Jalan Konstitusional Pembubaran Partai Politik

Jalan Konstitusional Pembubaran Partai Politik

Jakarta, LINews – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto menyampaikan ceramah kunci secara daring dalam Webinar Hukum Nasional – Constitutional Law Festival 2022 (CLFEST 2022). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Forum Kajian dan Penelitian Hukum (FKPH) Universitas Brawijaya pada Sabtu (24/9/2022).

“Webinar ini membahas salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni memutus pembubaran partai politik yang belum pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi. Hal ini penting karena masih banyak aspek yang harus dikaji dari kewenangan tersebut, baik tinjauan substantif atas alasan-alasan pembubaran partai politik maupun telaah lebih komprehensif atas prosedur hukum acara dalam pembubaran partai politik,” kata Aswanto di awal paparan.

Partai Politik Anak Demokrasi

Lebih lanjut Aswanto menjelaskan akibat hukum ikutan apabila putusan pembubaran partai politik (parpol) dijatuhkan MK. Hal ini juga penting, sebab kewenangan pembubaran parpol berkaitan dengan eksistensi partai politik sebagai sebuah institusi demokrasi yang merupakan komponen utama dalam pengisian jabatan dan penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melakukan pendidikan politik.

“Sebenarnya kita sudah disuguhi dengan kajian yang komprehensif melalui penelitian secara mendalam tentang pembubaran parpol dalam disertasi Dekan FH Universitas Brawijaya, Prof Dr Muhammad Ali Syafa’at dan sudah diterbitkan dalam bentuk buku,” ujar Aswanto.

Webinar hukum kali ini, sambung Aswanto, akan mempertemukan kembali berbagai pikiran dan perspektif guna memperkaya khazanah topik di dalam negeri yang sebenarnya belum terlalu banyak dikaji. Max Weber pernah mengatakan bahwa parpol adalah anak-anak demokrasi. Kekuasaan negara dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan jaminan atas hak dan kebebasan warga negara serta menginduksi nilai-nilai demokrasi dalam pembentukan dan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan. Dua dari cabang kekuasaan berdasarkan ajaran Trias Politica, yakni cabang eksekutif dan legislatif lahir dari proses demokrasin dimana parpol sebagai pemain utama yang mengisi kekuasaan ini.

“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa diusulkan oleh partai politik. Kekuasaan pembentukan undang-undang berada pada DPR bersama dengan Presiden yang dilahirkan oleh proses demokrasi yang komponen utamanya adalah partai politik,” jelas Aswanto.

Melalui keberadaan parpol rakyat dapat mewujudkan kebebasan untuk berkumpul dan berserikat. Melalui keikutsertaan parpol dalam pemilu atau pilkada, rakyat dapat mengejawantahkan hak untuk memilih dan hak untuk dipilih.

“Artinya, partai politik yang merupakan peserta pemilu memainkan peran penting dalam mewadahi perwujudan pemenuhan hak dan kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan melalui pemilu,” lanjut Aswanto.

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

Aswanto kemudian menjelaskan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) yang menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan tanpa pembedaan apapun berdasarka ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, asal usul dan seterusnya serta tanpa pembatasan yang tidak masuk akal untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara periodik dalam pemilu.

Dalam general comment ICCPR ditegaskan bahwa Pasal 25 tersebut merupakan jantung dari sebuah pemerintahan yang demokratis. Hak yang dijamin dalam ketentuan ini juga berkait dengan hak dan kebebasan lainnya seperti hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination), kebebasan atas informasi dan berekspresi (freedom of information and expression), kebebasan berserikat (freedom of association) dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly). Artinya, partai politik yang merupakan peserta pemilihan umum memainkan peran penting dalam mewadahi pewujudan pemenuhan hak dan kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan melalui pemilihan umum.

“Dapatlah dikatakan bahwa tidak ada pemilihan umum tanpa partai politik. Pernyataan ini tentu tidak dimaksudkan untuk menegasi hak calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah atau pun fakta bahwa terdapat negara-negara yang tidak memiliki partai politik. Kita bisa melihat, sebagai contoh, sejumlah negara kecil di (samudera) Pasifik seperti Tuvalu misalnya dan sejumlah negara lainnya,” jelas Aswanto.

Negara-negara tanpa parpol ini seperti menjadi sebuah pengecualian atas aturan umum bahwa demokrasi membutuhkan parpol untuk menjalankan kekuasaan representasi rakyat. “Demokrasi berpusat pada partai politik dan bahwa partai politik lah yang menggerakkan demokrasi itu. Tetapi hal ini semata untuk menekankan bahwa semua proses demokrasi ini, komponen utamanya adalah partai politik dan melaluinya lahir kekuasaan yang memiliki tugas untuk mengemban amanat konstitusi,” papar Aswanto.

Alasan Pembubaran Parpol

Dengan peran penting seperti itu, ungkap Aswanto, keberadaan parpol harus jauh dan dijauhkan dari anasir-anasir yang bisa membawa dampak negatif dalam berdemokrasi. Apatah lagi dibangun dengan ideologi, asas, dan tujuan yang tidak sejalan dengan ideologi negara atau pun melakukan kegiatan yang bertentangan dengan falsafah dan dasar negara, Pancasila dan UUD 1945.

Seandainya hal itu terjadi, UUD 1945 telah menyediakan jalan konstitusional untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol kepada MK. Tetapi jalan ini tentu tidak mudah dan hanya bisa diajukan oleh pemerintah. Tidak seperti dalam kasus judicial review yang boleh diajukan seluruh warga negara dari segala lapisan dapat mengajukan pengujian undang-undang ke MK bila ada alasan-alasan untuk itu.

Sebagai wujud dari hak konstitusional dan kebebasan warga negara dalam berekspresi, berpendapat, berkumpul, berserikat dan berorganisasi, pembubaran parpol harus memiliki alasan-alasan substantif yang melampaui alasan hak dan kebebasan ini. Dalam rezim hukum Hak Asasi Manusia, hal demikian dapat dikategorikan sebagai pembatasan atas Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Dikatakan Aswanto, secara normatif telah ditentukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UU Mahkamah Konstitusi, bahwa pembubaran parpol diajukan oleh pemerintah dengan dalil ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan parpol yang bersangkutan, dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik merinci lagi alasan pembubaran ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b. Bila memperhatikan ketentuan Pasal 2 huruf b terdapat semacam perluasan atas ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU MK khususnya yang menyangkut kegiatan partai politik.

Dalam Pasal 2 huruf b PMK 12/2008, jelas Aswanto, disebutkan bahwa alasan pembubaran partai politik adalah apabila kegiatan partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rumusan ini terdapat frasa “atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Dalam pasal 68 ayat (2) rumusan ini tidak ditemukan. Pasal 2 huruf a dan huruf b juga bersifat kumulatif alternatif yang dapat dilihat dalam penggunaan frasa dan/atau dalam huruf a yang juga tampak berbeda dengan Pasal 68 ayat (2) UU MK yang hanya menggunakan kata “dan”. Artinya, ketentuan normatif ini, merupakan salah satu aspek yang dapat dikaji secara kritis untuk memberikan masukan dalam penyempurnaan pranata hukum pembubaran parpol.

(Red)