Ahli Sebut Perkara CCTV Seperti Rekayasa Pemerasan

Ahli Sebut Perkara CCTV Seperti Rekayasa Pemerasan

Bandung, LINews – Majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung kembali melanjutkan sidang dugaan suap pengadaan barang dan jasa program Bandung Smart City.

Sidang dengan terdakwa tiga orang dari pihak swasta ini menghadirkan saksi ahli hukum pidana dari Universitas Islam Bandung (Unisba) Nandang Sambas.

Nandang menjelaskan, mulanya ia diminta untuk menjelaskan perbedaan antara suap, gratifikasi, pemerasan, dan pungutan liar.

Dalam keterangannya, Nandang memandang kalau kasus suap ini secara objektif masuk dalam perkara pemerasan.

“Saya sekilas membaca memahaminya memang suap. Secara normatif, ia ada komitmen antara pemberi dan penerima terkait dengan persoalan-persoalan tentang proyek pekerjaan,” kata Nandang seusai sidang di PN Bandung, Senin (14/8).

Lebih lanjut, berdasarkan resume yang diterimanya, memang tidak ada kesepakatan pemberian di setiap termin.

Ia berpendapat, bahwa kasus itu menjadi suatu rekayasa pemerasan yang dilakukan oleh pejabat tertentu yang mempunyai komitmen, proyek, dan mengetahui anggaran.

“Hampir semua tindak pidana korupsi yang melibatkan pengusaha modusnya adalah pemanfaatan kelemahan atau posisi pengusaha. Saya bukan memenangkan pengusaha tapi ini suatu sistem yang jelek, yang buruk, yang menyebabkan tumbuh suburnya korupsi di Indonesia,” ujarnya.

“Saya sepakat para pejabatnya harus dihukum setinggi-tingginya,” sambungnya.

Nandang menyampaikan, bila dikaitkan dengan anak jalan, mereka melakukan tindak kejahatan bukan karena jahat. Akan tetapi, kondisi yang menyebabkan mereka harus berbuat seperti itu.

“Dia (anak jalanan) harus survive, sama dengan pengusaha. Pengusaha kalau tidak seperti itu enggak bakalan mendapatkan proyek. Ini yang selalu dimanfaatkan oleh para pejabat tertentu. Memang secara normatif, dakwaannya kan suap. Tapi kalau pengamatan saya ini ada pemerasannya,” ungkapnya.

Ia pun mengibaratkan, kasus korupsi program Bandung Smart City ini seperti lingkaran setan.

Sebab, apabila pengusaha tidak melakukan ‘suap’ tersebut, maka bisa menjadi masalah, tetapi jika dilakukan pun bisa berdampak masalah kepada mereka.

“Tidak melakukan ya, tidak mungkin dia dapat proyek, melakukan juga salah. Para pejabat sendiri mencoba membuat semacam modus, tidak maksa sih cuma kebetulan anak-anak mau lebaran nih. Bagi orang dalam posisi tertentu secara psikologis itu suatu tekanan yang harus dilakukan,” paparnya.

“Itulah yang harus dipertimbangkan oleh hakim ketika menjatuhkan pidana kepada si pemberi itu,” sambungnya.

Perbedaan antara Suap dan Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi

Jadi jelas bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Kemudian, dalam suap ada unsur intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam pengambilan kebijakan maupun keputusannya..ujar ahli.

Singkatnya perbedaan suap dan gratifikasi adalah terkait ada tidaknya meeting of minds. Selain itu, suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Namun demikian, gratifikasi dapat dianggap pemberian suap.

Apa pemerasan merupakan korupsi? 

Pemerasan terjadi jika Penyelanggara Negara atau Pegawai Negeri menyalagunakan kekuasannya dengan cara memaksa atau meminta sesuatu kepada masyarakat sebagai pengguna layanan publik.

Pemerasan (pungli) adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat atau wakil negara untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya dengan memaksa seseorang untuk memberi, membayar atau menerima sesuatu dengan harga yang lebih murah atau melakukan sesuatu untuk dirinya.

Sementara Menurut kuasa hukum terdakwa, Wildan Muklisin,SH,MH bahwa pertama perjalanan perkara klien nya diduga telah melakukan suap kepada Pejabat Dishub kota Bandung.

Berawal pada bulan Ramadhan ada pertemuan yang intinya diarahkan untuk menyediakan setoran setoran dengan angka tertentu yang di setorkan kepada Pimpinan karena ada atensi tersebut untuk THR Lebaran, sehingga para kabid kabid mencari cara untuk mendapatkan target setoran, dengan salah satu cara adalah meminta kepada pihak swasta yang punya kerjaan di Dishub yaitu salah satunya adalah PT. CIFO.

Otomatis yang berperan aktif permintaan uang itu adalah oleh para Pejabat, Bukan inisiatif PT. CIFO ini inisiatif dari Haerul Rijal sebagai Sekdis.hub kota Bandung yang meminta uang untuk THR, dan petmintaan nya dipenuhi oleh PT. CIFO lalu di serahkannya sebesar Rp.86 juta dari yang di minta Rp.100 juta.

Dari situlah kita bisa melihat ada unsur unsur pidana didalam nya ada suatu penekanan dan keharusan untuk menyerahkan uang dari PT. CIFO untuk kepentingannya.

“Jelas ini menjadi Dilema oleh PT. CIFO yang meminta adalah Pejabat Tinggi di salah satu kedinasan. Maka disini sudah jelas sudah ada unsur unsur sudah ada penekanan, disinilah sudah terlihat adanya penekanan pada pengusaha” tegas Wildan.

Jadi disini PT. CIFO tidak ada niat uniuk melakukan tindakan melawan hukum, justru disinilah adanya pemerasan yang dilakukan oleh oknum Pejabat Dishub kota Bandung

“Apabila perkara ini di kaitkan dengan keterangan Ahli .bahwa pungli yang di lakukan oleh oknum di beberapa Intansi Pemerintah itu sudah jelas salah.ahirnya bisa menyeret seseorang ke ranah hukum .juga di samping itu tentu saja dapat merugikan secara moril maupun materil” Terangnya Wildan.

“Kesaksian Ahli yang di hadirkan pihak terdakwa tentu saja akan dijadikan bahan dalam nota pembelaan nanti” Sambungnya.

(Nasikin)

Tinggalkan Balasan