Law-Investigasi – Lembaga Pengembangan Ekspor Indonesia (LPEI) lembaga yang sedianya berfungsi sebagai pendorong ekspor nasional. Namun, justru kabar korupsi yang kerap terdengar dari lembaga ini. Sekalipun kerap terpapar isyu korupsi, lembaga ini termasuk langganan disuntik modal PMN oleh pemerintah. Kredit macet yang terjadi di lembaga ini pun tergolong masih besar. Modus pembobolan cukup sederhana, Komisi Pemberantasan Korupsi ungkap sindikat pembobol duit pengembangan ekspor ini.
Pada kinerja pembiayaan LPEI 2024 sebesar Rp 56,2 triliun, masih menyisakan kredit bermasalah sebesar Rp 26 triliun. Sisanya, sebesar Rp30,2 triliun termasuk kredit lancar. Komposisi itu berbalik membaik dibanding pembiayaan 2023 sebesar Rp 73,8 triliun yang didominasi kredit bermasalah sebesar Rp 44,1 triliun. Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI Yon Arsal menjelaskan saat ini pengelolaan portofolio macet ini ditangani khusus sendiri oleh unit di bawah LPEI.
“Untuk tahun lalu kinerjanya cukup baik bisa kita recovery Rp 3 triliun,” tukasnya
Namun, maraknya kredit dan pembiayaan mecet di lembaga ini membuat Menkeu Sri Mulyani gerah. Sri Mulyani Indrawati melapor ke Kejaksaan Agung soal korupsi LPEI pada 18 Maret 2024. Perusahaan yang diduga mendapat kredit dengan cara menyimpang adalah PT RII, PT SMR, PT SMI, dan PT BRS. Dari kredit macet yang ada di LPEI, kemudian terungkap kalau ini merupakan fraud yang sengaja menjadi modus untuk membobol dana segar yang sedianya untuk membantu pengembangan ekspor ini.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan fraud pemberian kredit dari LPEI ke sejumlah debitor diduga sudah dirancang dari proses perencanaan. Sebab, modusnya berkutat pada pemukatan jahat antara pimpinan LPEI dengan direksi perusahaan. “Sekelas LPEI seharusnya bisa melihat riwayat pembayaran pinjaman dari calon debitornya. Kasus LPEI ini kan jelas bagaimana tidak baiknya catatan keuangan dan piutang dari perusahaan tersebut,” kata Bhima kepada Law-Investigasi, Jumat (4/4/2025).
Temuan BPK dan KPK ihwal adanya catatan buruk soal pembayaran pinjaman atau non performing loan, kata Bhima seharusnya menjadi pegangan bagi LPEI untuk mempertimbangkan pemberian fasilitas kredit. Jika kinerja keuangan dan riwayat pembayaran pinjaman tidak menjadi acuan LPEI, maka sudah jelas muara kepentingannya untuk korupsi berjemaah.
“Mekanisme pertimbangan pemberian pinjaman tidak berjalan dari sisi LPEI karena memang diatur untuk penyimpangan,” tutur dia.
Bhima mengatakan modus mengakali catatan keuangan dan riwayat pinjaman dalam kasus LPEI merupakan hal jamak yang dilakukan dalam sektor pembiayaan. Seperti halnya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, laku korupsi dilakukan dengan cara mengakali dokumen yang melibatkan antara pemengang uang dan penerima uang.
“Modus paling mudah dilakukan saat proses perencanaan yang menghitung lolos atau tidak lolosnya syarat debitor menerima kredit,” ucapnya.

Dugaan lemahnya mekanisme pencairan kredit yang berujung pada bancakan, sempat diendus oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam laporan 2019, auditor menemukan indikasi adanya masalah pengelolaan pembiayaan debitur. Rujukan BPK pada rasio pembiayaan macet atau non-performing finance (NPF) yang saat itu sejumlah debitur mencapai sebesar 10 persen. Nilai ini melampaui batas maksimal NPF osesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yaitu sebesar 5% dari total pembiayaan.
