Analisis Hukum RUU KUHAP, Hukum untuk Keadilan Rakyat atau Kekuasaan? #1

Analisis Hukum RUU KUHAP, Hukum untuk Keadilan Rakyat atau Kekuasaan? #1

Oleh: Veronica Zulkarnaen, Pimpinan Redaksi Law-Investigasi

Law-Investigasi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Meskipun KUHAP tersebut pernah menjadi tonggak kemajuan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, namun dalam perjalanannya, banyak pihak menilai bahwa aturan ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Salah satu aspek yang paling menonjol adalah ketidakmampuannya untuk mengakomodasi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) secara komprehensif, terutama dalam perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa selama proses hukum. Selain itu, kemajuan teknologi informasi telah menghadirkan tantangan baru, seperti praktik penyadapan dan penggunaan barang bukti digital, yang belum secara eksplisit diatur dalam KUHAP yang ada saat ini.

Tak hanya itu, dinamika kejahatan juga mengalami transformasi, di mana munculnya kejahatan transnasional dan terorganisir seperti perdagangan manusia, narkotika lintas negara, dan cybercrime membutuhkan instrumen hukum acara yang lebih adaptif dan responsif. KUHAP yang ada saat ini dianggap belum cukup memberikan ruang untuk penanganan efektif terhadap jenis-jenis kejahatan tersebut.

Di sisi lain, prinsip-prinsip peradilan modern, seperti fair trial dan due process of law, yang menekankan pada keadilan prosedural serta perlindungan hak-hak individu dalam proses hukum, belum sepenuhnya terakomodasi dalam sistem hukum acara pidana yang sekarang berlaku.

Oleh karena itu, hadirnya Rancangan Undang-Undang KUHAP (RUU KUHAP) menjadi langkah penting dalam upaya reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Pembaruan ini tidak hanya dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman, tetapi juga sebagai komitmen negara dalam mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih adil, akuntabel, dan sejalan dengan perkembangan global. RUU KUHAP diharapkan mampu menjadi fondasi hukum acara yang modern, berorientasi pada perlindungan HAM, adaptif terhadap teknologi, serta tanggap terhadap tantangan kejahatan masa kini.

Dalam kaitan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah memulai proses revisi terhadap KUHAP yang berlaku saat ini. Pada Februari 2025, DPR menyepakati RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai RUU inisiatif DPR.

Proses penyusunan draf dan naskah akademik diharapkan dapat segera diselesaikan agar KUHAP yang baru dapat berlaku bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1 Januari 2026 mendatang. Revisi KUHAP ini dianggap mendesak untuk segera dibahas agar dapat diselaraskan dengan KUHP yang baru, serta untuk menjamin keseimbangan keadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Analisis Materi Muatan RUU KUHAP

RUU KUHAP hadir sebagai langkah strategis dalam pembaruan hukum nasional yang bertujuan untuk menyempurnakan dan memperluas cakupan pengaturan yang terdapat dalam KUHAP sebelumnya (UU No. 8 Tahun 1981). Setelah lebih dari empat dekade diterapkan, KUHAP mengalami berbagai tantangan dalam merespons dinamika hukum, perkembangan teknologi, serta kebutuhan akan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.

RUU KUHAP menyempurnakan berbagai ketentuan penting yang selama ini menimbulkan multi-tafsir dan kesenjangan implementasi. Tidak hanya itu, RUU KUHAP juga memperluas cakupan dengan mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dalam proses peradilan pidana. Penggunaan bukti digital, mekanisme pemeriksaan saksi jarak jauh, hingga sistem administrasi peradilan berbasis elektronik kini menjadi bagian integral dalam upaya mewujudkan peradilan yang lebih efisien dan modern.

Di samping itu, penyempurnaan juga dilakukan terhadap struktur kelembagaan dan mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum. RUU KUHAP mengatur prosedur yang lebih ketat dalam hal penangkapan, penahanan, dan penggeledahan, sekaligus memberikan ruang partisipasi publik melalui penguatan kontrol yudisial terhadap proses hukum.

Dengan demikian, RUU KUHAP tidak hanya menjadi penyempurna dari segi normatif, tetapi juga mencerminkan semangat reformasi hukum pidana yang berpihak pada keadilan substantif dan perlindungan hak asasi manusia. Pembaruan ini diharapkan mampu menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih responsif, terpercaya, dan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.

Beberapa upaya penyempurnaan dan perluasan ketentuan penting dalam KUHAP sebelumnya, diantaranya :

Pertama, Kewenangan Penyidikan: Jika di KUHAP yang lama penyidikan terpusat pada Kepolisian maka di KUHAP yang baru bisa dilakukan oleh Lembaga lain dengan mekanisme hukum yang jelas. Jadi salah satu pembaruan penting yang patut disoroti adalah pengakuan serta penguatan terhadap peran penyidik independen di luar institusi kepolisian. Hal ini mencerminkan semangat reformasi sistem peradilan pidana yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan penegakan hukum yang profesional dan akuntabel.

Penyidik dari lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), yang sebelumnya kerap berada dalam posisi yang ambigu dalam sistem hukum acara pidana, kini diberikan kedudukan hukum yang lebih jelas dan kokoh. RUU KUHAP yang baru secara eksplisit mengakomodasi keberadaan dan kewenangan mereka, namun juga mengiringinya dengan mekanisme pengawasan yang lebih ketat. Langkah ini diambil sebagai bentuk komitmen untuk menjaga integritas proses penyidikan serta mencegah potensi penyalahgunaan wewenang.

