Jakarta, LINews – Beberapa indikator makro antikorupsi menunjukkan isyarat yang positif di tengah gejala pesimisme publik akan pemberantasan korupsi. Realisasi investasi, menurut BKPM, mengalami peningkatan 42,1% dari tahun sebelumnya. Meningkatnya investasi dapat mencerminkan penurunan tingkat korupsi sehingga investor berani menempatkan uangnya.
Menguatnya kondusivitas perekonomian juga terlihat dari meningkatnya tiga komponen ekonomi dalam penghitungan CPI Indonesia 2021, yaitu Global Insight Country Risk Ratings, World Economic Forum EOS, dan IMD World Competitiveness Yearbook yang masing-masing meningkat 12, 7, dan 1 poin dari tahun sebelumnya. Meski secara keseluruhan skor CPI Indonesia masih di bawah rata-rata global, penguatan indikator ekonomi ini menunjukkan adanya optimisme antikorupsi di sektor perekonomian.
Indikator berikutnya adalah skor Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia yang selalu mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Per Agustus 2022, skor IPAK Indonesia adalah 3,93, naik dari 3,88 di tahun sebelumnya, dan dari 3,66 di 2017. Sebagai indeks yang menggambarkan tingkat toleransi masyarakat terhadap perilaku koruptif, kenaikan skor IPAK menjadi tanda masyarakat yang semakin antikoruptif.
Melengkapi ketiga indikator tersebut, PDB per kapita juga mengalami peningkatan. Menurut Bank Dunia, dengan PDB per kapita sebesar 4.291,8 USD, Indonesia saat ini semakin mantap meninggalkan status negara miskin dengan menjadi negara berpendapatan menengah. Indonesia sendiri menargetkan di usia kemerdekaan satu abad di 2045 nanti, menjadi salah satu negara kaya dunia.
Evolusi Korupsi
Namun, indikator makro antikorupsi yang disertai dengan kenaikan PDB ini justru patut menjadi perhatian. Menurut literatur, di antaranya studi Ali (2015) dan Graycar & Monahan (2015), semakin tinggi pendapatan suatu negara, karakteristik korupsi di negara tersebut juga turut berubah.
Korupsi di negara miskin pada umumnya berbentuk pemerasan dan penimbunan komoditas penting di lingkungan politik yang tidak stabil. Suap tunai terjadi secara kasat mata di berbagai sektor kehidupan, sebagai akibat dari lemahnya institusi publik. Sementara itu di negara maju, korupsi berubah bentuk menjadi konflik kepentingan yang dilegalkan, kolusi swasta dengan birokrasi, serta skandal keuangan korporasi yang terjadi dalam lingkungan demokratis. Korupsi di negara maju melibatkan nilai yang besar, pencucian uang yang kompleks, serta sulit dideteksi di permukaan.
Negara berkembang, sebagai negara yang sedang bertransisi dari negara miskin menuju negara maju, mengalami korupsi yang bersifat transisional juga. Korupsi konvensional di negara berkembang mungkin masih tampak namun tidak terlalu masif, sedangkan gejala korupsi modern sudah mulai muncul di permukaan. Pelarian kekayaan strategis negara ke sejumlah kecil pihak, khususnya dari sektor sumber daya alam, menjadi praktik yang lazim. Suap bereskalasi ke pejabat birokrasi di level yang lebih tinggi dalam rangka memuluskan keputusan-keputusan penting, sebagaimana mulai munculnya produk kebijakan yang pincang untuk melindungi konflik kepentingan. Sebagai variabel independen, lingkungan politik negara berkembang selayaknya juga mengarah ke demokratisasi secara penuh.
Beberapa indikator makro antikorupsi Indonesia yang menunjukkan angka yang positif patut diduga hanya menjadi isyarat dari semakin melemahnya korupsi konvensional saja. IPAK, misalnya, merupakan alat yang hanya mampu memotret perilaku korupsi kecil yang terjadi secara kasat mata di area pelayanan publik. IPAK belum mampu mengendus praktik koruptif di level yang lebih tinggi atau yang tersamar, sehingga tingginya skor IPAK belum bisa menjamin bersihnya birokrasi secara keseluruhan.
Fenomena munculnya suap yang sudah menyentuh level pejabat eselon I (misalnya suap izin ekspor CPO atau suap rektor), skandal keuangan korporasi (misalnya kasus Jiwasraya dan Asabri), serta pencucian uang yang rumit (misalnya kasus e-KTP)—yang kesemuanya memenuhi unsur korupsi transisional dan cenderung modern—memperkuat dugaan tersebut.
Langkah Antisipasi
Untuk mengantisipasi evolusi wajah korupsi seiring dengan perubahan penghasilan negara diperlukan langkah-langkah antisipasi yang komprehensif. Pertama, diperlukan strategi pemberantasan korupsi yang lebih modern. Langkah-langkah antikorupsi cenderung bersifat seragam secara global yang terkadang memerlukan penyesuaian kontekstual ketika diterapkan di suatu negara.
KPK sendiri, sebagai panglima pemberantasan korupsi di Indonesia, telah mencanangkan strategi trisula sebagai pendekatan baru. Sebagai bagian dari praktik global, strategi ini juga dapat ditemui di negara lain, sehingga memerlukan penyelarasan kontekstual agar dapat lebih efektif, misalnya dalam hal peningkatan kompetensi. Karena mayoritas kasus yang ditangani KPK sejak 2004 berupa kasus suap yang merupakan bentuk korupsi konvensional kompetensi KPK dalam hal penanganan kasus modern harus ditingkatkan.
Kedua, kualitas demokrasi perlu ditingkatkan. Meskipun indikator ekonomi dalam CPI Indonesia mengalami peningkatan, namun tidak demikian terhadap indikator demokrasi, Bertelsmann Transform Index dan Varieties of Democracy Project, yang justru mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan perekonomian belum diikuti dengan peningkatan kualitas demokrasi sebagai faktor penentu wajah korupsi.
Gejala pesimisme publik, misalnya yang tergambar dari rendahnya tingkat kepercayaan terhadap KPK dalam beberapa survei yang seharusnya dengan indikator makro antikorupsi memunculkan hal yang sebaliknya, patut menjadi perhatian. Demokratisasi yang terhambat dapat memicu lambannya evolusi korupsi yang terjadi: korupsi konvensional akan terus merajalela beriringan dengan korupsi transisional yang semakin marak. Jika lingkungan politik tidak dikelola dengan baik, pusaran korupsi transisional ini dapat menarik kembali negara tersebut ke dalam jurang kemiskinan.
(Darmawan Sigit Pranoto mahasiswa S2 Analisis Kebijakan Publik dan Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana FIA Universitas Indonesia)