Kata laporan BPK, nilai NPF ini mengakibatkan penurunan nilai aset produktif pembiayaan karena besarnya Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), dan terjadi gagal bayar atas fasilitas pembiayaan yang berkualitas rendah. Selain itu, auditor negara juga menemukan indikasi pemberian fasilitas pembiayaan belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Akibatnya terjadi pelanggaran covenant oleh debitur. Ditambah LPEI tidak bisa mengetahui kinerja perusahaan debitur. Adapun covenant adalah persyaratan pembiayaan yang ditentukan LPEI dan disetujui debitur dalam perjanjian pembiayaan untuk melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu selama fasilitas pembiayaan berjalan.
Lebih dari itu, BPK pun mengungkapkan penatausahaan agunan belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Sebab, nilai pasar agunan pembiayaan pada debitur NPF tidak dapat meng-cover outstanding pembiayaan.
“Hal ini mengakibatkan agunan tidak dapat menjadi second way out, sebagaimana diatur dalam manual pembiayaan LPEI, ketika debitur tidak dapat melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian pembiayaan,” petik laporan BPK.
Modus Kredit, Rekayasa Underlying
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap adanya sindikat yang secara konsisten dan terstruktur membobol kas LPEI. Tak tanggung-tanggung, perkiraan sementara, kerugian negara mencapai Rp 11,7 triliun. Lebih dari 20 persen dana yang dimiliki lembaga ini. Adapun nilai kerugian negara diperkirakan tembus Rp 11,7 triliun. Total kerugian triliunan itu hasil akumulasi dari pemberian kredit menyimpang terhadap sebelas debitor. Saking banyaknya debitor yang terlibat, Komisi Antirasuah pun membagi kasus dalam sejumlah kluster penyidikan. “Kami perlu pecah dalam beberapa kluster untuk kepeluan penyidikan,” kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, Jumat (4/4/2025).
Perlu diketahui, penyidikan korupsi LPEI oleh KPK sudah berjalan sejak setahun lalu. KPK sebenarnya sudah mendapati laporan dugaan korupsi pemberian fasilitas pinjaman Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia pada 10 Mei 2023. Namun, alur berubah ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melapor ke Kejaksaan Agung soal korupsi LPEI pada 18 Maret 2024. Perusahaan yang diduga mendapat kredit dengan cara menyimpang adalah PT RII, PT SMR, PT SMI, dan PT BRS.
Ihwal penyidikan itu, Kejaksaan Agung menyerahkan kasus LPEI kepada KPK pada Agustus 2024. Sehingga KPK yang semulanya hanya mengusut tiga debitor bermasalah, yaitu PT Petro Energy, PT Sakti Mait Jaya Langit, dan PT RII, kini mendapat tambahan kasus dari subjek berbeda. Selain PT Petro Energy dan PT Sakti Mait Jaya Langit, ada PT RII, PT SMR, PT SPV, PT PRSP, PT GHCI, PT MAJU, PT GCBJ, PT RSPI, dan PT PASU.
Sebelum adanya kesepakatan dengan Kejagung–pada pertengahan 2024–persisnya bulan Juli, pimpinan KPK menetapkan tujuh tersangka. Enam di antaranya berstatus eks pejabat LPEI yang sempat duduk di kursi direksi pada 2009 dan 2014. Mereka adalah Direktur Eksekutif LPEI Ngalim Sawega, Direktur Pelaksana I Dwi Wahyudi, Direktur Pelaksana IV Arif Setiawan, Direktur Pelaksana II Basuki Setyadjid, Kepala Divisi Pembiayaan I Kukuh Wirawan, dan Direktur Pelaksana V Omar Baginda Pane.
Adapun Kukuh menjabat sebagai Pelaksana Tugas Direktur Pelaksana IV LPEI setelah menggantikan posisi Arif Setiawan pada 2019. Sementara itu, seorang tersangka lagi adalah pihak swasta yang membawa bendera PT Sakti Mait Jaya Langit bernama Hendarto. Ketujuh tersangka tersebut yang disebut KPK dalam kluster pertama kasus LPEI. Meski begitu, Asep Guntur belum merespons peranan tujuh tersangka dan modus korupsinya.
