Bermanuver dan Kangkangi Konstitusi

Bermanuver dan Kangkangi Konstitusi

Oleh : Pitra Romadoni Nasution (Ketua Kongres Pemuda Indonesia)

Jakarta, Law-Investigasi – Perdebatan penundaan pemilu kembali terulang setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan dengan Nomor Pokok Perkara 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst yang pada intinya, majelis hakim memutuskan untuk menunda pelaksanaan tahapan Pemilu 2024. Tepatnya pada poin ke-5 amar putusan tersebut berbunyi: Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan, dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Putusan ini tentunya akan kembali menimbulkan konflik berkaitan penundaan pemilu yang sebelumnya mencuat diakibatkan transisi pandemi Covid-19, pembangunan megaproyek IKN yang menghabiskan ratusan triliun, sampai kepada gerakan penguasa oligarki yang sangat bernafsu menguasai dan memanfaatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat.

Kompetensi Absolut

Menyoal kompetensi absolut dari sebuah lembaga peradilan di Indonesia sangatlah penting untuk dipahami. Kompetensi absolut dapat diartikan sebagai kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut objek, materi, atau pokok suatu sengketa. Berkenaan dengan kompetensi ini, bisa saja sebuah lembaga peradilan (lingkup Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi) untuk menolak suatu perkara apabila tidak sesuai dengan kewenangan sebuah pengadilan untuk mengadili suatu pokok perkara.

Berkenaan dengan pokok perkara No 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst, awal mula permasalahan muncul ketika Partai Rakyat Adil Makmur Prima) hendak melakukan proses verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu yang kemudian ditetapkan dalam rekapitulasi hasil verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu, namun sialnya hasil yang diterima oleh pihak tergugat (Partai Prima) dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).

Secara eksplisit akan berakibat kepada partai tersebut tidak bisa mengikuti tahapan pemilu selanjutnya berupa verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu. Sehingga pihak Partai Prima melaporkan KPU sebagai pihak tergugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas tindakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang tentunya merugikan hak-hak tergugat dalam bentuk materiil ataupun non materiil secara perdata.

Menilik pada pokok permasalahan ini, menurut hemat saya tindakan untuk mengajukan gugatan tidak tepat jika dibawa ke ranah perdata. Mengapa demikian? Pemilu merupakan ajang pesta demokrasi secara ketatanegaraan, artinya pemilu masuk sebagai kategori hukum publik dan bukan ranah hukum privat.

Pada dasarnya Pengadilan Negeri bisa saja menolak perkara ini, dan kemudian melimpahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sesuai dengan ketentuan Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha dapat diartikan bahwa:

Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili persoalan penetapan pasangan calon, penetapan dukungan partai politik dan lain sebagainya sepanjang dibuat dalam bentuk surat keputusan pejabat tata usaha negara. Atau melimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi sesuai amanah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa: Tugas Mahkamah Konstitusi sebagaimana juga kewenangan Mahkamah Konstitusi, antara lain menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.

Pembangkangan Konstitusi

Diaminkannya Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst di Pengadilan Jakarta Pusat oleh majelis hakim merupakan suatu pembangkangan konstitusi, terlebih pada bunyi putusan poin 5 yang menyatakan: Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan, dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Keputusan seperti ini tentunya sangat menyalahi kodrat Pengadilan Negeri dalam mengadili sengketa pemilu. Implikasi akibat putusan yang dijatuhkan hakim pada poin 5 tidak hanya menyangkut Partai Prima sebagai pihak penggugat dalam perkara, melainkan seluruh partai yang telah dinyatakan lulus pada tahap seleksi verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu juga turut terdampak.

Putusan aneh di mana objek gugatan secara perdata, namun putusan yang dibacakan menghukum semua partai secara keseluruhan. Harusnya putusan perdata hanya menyangkut individu dengan individu, tetapi dalam hal ini menyangkut secara keseluruhan. Sehingga menurut hemat saya, akan lebih tepat jika kompetensi absolut jatuh kepada PTUN untuk mengadili perkara tersebut.

Hakim sangat dinilai emosional melalui putusan yang dibacakan, tanpa kembali melihat dampak yang ditimbulkan nantinya. Sejatinya agenda pemilu sebagai pesta panggung rakyat, sebagai sarana pengalihan kekuasaan yang sah sesuai dengan ketatanegaraan, termaktub dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

Menunda pemilu artinya melanggar konstitusi; penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden secara teoritis hanya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui amandemen konstitusi, dekrit presiden, dan konvensi ketatanegaraan. Maka berkaitan dengan putusan Pengadilan Negeri yang menangani perkara tersebut dapat kita kesampingkan, dan batal demi hukum, karena secara tegas dan lugas telah melangkahi konstitusi sebagai norma aturan tertinggi dan tidak ada kewajiban sedikit pun untuk melaksanakannya. Meskipun nantinya putusan ini sudah bersifat inkracht (berkekuatan hukum tetap).

Berjalan Lurus

KPU sebagai pihak tergugat hendaklah terus fokus dalam mempersiapkan agenda Pemilu 2024 mendatang, sembari upaya hukum banding yang wajib untuk dilaksanakan agar putusan ini dapat dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi. Putusan yang dikeluarkan seperti ini bisa memancing kontroversi yang dapat mengganggu konsentrasi pihak berwenang dalam proses pelaksanaan pemilu (KPU), yang ditakutkan sebagian oknum mempolitisasi seakan putusan yang dikeluarkan benar sehingga harus dipatuhi keberadaannya.

Pada akhirnya kita memahami bahwa masih ada sebagian kalangan yang menginginkan pemilu sebagai proses impeachment yang dihalalkan oleh dinamika ketatanegaraan untuk ditunda pelaksanaannya. Keberlangsungan pemilu harus terus kita kawal sampai pada 2024 mendatang, karena bisa saja secara cepat pengaruh penundaan kembali datang di mana saja, kapan saja, dan berbagai cara agar dilakukan penundaan tersebut.

Evaluasi

Sebagai Pengadilan Negeri pada tingkat pertama yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung, menjadi catatan besar untuk selalu dilakukan pengawasan terhadap setiap produk-produk putusan yang dikeluarkan oleh hakim. Putusan aneh bin ajaib jika nantinya luput dari perhatian akan berakibat fatal terhadap stabilitas hukum dan politik di negara ini.

Tak hanya Mahkamah Agung, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (PMKH) sebagaimana yang bunyi dari Pasal 24B ayat (1), juga harus mengawasi setiap muatan produk putusan yang dikeluarkan oleh hakim, tidak terbatas kepada isu PMKH (Putusan Majelis Kehormatan Hakim) yang berkembang di tengah masyarakat pencari keadilan.

Tentunya agar tidak terjadi hal yang terulang kembali yang dapat meresahkan masyarakat, maka hendaknya para hakim selalu diberikan pelatihan-pelatihan untuk kembali mengasah ilmu dan mental dalam menangani suatu pokok perkara, dan terkhususnya putusan ini dapat dikaji melalui upaya eksaminasi agar mendapatkan pembelajaran untuk masa yang akan datang.

Tinggalkan Balasan