Kebijakan Mobil Listrik yang Dipaksakan #1

Kebijakan Mobil Listrik yang Dipaksakan #1

Jakarta, LINews – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Inpres Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Sebagai Kendaraan Dinas Operasional Dan/Atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Instruksi presiden itu diteken Jokowi pada 13 September 2022. Melalui aturan itu, Jokowi hendak mengganti kendaraan operasional pemerintah dari berbahan bakar minyak menjadi listrik.

Namun kebijakan mobil listrik dinilai terlalu dipaksakan karena tidak memperhitungkan dampak lingkungan dan juga belum siapnya sarana infrastruktur untuk mobil listrik.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar mengatakan ada kepentingan pelaku bisnis dalam instruksi presiden itu.

“Inpres ini sebetulnya satu dari begitu banyak kebijakan dan regulasi di era pemerintahan Jokowi yang menguntungkan pelaku bisnis,” kata Melky pada Law-Investigasi, Selasa (11/10/2022).

Ia menyebut, inpres itu memberikan keistimewahan tambahan bagi pejabat berkuasa untuk menggunakan kendaraan berbasis listrik dengan skema pendanaan menggunakan APBN atau APBD. Jika menilik regulasi-regulasi terkait sebelumnya, JATAM melihat aturan itu memang dibuat untuk mengakomodasi kepentingan pelaku bisnis.

Berikut regulasi-regulasi yang dimaksud:

– Peraturan Presiden No 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan yang mengatur pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai;

– Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah di mana dalam pasal 136 menyebutkan pembelian kendaraan listrik dibebaskan dari pajak;

– Peraturan Menteri ESDM No 13 Tahun 2020 yang memberi kemudahan semua pihak untuk mengembangkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum, baik untuk BUMN maupun swasta;

– Peraturan Menteri Perhubungan No 45 Tahun 2020 untuk mempercepat konversi kendaraan berbahan bakar minyak menjadi kendaraan berbasis listrik;

– Peraturan Menteri Dalam Negeri No 8 Tahun 2020 yang menjadi dasar diskon pajak kendaraan listrik, di mana ada diskon dengan maksimal pembayaran pajak 25% dari total pajak untuk kendaraan listrik umum, dan 30% maksimal untuk kendaraan listrik pribadi;

– Peraturan Menteri Perindustrian No 28 Tahun 2020 yang memberi keistimewaan bagi pelaku industri kendaraan listrik untuk mengimpor sebagian besar bahan baku kendaraan listrik maupun keseluruhannya;

– Peraturan Presiden No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang mengizinkan pembangunan PLTU batubara baru, terutama yang sudah ditetapkan dalam RUPTL.

“Dengan demikian sedari awal, seluruh kebijakan dan regulasi itu memang dibuat untuk mengakomodasi kepentingan pelaku bisnis. Tak terkait dengan persoalan ekonomi warga di garis depan krisis,” tegas Melky.

Kendaraan Listrik untuk Atasi Emisi Karbon?

Koordinator JATAM Melky Nazar menegaskan, klaim kendaraan listrik sebagai cara mengatasi emisi karbon adalah omong kosong. “Itu solusi palsu,” tandas Melky.

Menurutnya, Kepulauan Sulawesi, Kepulauan Maluku, hingga Papua justru menderita akibat laju perluasan pembongkaran daratan oleh perusahaan tambang.

Alih fungsi lahan di sana telah memicu terganggunya akses kepemilikan dan pemanfaatan ruang pangan yang pada akhirnya membawa kemiskinan sistematis bagi warga setempat.

Selain itu, lanjutnya, bentang air dan udara yang terus tercemar oleh operasional perusahaan juga memicu produktivitas pangan, serta mengganggu kesehatan warga dan ekosistem darat dan laut.

“Hal ini tak hanya dialami oleh warga (se)tempat di mana perusahaan beroperasi, tetapi juga juga berdampak secara tidak langsung terhadap warga di perkotaan (konsumen),” ujar Melky.

Ia juga menyoroti pembongkaran kawasan hutan yang telah memicu deforestasi. Kawasan hutan itu adalah tempat resapan air.

“Perusakan kawasan hutan telah memicu eskalasi bencana banjir di wilayah tambang, sebagaimana terjadi di Weda, Halmahera Tengah dan Bahodopi, Morowali yang terus berulang,” kata Melky.

Ia melanjutkan, perluasan ekstraksi nikel telah memicu terjadinya intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya.

“Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, misalnya, telah ada 30 orang yang dikriminalisasi oleh PT Gema Kreasi Perdana, anak usaha Harita Group. Demikian juga di Weda, Pulau Obi, Luwu Timur, dan sejumlah wilayah lainnya, warga seringkali mendapat tindakan represif dari aparat keamanan,” lanjutnya.

Hal-hal itu belum termasuk pembongkaran batubara dan migas di pulau Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Pembongkaran untuk menyuplai kebutuhan energi operasional industri tambang itu tentu saja terus menyebabkan emisi di udara.

“Dengan demikian, daya rusak di balik industri tambang nikel untuk kendaraan listrik ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah emisi yang dikeluarkan yang tidak signifikan,” papar Melky.

(Tim Investigasi)