Aktor Di Balik Dugaan Korupsi RJA DPR RI Senilai Rp 120 Milyar #2

Aktor Di Balik Dugaan Korupsi RJA DPR RI Senilai Rp 120 Milyar #2

Law-Investigasi

Modus Klasik Bancakan Duit Rakyat

Penyidik komisi antirasuah menduga modus korupsi dalam proyek adalah penggelembungan atau markup harga. Sejumlah kelengkapan rumah jabatan mulai untuk di ruang tamu hingga kamar tidur diduga dipatok lebih tinggi dari harga pasaran. Lain itu, disebut pula proses lelang hanya formalitas lantaran pemenang lelang sudah ditentukan sejak awal.

“Pelaksana lelang sudah menentukan siapa pemenang lelang dan berapa harga perkiraan kelengkapan sarana rumah dinas untuk dikondisikan,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu kepada Law-Investigasi, Rabu (20/3/2024).

Merujuk LPSE DPR RI periode 2020, perusahaan Juanda menang tender dengan nilai proyek sebesar Rp39,7 miliar untuk menggarap kelengkapan sarana RJA DPR RI di Kalibata yang mencakup Blok A dan B. Total ada 70 peserta lelang dan 7 diantaranya mengajukan penawaran. Dengan angka penawaran sekira Rp38,9 miliar dan tanpa koreksi administrasi, kualifikasi hingga teknis, Dwitunggal Bangun menang tender. Pesaing lainnya seperti PT Elsa Graha Multikarya yang menawar lebih tinggi di angka Rp39,1 miliar tak lolos karena permasalahan rekening bank.

General Affair PT Dwitunggal Bangun Persada, Riki, mengatakan penyidik KPK sempat mendatangi pabrik pada 6 Maret lalu. Dia masih ingat bagaimana saat itu 6 penyidik memasuki ruangan Juanda dan menyita beberapa dokumen seperti nota keuangan dan berkas yang berkaitan dengan tender.

“Penyidik bertemu Pak Juanda selama 3 jam di ruangannya. Selain dokumen, handphone bapak juga disita. Tapi belakangan udah dibalikin,” kata Riki saat ditemui di kantornya, Jumat (22/3/2024).

Dia juga masih ingat bosnya sempat mendatangi KPK pada medio 2021 untuk pemeriksaan kasus bancakan ini. Selain Juanda, kata Riki, Direktur Keuangan perusahaan saat itu juga ikut dimintai kesaksiannya. Menurutnya, kasus ini berkaitan dengan politik Pilpres 2024 sehingga meyakini bosnya tidak terlibat korupsi proyek.

“Nyesel juga kami ambil proyeknya kalau tahu akhirnya begini. Nilai (proyek) enggak seberapa padahal. Ya ini ada kaitannya dengan politik,” kata dia.

Meski KPK bilang adanya kongkalikong dalam pemenang lelang dan harga satuan proyek, Riki mengklaim produk yang digarap pabriknya berkualitas tinggi. Untuk beberapa partikel perabotan, katanya, berbahan impor. Namun, merujuk laporan Kompas.id yang menyambangi rumah dinas DPR di Kalibata beberapa waktu lalu, didapati beberapa perabotan dalam kondisi yang tidak layak. Ambil contoh seperti lemari kayu yang kondisinya sudah ringkih, padahal pengadaan barang baru berlangsung tak lebih dari empat tahun.

Dalam laman katalog LKPP, produk dengan jenama Abbot seperti lemari arsip terdaftar pemilik atas nama Juanda Sidabutar. Perusahaan Abbotindo juga tercatat mengajukan penawaran pada sejumlah proyek pemerintahan, mulai dari BNPB, Kemensos hingga MPR. Relasi kedua perusahaan ini juga terlihat dari beberapa lowongan kerja yang mengatasnamakan Abbotindo Berkat, namun ada embel-embel nama Dwitunggal Bangun dalam poster loker. Riki, GA dari Dwitunggal Bangun, pun mengonfirmasi relasi anak-bapak antara Juanda dan Ariel. “Iya (benar putra Juanda). Kalau Pak Juanda masih aktif, Ariel suka datang ke kantor. (Tapi) semenjak pergantian direktur, Pak Ariel juga enggak pernah hadir lagi,” kata Riki yang juga menjelaskan Juanda kini menjabat komisaris Dwitunggal Bangun.

