Anwar Usman, Antara Guru, Tater Sampai Hakim

Anwar Usman, Antara Guru, Tater Sampai Hakim

Jakarta, LINews – Memasuki arena konstitusi  adalah saat-saat yang penuh tantangan berat bagi Anwar Usman. Baru tiga tahun menjabat sebagai Hakim, lembaganya digoncang oleh kasus hukum. Pimpinannya saat itu, Akil Mochtar, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi atas praktik lancung menerima suap dalam sejumlah sengketa pilkada. Sejak saat itu, kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konsitusi jatuh di titik terendah.

Kepemimpinan di Mahkamah Konsitusi  sempat membaik di era Hamdan Zoelva. Namun kembali menukik saat jabatan ketua diemban Arief Hidayat. Guru Besar Universitas Diponegoro itu tercatat melakukan pelanggaran etik sebanyak enam kali hingga puluhan professor mendesaknya untuk mundur. Sampai akhir jabatan, Arief tak pernah mengakui kesalahannya tersebut.

Runtuhnya kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi saat itu masih terasa sampai Anwar Usman menggantikan Arief Hidayat pada 2 April 2018. Melihat fenomena itu, Anwar yang tak pernah menyangka akan menjadi penjaga gawang UUD 1945 ini bertekad mengembalikan kepercayaan publik pada lembaga tinggi negara tersebut. Menelisik kasus ke belakang, Anwar menilai ada ketimpangan dalam keadilan terutama setelah mantan Ketua MK, Akil Mochtar dipidana. Akhirnya, ia bertekad untuk memperlakukan proses penegakan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu.

Menjadi Guru

Menjadi seorang Hakim Konstitusi, bukan berarti Anwar berlatar belakang pendidikan hukum. Sejak bangku sekolah, Anwar justru tumbuh di lingkungan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN)–sekolah lanjutan atas yang bertujuan mencetak tenaga pengajar–selama 6 tahun. Sebelum lulus di PGAN pada 1975, Anwar bersekolah di SDN 03 Sila, Bima hingga tahun 1969.

Selama di PGAN, Anwar tak lagi bersama keluarganya. Ia pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang berada di Desa Rasabou, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat. Di sini, kehidupan mandiri seorang Anwar mulai terbangun. “Sebagian hidup saya habiskan di perantauan,” kata Anwar.

Berpisah selama enam tahun dengan orang tua tak membuat Anwar kapok untuk merantau. Demi pendidikan dan pekerjaan, Anwar menyampaikan keinginan dia kepada ibu-bapaknya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Tujuan perantauan kali ini bukan lagi di daerah kepulauan Nusa Tenggara, melainkan di Pulau Jawa, tepatnya di Ibu kota Jakarta.

Pada tahun yang sama selepas lulus dari PGAN, ayahanda Anwar, (alm.) Usman A. Rahim dan Ibundanya Hj. St. Ramlah, merestui keinginan anaknya untuk merantau lebih jauh lagi. Sesampainya di Jakarta, hal pertama yang dilakukan Anwar adalah mencari pekerjaan. Ia kemudian diterima sebagai guru honorer di SD Kalibaru, Jakarta Utara.

Masa-masa menjadi guru dimanfaatkan oleh bapak tiga orang anak ini untuk berkuliah di Universitas Islam Jakarta. Uniknya, ia yang berlatar belakang sekolah guru tidak memilih jurusan pendidikan. Target pendidikan kali ini tertuju pada Fakultas Hukum. Padahal, ia menuturkan, teman-temannya yang dulu sesama murid PGAN kebanyakan memilih Fakultas Tarbiyah (pendidikan) dan Syariah (Hukum Islam) di Institut Agama Islam Negeri.

“Jarang yang memilih fakultas hukum. Akan tetapi, saya tidak melepaskan diri dari dunia pendidikan yang menjadi basic saya,” ujarnya. Anwar tercatat lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta pada tahun 1984.

Kegiatan di SD Kalibaru tak ia tinggalkan meski menyandang gelar sarjana hukum. Menurutnya, sekolah tempat ia mengajar tersebut terus mengalami perkembangan menjadi sebuah yayasan pendidikan dengan berbagai jenis dan tingkatan. Puncak karirnya di bidang widyaiswara adalah saat ia diangkat menjadi Ketua Yayasan hingga mengemban jabatan Hakim Konstitusi.

