Arief Hidayat Langgar Etik Rendahkan Martabat MK

Arief Hidayat Langgar Etik Rendahkan Martabat MK

Jakarta, LINews — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Hakim Konstitusi Arief Hidayat melanggar etik karena dianggap merendahkan martabat MK lewat pernyataannya di ruang publik.

“Hakim terlapor terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, prinsip kepantasan dan kesopanan sepanjang terkait pernyataan di ruang publik yang merendahkan martabat Mahkamah Konstitusi dan menjatuhkan sanksi teguran tertulis,” ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie membacakan amar putusan MKMK, Selasa (7/11) petang.

Dugaan pelanggaran kode etik itu terkait dengan narasi ceramah dalam konferensi hukum nasional di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan wawancara dalam tayangan podcast di Medcom.id. Dalam kesimpulan yang dibacakan Jimly, MKMK memandang Arief terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang terkait dengan pernyataan di ruang publik yang merendahkan martabat MK.

Sementara itu, atas dissenting opinion-nya terkait putusan MK tentang syarat batas usia minimal capres-cawapres, MKMK menyatakan Arief tak terbukti melanggar etik.

“Memutuskan menyatakan hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sepanjang terkait pendapat berbeda (dissenting opinion),” ujar Jimly membacakan amar Putusan nomor 4/MKMK/L/11/2023 tersebut.

Terkait pelaporan ini, MKMK berpendapat seorang hakim konstitusi diberi ruang membahas dari sudut pandang yang berbeda pada dissenting opinion-nya dalam sebuah putusan. Apabila itu tak terkait pokok perkara, seperti membahas dari perspektif prosedural yang berkaitan dengan hukum acara pun dinilai tak masalah.

“Berdasarkan pada temuan fakta dan hukum, MKMK menilai hakim konstitusi Arief Hidayat tidak dapat dikatakan melanggar kode etik yang disebabkan materi muatan pendapat berbeda (dissenting opinion),” ujar anggota MKMK Bintan R Saragih saat membacakan pertimbangan dalam putusan tersebut.

Meskipun demikian, MKMK menyoroti polah Arief Hidayat saat menjadi pemateri sebuah acara dengan busana hitam yang dinilai mengikis kehormatan kelembagaan. Pun, MKMK menyoroti soal pernyataan Arief mengenai wawancara yang menyatakan seluruh hakim MK harus diganti (reshuffle) termasuk dirinya.

“Berdasarkan pertimbangan di atas, Arief hidayat terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, prinsip kepantasan, dan kesopanan,” kata Bintan membacakan naskah putusan itu.

Sebelumnya, Jimly menyatakan MKMK menerima 21 laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim MK terkait putusan syarat batas usia capres-cawapres. Seluruh putusan atas permohonan itu dibacakan MKMK pada Selasa petang ini.

Saat membuka sidang pembacaan putusan MKMK pada Selasa ini, Jimly mengatakan seluruhnya akan dibaca secara berurutan dengan disederhanakan jadi empat putusan.

“21 laporan yang menyangkut 9 hakim terlapor. Tapi untuk kepentingan praktis kami jadikan 4 putusan,” kata Jimly kala membuka sidang.

Jimly mengatakan putusan pertama adalah yang terlapornya adalah semua hakim konstitusi, kemudian putusan dengan terlapor Ketua MK Anwar Usman, putusan dengan terlapor Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan putusan MKMK dengan terlapor hakim konstitusi Arief Hidayat.

“Cuma untuk kepentingan komunikasi kami akan baca kolektif dulu, baru yang terakhir [putusan] Anwar Usman,” kata Jimly di pembukaan sidang.

Dari 21 laporan itu, Anwar Usman menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan, yaitu 15 laporan.

MKMK telah membacakan dua putusan dengan terlapor sembilan hakim konstitusi dan terlapor Saldi Isra.

MKMK memutuskan sembilan hakim MK melanggar etik secara kolektif terkait kebocoran informasi dalam proses Rapat Permusyawartan Hakim (RPH). Pada putusan yang kedua, MKMK memutuskan Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku terkait disenting opinion-nya.

Pada putusan terkait Arief, MKMK sebelumnya memeriksa dia secara tertutup terkait laporan masyarakat atas Putusan MK Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Sejumlah bukti dan fakta-fakta juga telah dikumpulkan sebagai dasar penjatuhan sanksi ini.

Merujuk pada peraturan MK Nomor 1 pasal 41 tahun 2023 tentang MKMK terdapat tiga jenis sanksi pelanggaran yang diberikan kepada Hakim Konstitusi yang terbukti melanggar etik.

Sanksi berupa teguran lisan atau tertulis untuk pelanggaran etik ringan dan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat untuk pelanggaran etik berat.

Pada Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian perkara Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah.

Dalam gugatannya, Almas memohon agar syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Putusan itu menjadi polemik karena dinilai sarat konflik kepentingan. Laporan masyarakat yang menduga ada pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara itu pun bermunculan.

(Adrian)

Tinggalkan Balasan