Amankah Perekonomian Indonesia? Dengan Hutang Rp 8.444 Triliun

Amankah Perekonomian Indonesia? Dengan Hutang Rp 8.444 Triliun

Jakarta, LINews – Posisi utang pemerintah tercatat Rp 8.444,87 triliun per Juni 2024. Jumlah utang sebesar itu terpantau naik Rp 91,85 triliun jika dibandingkan posisi akhir pada Mei 2024 yang sebesar Rp 8.353,02 triliun. Angka itu juga lebih tinggi ketimbang utang per Juni 2023 yang mencapai Rp 7.805,19 triliun atau naik Rp 639,68 triliun. Lantas, apa kata pakar ekonomi soal posisi utang Indonesia yang banyak ini?

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede bilang kenaikan utang pemerintah membuat rasio utang naik dari 38,71 persen menjadi 39,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Juni 2024. Meski begitu, dia beranggapan pengelolaan utang tersebut masih terbilang prudent. Sehingga rasio utang pada Juni 2024 masih dalam batas aman.

“Tingkat rasio utang Indonesia terhadap PDB hingga semester I tahun 2024 tercatat 39,13 persen dan secara nominal sekitar Rp 8.444 triliun. Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya dari sisi pengolahan utang masih prudent,” kata Josua, Minggu (4/8/2024).

Josua menyatakan angka itu masih di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara yang mengatur batas rasio utang. Menurutnya, tren rasio utang RI terus menurun setelah pandemi.

“Kita tahu bahwa pada saat pandemi pemerintah dalam rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) penerbitan ataupun defisit fiskalnya di atas 3 persen dan ini berimplikasi pada kenaikan rasio utang terhadap PDB yakni di 2021 mencapai 40,74 persen. Namun saat ini sudah turun hingga 39,13 persen,” ujar Josua.

Ke depannya, Josua menuturkan arah dari rasio utang terhadap PDB ini akan sangat bergantung pada proyeksi dari defisit fiskalnya. Apabila defisit fiskalnya masih terjaga di bawah 3 persen terhadap PDB, ia memandang bahwa rasio utang terhadap PDB masih akan tetap stabil.

“Kurang lebih masih di kisaran 39 sama dengan 40 persen. Dan belum ada indikasi bahwa kenaikan utang ini akan meningkat di atas level itu. Apabila kalau defisit fiskalnya tetap terjaga di bawah 3 persen,” ujarnya.

Lebih lanjut, Josua menilai kondisi beban pembayaran utang ini masih akan cukup tinggi sampai dengan 2025-2026. Ia menegaskan kenaikan utang itu harus bisa merefleksikan pertumbuhan ekonomi yang baik. “Dan ini juga masih berkaitan dengan penanganan PEN yaitu penanganan pandemi untuk anggaran PEN-nya, sehingga tapi setelah itu beban utang pemerintah ataupun pembayaran utang pemerintah cenderung akan mulai meredah dan menormalisasi kembali normalisasi,” ungkap Josua.

“Kalau kenaikan utang tidak bisa merefleksikan pertumbuhan ekonomi yang cukup solid tentunya ini akan menjadi pertanyaan besar bahwa produktivitas dari utang cenderung menurun,” imbuhnya.

Di tengah utang RI yang terus terkerek naik, presiden terpilih Prabowo Subianto diisukan bakal mengerek rasio utang menjadi 50% terhadap PDB. Ekonom berpandangan rencana itu akan menimbulkan sederet risiko terhadap perekonomian Indonesia. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) M. Faisal mengungkit peningkatan jumlah utang semasa pandemi Covid-19. Dia mengatakan kebijakan pelonggaran defisit pada masa itu yang berjalan selama 3 tahun saja sudah membuat utang Indonesia membludak.

“Hanya 3 tahun, itu pun kita harus membayar konsekuensinya, yaitu tahun depan utang jatuh tempo kita melompat hingga RP 800 triliun,” kata Faisal dikutip CNBC Indonesia pada pertengahan Juli.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan kondisi rasio utang yang saat ini berada pada level 36,6% dari PDB saja sudah menyulitkan. Dia tak bisa membayangkan keadaan sulit yang akan dihadapi apabila rasio utang digenjot hingga 50%. “Tanpa diimbangi kenaikan penerimaan negara, saya pikir rasio utang terhadap PDB semakin sulit,” katanya.

Dia juga mengatakan apabila rasio utang terus naik, maka belanja modal pemerintah akan semakin menyempit. Walhasil, kata dia, anggaran negara akan lebih banyak habis untuk membayar bunga utang ketimbang belanja produktif lainnya. “Belanja pemerintah untuk pembangunan lebih kecil daripada belanja rutin,” katanya.

(Vhe)

Tinggalkan Balasan