Menapaki Jalan Hakim

Prestasi Anwar adalah ia berhasil memanfaatkan sekolah pendidikan untuk diaplikasikan sebagai tenaga pengajar. Setelah itu, ia juga tak menyia-nyiakan gelar sarjana hukumnya untuk kemudian melenggang ke dunia peradilan. Berangkat dari dunia pendidikan, pada 1985 tiba saatnya bagi Anwar untuk menapaki jalan hakim.

Pria kelahiran Bima 31 Desember 1956 ini berhasil lulus dari seleksi calon hakim di Pengadilan Bogor. Berikutnya, Anwar juga menyecap sebagai hakim di beberapa daerah, seperti Pengadilan Negeri Atambua, Nusa Tenggara Timur dan Pengadilan Negeri Lumajang, Jawa Timur.

Anwar berkarir sebagai hakim di pengadilan negeri cukup lama, yakni 10 tahun. Setelah itu, suami dari Suhada (almh) ini berlanjut menaiki tangga karir hukum di Mahkamah Agung. Ia terpilih sebagai Asisten Hakim Agung pada pada 1997. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim, Anwar menyempatkan waktunya untuk melanjutkan kuliah magister di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM dan lulus pada 2001. Sembilan tahun kemudian, ia berhasil meraih gelar doktor Ilmu Hukum di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Pada 2003, Anwar diangkat menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung sembari bertugas sebagai Hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta. Jabatan di Mahkamah Agung ini ia emban sampai tahun 2006.

Lepas dari situ, Anwar kemudian didapuk menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung hingga tahun 2011. Naluri seorang guru yang tertanam dalam diri Anwar membuatnya dikenal sebagai hakim yang adil. Demikianlah yang beredar di kalangan para hakim ketika itu.

Memasuki Gelanggang Konstitusi

Tahun 2010 adalah saat di mana Anwar mulai merasakan titik puncak karirnya sebagai hakim. Tepat pada April di tahun tersebut, Anwar terpilih menjadi Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi. Ia dilantik langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan sebagai hakim di konstitusi ini tampaknya yang paling awet dari semua tingkatan hakim yang pernah ia lalui.

Anwar mengisahkan, sejak Mahkamah Konstitusi didirikan pada 2003 silam, ia kerap mengikuti perkembangan lembaga tersebut hingga dipimpin oleh Mahfud MD. Isu-isu terbaru yang dialami Mahkamah pengawal konstitusi ini tak pernah dibiarkan berlalu begitu saja. Semua ia pahami demi beradaptasi dengan lingkungan Mahkamah Konstitusi.

“Pak Ketua (Mahfud MD) langsung mengajak saya untuk ikut bersidang sesaat setelah saya mengucapkan sumpah di hadapan Presiden. Saya dengar dari teman-teman Kepaniteraan bahwa sidang di MK terkadang sampai tengah malam,” ungkapnya.

Karier Anwar terus melesat. Pada 2015, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Amanah ini ia pikul dari 2015 hingga 2018. Integritasnya dalam mengemban jabatan hakim membuatnya terpilih kembali sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua yakni April 2016 – April 2021.

Saat masa jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat berakhir, Mahkamah Agung mengusulkan nama Anwar sebagai calon ketua Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada dua dalam yang muncul dalam rapat pleno untuk pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi, yakni Anwar Usman dan Suhartoyo. Dalam pemungutan suara yang dilakukan sembilan hakim konstitusi, Anwar mendapat lima suara dan unggul satu suara dari Suhartoyo yang meraih empat suara.

Tepat pada 2 April 2018, Anwar pun ditetapkan sebagai ketua Mahkamah Konstitusi untuk periode 2018-2020. Ia dilantik dan disumpah di dalam sidang pleno khusus di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat dan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai perwakilan dari pemerintah. Selain Anwar Usman, hakim konsitusi lainnya yakni Aswanto dilantik sebagai Wakil Ketua.

Setelah duduk di kursi Ketua MK, Anwar Usman dihadapkan pada tantangan mengembalikan kepercayaan pulik terhadap lembaga tersebut yang tercoreng akibat ulah hakim konstitusi Akil Mochtar. Selang empat tahun, lembaga itu kembali dikotori oleh Patrialis Akbar yang terjerat kasus suap pengurusan uji materi UU Peternakan. Terakhir adalah mantan Ketua MK Arief Hidayat yang disebut-sebut melanggar kode etik.

