Bayan Resources juga memiliki pelabuhan milik sendiri. Majalah Forbes menempatkan pria berusia 72 tahun ini di urutan ke-25 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 17,09 triliun.
Seretnya Pemasukan ke Negara
Kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah termasuk dari sektor batubara memang belum bisa dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh warga bangsa. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kecilnya pendapatan yang diperoleh negara dari sektor minerba khususnya batubara.
Pada hal segelintir warga negara Indonesia sudah berhasil menjadi orang yang kaya raya berkat usahanya di bidang batubara. Tetapi uang yang masuk ke kas negara tidak sebesar yang masuk ke kantong para pengusaha kaya batubara.
Beberapa waktu yang lalu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR bersama dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Komisi VII DPR sempat heboh karena ungkapan yang disampaikan oleh salah seorang anggota DPR yang ada disana. Adalah Anggota Komisi VII DPR Fraksi Demokrat Muhammad Nasir yang membuat gara gara. Ia menyebut seseorang yang bernama Tan Paulin sebagai si ‘Ratu Batu Bara’
Menurut M.Nasir, Tan Paulin ini diklaim telah mengambil hasil tambang batu bara dan tidak melaporkannya kepada pemerintah sebagaimana mestinya. Adapun uang yang dihasilkan dari penjualan batu bara yang tidak dilaporkan tersebut jumlahnya fantastis hingga Rp2,5 triliun.
Dalam kaitan tersebut, Nasir mengkritik pemerintah yang dinilainya tidak becus mengawasi tambang batu bara. “Ada siapa ini namanya tadi, produksi 1 juta (ton) per bulan, tapi enggak laporan ke ESDM. Namanya Tan Paulin. Saya bilang, tangkap orang ini, siapa yang lindungi orang ini?” ujar Nasir dalam rapat, Kamis (13/1/2022).
Terlepas dari benar atau tidaknya tudingan M. Nasir tersebut tetapi paling tidak hal ini mengindikasikan adanya potensi pendapatan dari sektor batubara yang menguap sehingga tidak masuk menjadi pendapatan negara karena lemahnya pengawasan pemerintah dalam melakukan tata kelola tambang batubara. Atau jangan jangan memang ada oknum dari penguasa yang kongkalingkong bermain disana?
Dalam kaitan dengan masalah ini pula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan bahwa kepatuhan pajak di sektor Sumber Daya Alam (SDA) atau industri ekstraktif seperti pertambangan batubara, masih sangat rendah sehingga potensi besar penerimaan dari sektor tersebut tidak masuk ke kas negara.
“Rendahnya kepatuhan wajib pajak terutama sektor tertentu, yang extractive industry, yang Direktorat Jenderal Pajak dapatkan masih sangat kurang,” kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif dalam peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di Jakarta, Kamis (6/12/20).
Pada tahun 2014 lalu, Laode bersama dengan timnya melakukan kajian bertajuk Optimalisasi Penerimaan Pajak: Studi Kasus Pertambangan Batubara. Menurut dia, ada banyak potensi penerimaan negara dari sektor pertambangan batubara yang belum terserap sebagaimana mestinya.
Hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perusahaan belum memiliki izin usaha atau memiliki izin usaha namun tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kedua, perusahaan membuat laporan hasil tambang per bulan yang tidak sesuai dengan realisasinya. Bahkan, catatan ekspor yang ada di pelabuhan Indonesia tidak sesuai dengan catatan ekspor di mancanegara.
Pendeknya, seretnya pemasukan dana dari sektor sumberdaya alam khususnya batubara ke kas negara disebabkan karena adanya dugaan praktek korupsi yang sungguh luar biasa besarnya namun tidak mendapatkan perhatian serius dari pihak yang berwenang menanganinya. Terkesan praktek praktek tersebut terus dipelihara tanpa ada upaya serius untuk menyikatnya.
Akibat korupsi di sektor pengelolaan SDA termasuk batubara, pendapatan Negara dari sektor ini kurang dari 300 triliun per tahunnya, jumlah yang sangat kecil sekali tentunya. Pada hal potensi pendapatan Negara dari sektor SDA sebenarnya sangat luar biasa.
Sebagai gambaran, dalam kesempatan berpidato di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Hotel Ecopark Jakarta tahun 2013 lalu, Mantan Ketua KPK Abraham Samad pernah mengatakan bahwa potensi pendapatan negara bisa mencapai Rp 7.200 triliun setiap tahunnya. Bahkan bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun.
“Dengan jumlah sebesar ini bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta,” ujarnya.
Tetapi kekayaan SDA yang melimpah termasuk dari sektor batubara itu rupanya belum membawa berkah bagi segenap rakyat Indonesia karena belum dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia. Pada hal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat nya‘ Tetapi mengapa cita cita kesejahteraan rakyat melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam ini belum bisa diwujudkan sebagaimana mestinya?