Boleh Expor CPO Asal Sawit Rakyat

Boleh Expor CPO Asal Sawit Rakyat

Jakarta, LINews – Bukan karena takut disidak oleh gubernur karena hari pertama kerja, bukan. Tetapi itulah hari pertama sesungguhnya dampak pelaksanaan larangan ekspor CPO melalui permendag 22/2022. Sebelum pemberlakuan resmi pun memang dampaknya sudah sangat dashyat. Libur panjang lebaran serasa menunda dampak tersebut dimana para petani tidak melakukan panen TBS.

Permendag 22 menyebutkan larangan sementara. Apa mampu kebijakan sementara, mau menyelesaikan masalah minyak goreng yg tidak sementara (permanen).

“Saya melihat bahwa pemendag ini tindakan jangka pendeklahya, sedangkan utk tindakan jangka panjangnya sedang dikaji dan disusun” Ucap Henry Marpaung, Wakil Ketua Bidang Peningkatan SDM Petani  DPW Apkasindo Sumatera Utara.

Kebijakan pelarangan ekspor ini sudah pasti berdampak pada produsen minyak goreng karena pengalihan besar besaran CPO yang harusnya diekspor menjadi harus “dikelola” di dalam negeri.

Dengan segera dibutuhkan tanki timbun minimal sebanyak kapasitas yang sekarang, perlu waktu dan pemahaman baru untuk mengkonsolidasi proses bisnis dari selama ini sudah stabil. Mengurangi bahkan menghentikan pembelian CPO dari PKS bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, bahkan penghentian pembelian TBS dari rakyat sangat logis terjadi kalau tanki timbun PKS sudah penuh (atau alasan penuh), bahkan di medis sosial sudah sering terlihat surat dari PKS yang sudah mengurangi  pembelian.

Siapa yang menjadi korban pertama, saya coba petakan para produsen dalam rantai pasok minyak goreng berdasarkan kerentanan (ketahanan penyimpanan hasil dan resiko harga).

Mulai dari jenis produsen bahan baku minyak goreng  yg paling fatal resikonya yaitu:

1. Petani swadaya murni penghasil Tandan Buah Segar (TBS). TBS secara normal hanya bertahan 2 hari harus dijual utk diolah lebih lanjut. Bagi petani jenis ini tidak ada alternatif lain. Resiko ketidakpastian harga juga tinggi karena tidak ada kontrak kemitraan pada PKS.

Petani petani yg mengeluh turun harga sampe 60  persen pada masa transisi sebelum pelarangan ekspor kemaren ada masuk kategori no 1 ini. dari sisi ekonomi keluarga sangat tergantung pada hasil sawitnya. jamak juga ditemui para petani jenis ini sudah berutang pada tokenya.

2. Petani Plasma/kemitraan. petani jenis ini relatif lebih aman walau pun tidak aman aman betul. karena sudah ada perjanjian kemitraan dengan PKS wajib membeli TBSnya denga harga yg disepakati (Ref ke Permentan 1 tahun 2018).

Tapi jika berkepanjangan pelarangan ekspor, Cpo di tanki timbun tidak tersalurkan makan bisa terjadi resiko tidak dapat menjual TBS dan tidak melakukan panen. secara agronomis penundaan panen akan mempengaruhi produksi berikutnya.

3. Kebun perusahaaan tanpa PKS. jenis ini resikonya mirip no 2 karena sudah memiliki kontrak penjualan.

4. PKS tanpa kebun. penghasil CPO. masih bisa menahan CPO pada tanki timbun kira kira 2 bulan dengan perlakuan tertentu. Jika CPOnya tertahan, maka masih bisa mengurangi resiko dengan tidak membeli TBS

5. PKS terafiliasi kebun sendiri. penghasil CPO juga mirip dengan no 4 tetapi tidak boleh menolak TBS dari kebun sendiri.

6. Pabrik minyak goreng. dari sisi penyimpanan hasilnya masih bisa disimpan tahunan. dari resiko harga dipaksa diharga yg dipatok pemerintah.

Momentum Perbaikan Tata Kelola Sawit Rakyat, Melonggarkan ekspor dengan mengijinkan sawit rakyat adalah pilihan strategis. Menaikkan harga TBS sekaligus dapat memaksa perbaikan tata kelola sawit rakyat. Ini momentum mereformasi semua kepemilikan dan teknis budidaya.

Analisa Dengan perbaikan tata kelola teknis budidaya besar-besaran dalam jangka menengah (5 tahun – 10 tahun) dapat menambah supply TBS dipasar sekitar 20–30% dari produksi  saat ini dengan peningkatan produktifitas sawit rakyat jika mendekati pengelolaan sawit perusahaan tanpa menambah luas lahan.

Jangan lupa juga Kita mememliki UU No 19 tahun 2013 tentang perlindungan petani dimana pemerintah berkewajiban menyalurkan hasil produksi petani tentunya termasuk petani sawit.

Melindungi petani sebenarnya adalah kewajiban pemerintah, Ada memang masalah dalam penentuan siapa sawit rakyat. Tetapi justru ini waktunya untuk pembenahan besar besaran sesuai UU 39 tahun 2014 tentang perkebunan.

Mobilisasi semua pemda pemda itu untuk mendata dan membuat STDB (surat tanda daftar budidaya). Sebagai informasi STDB adalah semacam KTPnya sawit rakyat, berbeda dengan perusahaan harus memiliki Ijin Usaha Perkebunan. Mobilisasi pembentukan koperasi-koperas/lembaga petani sawit dan pelatihan pelatihan petani secepatnya dengan menggunakan sumberdaya yang ada di BPDPKS.

Akan ada juga masalah dari teknis penentuan yang mana CPO yang berasal dari sawit rakyat dan bias diekspor, tapi itu perkara mudahlah. Banyak referensi yang dapat digunakan seperti sistem keseimbangan bahan (mass balance) dimana fisik CPO dari sawit rakyatnya tidak harus terpisah.

Para eksportir dan PKS akan berlomba mencari TBS rakyat dengan harga patokan internasional, para petani. Biaya kesempatan nilai ekspor yang hilang karena kisruh minyak goreng dapat kita balikkan menjadi nilai tambah bagi ekonomi kerakyatan dan pemerataan ekonomi. Konsumen minyak goreng pun akan dapat pasokan bahan baku dari perusahaan perusahaan yang telah berproduksi efesien itu.

Saya sendiri percaya Bapak presiden bukan anti ekspor bahkan beberapa kali mencanangkan perlunya ekspor beberapa komoditi lain. Namun kali agak berbeda kasusnya, beliau harus menjaga rakyatnya yang menjadi konsumen minyak goreng, tapi kan produses sawit juga adalah rakyatnya yang harus beliau perhatikan.

Dengan kebijakan ekspor CPO yang berasal dari sawit rakyat, malah ini bukan solusi sementara lagi tetapi Solusi jangka Panjang. Kepastian makin tinggi, kebijakan tidak berubah ubah lagi, dan yang pasti para pengusaha minyak goreng tidak bias lagi berdalih kan nanti para petani juga yang akan teriak teriak soal kebijakan larangan ekspor itu.

Narasumber : Henry Marpaung