Untuk mengembalikan kepercayaan publik, Anwar memandang penegakan hukum dan keadilan harus diterapkan pada siapapun tanpa pandang bulu. Hal ia buktikan dalam persidangan sengketa Pilpres 2019 antara pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pemohon sengketa yang menuding adanya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Mahkamah Kontitusi saat itu menolak seluruh dalil permohonan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dengan demikian, kegaduhan politik atas pilpres 2019 dapat diredam. Berikutnya Mahkamah Konstitusi juga membatalkan hasil Pilkada 2020 yang ditetapkan KPU Kalimantan Selatan dan mengabulkan pemungutan suara ulang di tujuh kecamatan di Kalsel, serta pembatalan status Orient Riwu Kore sebagai bupati terpilih Sabu Raijua, NTT yang memiliki kewarganegaraan ganda.

Posisi Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan Anwar lebih berani karena menunjukkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan atau kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum tata negara. Perlahan-lahan, kepercayaan publik terhadap MK pun mulai naik kembali.

Tak Setuju dengan Amandemen 1945

Isu Amandemen UUD 1945 belakangan menggema kembali terutama setelah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR Bambang Soesatyo menyinggung soal perlunya Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang bersifat filosofis sebagai arahan dalam pembangunan nasional. Hal itu ia sampaikan dalam Sidang Tahunan MPR 16 Agustus 2021 lalu.

MPR menyatakan akan ada beberapa perubahan dalam pasal konsitusi secara terbatas. Namun, seturut dengan itu, isu mengenai masa jabatan presiden tiga periode ikut menumpang dalam wacana amandemen ini. Tak sedikit pihak yang menduga bahwa amandemen hanyalah kendaraan untuk menambah masa jabatan presiden.

Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelumnya menyatakan bahwa Amandemen UUD 1945 bertujuan untuk merancang kembali rumusan norma dalam Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Namun, dalih tersebut tak begitu dipercayai oleh pihak yang menentang rencana tersebut.

Anwar Usman menilai wacana Amandemen UUD 1945 yang digulirkan kali ini tidak tepat. Alasannya, situasi kebatinan bangsa saat ini jauh berbeda dengan keadaan di masa reformasi. Masyarakat saat ini lebih memikirkan tentang kepastian kesehatan dan ekonomi akibat pandemi yang masih berkecamuk.

“Bergulirnya wacana perubahan UUD 1945 kali ini memiliki situasi kebatinan yang berbeda dengan kehendak perubahan UUD 1945 pada saat terjadinya reformasi 1997-1998,” kata Anwar.

Ia menjelaskan, pada saat reformasi, aktor utama yang menghendaki adanya Amandemen UUD 1945 adalah rakyat sendiri. Saat itu, rakyat menginginkan adanya perubahan dengan beberapa tujuan seperti menciptakan negara dengan prinsip tata kelola yang baik serta untuk mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.

Adapun wacana Amandemen UUD 1945  yang saat ini bergema, menurut Anwar, adalah aspirasi yang terkesan disampaikan oleh beberapa pihak tertentu. Lebih jauh ia menyebutkan suara itu cenderung datang dari sejumlah wakil rakyat yang tengah menjabat di Senayan.

Di tengah situasi sulit sekarang, Anwar meminta agar para politisi Senayan mengedepankan kepekaan moral dan sensitivitas sosial dalam merespons berbagai wacana tersebut.

“Para wakil rakyat yang saat ini tengah mengamban amanah dituntut memiliki kepekaan moral dan sensitivitas sosial agar nilai, niat, dan upaya untuk melakukan perubahan dapat dipahami oleh seluruh warga negara,” kata dia.

Menurut Anwar, perubahan sekecil apapun yang dilakukan politisi terhadap konstitusi akan memiliki dampak yang sangat signifikan bagi tatanan sosial dan politik. Bola liar amandemen yang terus digulirkan bukan tak mungkin malah akan menimbulkan gejolak di masyarakat.

“Oleh karena itu, ketika berbicara tentang konstitusi dan perubahannya haruslah melingkupi cakrawala yang luas dan mendalam,” tandasnya.

Anwar mengingatkan, yang perlu disadari oleh para politisi adalah, meski mereka memiliki legitimasi untuk mengusulkan dan melakukan Amandemen UUD 1945 secara normatif, namun legitimasi moral tetap berada pada rakyat sebagai pemangku utama dalam prinsip negara demokrasi.

(Vhe)