Kedua, Mekanisme Pra-Peradilan: Jika di KUHAP yang lama, pra-peradilan terbatas (hanya pada aspek penangkapan /penahanan maka di RUU KUHAP yang baru diperluas hingga mencakup penetapan tersangka, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta tindakan penyitaan dan penggeledahan.

Perluasan objek praperadilan ini merupakan langkah progresif dan menjadi respons langsung terhadap kekhawatiran masyarakat serta praktik penyidikan yang kerap kali dinilai rawan penyalahgunaan kewenangan. Dalam praktiknya, penetapan tersangka yang dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, atau tindakan penyitaan dan penggeledahan yang tidak didasarkan pada prosedur yang sah, dapat merugikan hak-hak warga negara. Oleh karena itu, mekanisme praperadilan yang lebih luas ini diharapkan dapat menjadi alat kontrol yang efektif terhadap tindakan aparat penegak hukum, sekaligus memperkuat perlindungan terhadap hak asasi manusia dan prinsip due process of law.

Dengan dimasukkannya objek-objek tersebut ke dalam ruang lingkup praperadilan, RUU KUHAP yang baru mengusung semangat transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam proses hukum. Ini menunjukkan komitmen negara dalam menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, berimbang, dan menjamin perlindungan hukum bagi setiap individu.

Ketiga, Perlindungan Hak Tersangka dan Terdakwa: Di KUHAP yang lama hak hak tersangka memang sudah dikenal tetapi belum maksimal. Di RUU KUHAP yang baru, hak tersangka lebih eksplisit dan diperluas ( termasuk akses pendampingan hukum dan larangan penyiksaan).

Di RUU KUHAP yang baru, terdapat penguatan signifikan terhadap perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana. Salah satu poin krusial yang diatur adalah jaminan atas hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak tahap paling awal, yakni tahap penyelidikan. Hal ini mencerminkan komitmen negara dalam memastikan bahwa setiap orang yang berhadapan dengan hukum memiliki pendampingan hukum yang memadai, demi menjamin proses yang adil dan berimbang.

Lebih lanjut, RUU KUHAP juga secara tegas memberikan perlindungan terhadap hak untuk tidak disiksa. Ini berarti bahwa dalam setiap proses penegakan hukum, aparat dilarang keras melakukan tindakan kekerasan fisik maupun psikologis terhadap tersangka maupun terdakwa. Perlindungan ini sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang universal dan menempatkan martabat manusia sebagai nilai utama dalam proses peradilan.

Secara keseluruhan, pengaturan ini mencerminkan arah reformasi hukum acara pidana di Indonesia yang lebih berkeadilan, transparan, dan menghormati hak-hak dasar setiap individu, tanpa mengesampingkan tujuan penegakan hukum itu sendiri

Ke Empat, Sistem Peradilan Berbasis Elektronik: Jika di KUHAP yang lama soal digitalisasi tidak dikenal maka di RUU KUHAP yang baru diperkenalkan mekanisme elektronik sebagai bentuk respons terhadap perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan efisiensi dalam sistem peradilan pidana. Salah satu aspek penting dari pembaruan ini adalah penguatan legalitas terhadap penggunaan e-court (pengadilan elektronik) dan e-litigation (persidangan elektronik) dalam proses pidana.

Pengakuan terhadap sistem elektronik ini bukan hanya sebatas adaptasi terhadap era digital, tetapi juga merupakan kelanjutan dari praktik yang telah diterapkan secara luas selama masa pandemi COVID-19. Pandemi menjadi momentum percepatan digitalisasi di berbagai sektor, termasuk peradilan, yang mendorong penggunaan sarana daring (online) dalam penanganan perkara, seperti pelimpahan berkas, persidangan jarak jauh, hingga penetapan putusan secara elektronik.

Dalam konteks ini, RUU KUHAP mencoba memberikan dasar hukum yang lebih kuat dan komprehensif terhadap praktik peradilan elektronik yang sebelumnya bersifat terbatas dan belum sepenuhnya diatur dalam kerangka hukum acara pidana. Dengan demikian, legitimasi e-court dan e-litigation menjadi lebih jelas, tidak hanya dalam perkara perdata dan tata usaha negara, tetapi juga diterapkan dalam perkara pidana, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip peradilan yang adil, transparan, dan akuntabel.

Kelima, Penguatan Peran Korban: Dalam RUU KUHAP yang baru, terdapat penguatan signifikan terhadap peran dan kedudukan korban dalam proses peradilan pidana. Salah satu perubahan penting yang diusung adalah pengakuan hukum yang lebih kuat terhadap hak-hak korban, yang selama ini kerap terpinggirkan dalam sistem peradilan.

Melalui RUU KUHAP ini, korban tidak lagi hanya diposisikan sebagai pihak pasif, melainkan diberikan ruang untuk lebih aktif dalam setiap tahapan proses hukum. Korban berhak untuk mendapatkan pendampingan hukum yang memadai guna memastikan suara dan kepentingannya terwakili secara adil. Selain itu, korban juga memperoleh hak untuk menerima kompensasi atas kerugian yang dideritanya, baik secara fisik, psikis, maupun materiil.

Tak hanya itu, penguatan peran korban juga terlihat dari diberikannya hak untuk berpartisipasi langsung dalam persidangan. Ini mencakup hak untuk menyampaikan pendapat, memberikan keterangan, serta mengikuti jalannya proses hukum yang melibatkan dirinya. Dengan demikian, RUU KUHAP yang baru ini mencerminkan paradigma baru yang lebih humanis, inklusif, dan berpihak kepada keadilan substantif bagi semua pihak yang terdampak oleh tindak pidana.

Tinggalkan Balasan