Bicara soal suspect atau tersangka, dalam kebiasaan KPK–pihak-pihak yang dicekal keluar negeri adalah mereka yang berpotensi menjadi tersangka. Dalam status hukum Juanda yang termasuk dalam daftar cekal kasus ini, kami sudah berupaya untuk mengontak kuasa hukum Juanda Sidabutar, tetapi hingga kini tidak diberikan akses. Riki yang saat ditemui mulanya mengatakan bahwa pengacara sedang ada di kantor Dwitunggal, akan tetapi di ujung pembicaraan, dia menarik ucapannya.

Sekjen Fitra, Misbah Hasan, menduga modus korupsi kasus ini berkutat pada penggelembungan harga yang disepakati antara pihak pemberi proyek (Setjen DPR) dan vendor. Akibat mark-up ini lah yang mempengaruhi kualitas produk yang dipasok ke rumah dinas. Alih-alih anggaran untuk produk berkualitas baik, tetapi yang ada sebaliknya. “Menurut saya ada potensi mark up anggaran, lalu sewaktu sudah di mark up, kualitas barang yang diadakan itu tidak sesuai dengan spesifikasinya. Ada dua layer potensi korupsi dan dua keuntungan,” kata Misbah kepada Law-Investigasi, Kamis (21/3/2024).

Menurutnya, mark up harga yang disusun dalam anggaran sehingga berdampak pada produk tidak sesuai spesifikasi ini merupakan modus klasik dalam pengadaan barang dan jasa. Katanya, antar pihak yang mengondisikan penggelembungan harga ini sudah merencanakan sejak awal pengadaan. Dari tren mark up yang terjadi selama ini, sedikitnya penggelembungan harga hingga 30 persen dair harga asli.

“Dari proses lelang, besar kemungkinan pemenangnya sudah disiapkan sehingga proses lelang itu hanya formalitas. Karena sudah ada deal dan kick back dari pengkondisian pemenang tender itu. Ini harus ditelusuri oleh KPK, apakah memang dari awal didesain untuk korupsi dari pengadaan ini,” ucap Misbah.

Misbah juga menyoroti sikap anggota DPR yang diberi jatah rumah dinas. Agak tampak janggal, katanya, jika anggota DPR tidak memperhatikan kualitas dari kelengkapan rumah dinasnya. Sehingga, patut diduga pula ada keterlibatan para politisi Senayan dalam kasus ini. Ia mewanti-wanti, KPK harus menelusuri aliran bancakan sampai tuntas, tidak sebatas berhenti pada pihak vendor, BURT dan Setjen DPR. Misbah menekankan titik tolak peranan politisi parlemen dalam pusaran kasus ini erat kaitannya dengan fungsi anggaran yang dimiliki DPR.

“Kalau potensinya (korupsi) sudah sejak awal sejak perencanaan, artinya memang pengawasan di DPR lemah. Apakah ada peran dari anggota dewan dan parpol tertentu. KPK harus bisa sejauh itu. Karena enggak mungkin dinikmati sendirian oleh Sekjen DPR,” kata Misbah.

Adapun secara garis besar proses penganggaran di DPR bermula dari pengajuan Setjen DPR kepada Kemenkeu. Dari sana, diakomodir dalam nota keuangan dan RAPBN sebelum dibahas pada rapat komisi di parlemen. Hingga akhirnya dibahas dalam forum paripurna untuk menentukan ihwal apa yang menjadi kebutuhan dan berapa anggaran Setjen DPR dalam kepentingan rumah dinas.

(R. Simangunsong)

Tinggalkan Balasan