Komisi Antirasuah mengumumkan perkembangan penyidikan kasus LPEI kluster kedua. Kali ini perusahaan yang diduga membancak pinjaman LPEI adalah PT Petro Energy. Lima orang lantas ditetapkan menjadi tersangka lima tersangka. Dua di antaranya berstatus tersangka pada penyidikan tahap pertama, yaitu Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan. Sedangkan, tiga tersangka baru adalah Direktur Keuangan PT Petro Energy Susy Mira Dewi Sugiarta, Presiden Komisaris PT Petro Energy sekaligus Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal, Jimmy Masrin, dan Presiden Direktur PT Petro Energy Newin Nugroho.
Asep Guntur mengatakan para tersangka diduga kongkalikong agar LPEI memudahkan pengucuran kredit untuk PT Petro Energy. Menurut dia, sudah ada kesepakatan di awal sebelum akhirnya dana pinjaman dicairkan.
“Diduga telah terjadi benturan kepentingan,” tuturnya.
Penyidik mengungkap pemberian kredit ternyata bermasalah. PT Petro Energy diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice yang kemudian diserahkan kepada LPEI sebagai dasar pencairan pinjaman. Bukan hanya itu, korporasi juga dituduh memanipulasi laporan keuangan. Di sisi lain, tak berjalan pula pengawasan LPEI atas penggunaan kredit tersebut. Akibatnya, pemberian kredit ini merugikan negara kira-kira US$ 60 juta. Ada upaya meloloskan pemberian kredit padahal status perusahaan tidak layak mendapat pinjaman,“ kata Asep.

Padahal, secara prinsip LPEI merupakan lembaga negara yang memberi fasilitas pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi kepada eksportir. Keberadaan lembaga itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2019 tentang Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional. Aturan main pemberian kredit mengharuskan pada prinsip kehati-hatian dan tata kelola lembaga yang baik.
Dalam kluster yang melibatkan Petro Energy ini, KPK sudah menahan Jimmy Masrin dan Susy Mira Dewi Sugiarta. Mereka diduga sebagai pemegang kuasa untuk pengajuan kredit kepada LPEI.
Belakangan, PT Sakti Mait dinyatakan pailit pada 20 Februari 2024. Informasi ini tercatat dalam situs elektronik pengumuman kepailitan atau e-LIT Pengadilan Negeri Surabaya.
PT Petro Energy juga tak mampu melunasi utangnya karena pailit pada 29 Juni 2020. Pembayaran cicilan utang mereka tersendat sejak 2016. Salah satu pemicunya adalah kongsi bisnis PT Petro Energy dengan PT Kutilang Paksi Mas yang diklaim tak menguntungkan. Padahal PT Kutilang Paksi Mas turut mendapat kucuran dana dari LPEI sebesar Rp 400 miliar melalui PT Petro Energy. Penghubung dua perusahaan ini adalah Presiden Direktur PT Petro Energy Newin Nugroho yang kini menjadi tersangka korupsi LPEI. PT Petro Energy ditengarai menggunakan fasilitas kredit dari LPEI tak sesuai dengan perjanjian awal.
Dalam kasus korupsi LPEI, KPK mengungkap ada kode “uang zakat” yang dipakai para tersangka untuk memberi suap. Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo menerangkan, debitor memberi suap kepada direktur LPEI yang telah menyetujui pemberian fasilitas kredit. Jatah “uang zakat” diduga sebesar 2,5-5 persen dari total kredit yang dicairkan.
KPK masih menelusuri para penikmat suap tersebut. “Ada indikasi kuat aliran kickback kepada beberapa oknum penyelenggara di LPEI,” kata juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto.
Perbaikan Performa yang Mencurigakan
Yon mengungkapkan Non Performing Financing (NPF) baru di kisaran 0.02% dari debitur onboard sejak tahun 2020. Di tahun 2024, LPEI juga berhasil menurunkan NPL gross menjadi 29,1% dari tahun sebelumnya yang mencapai 43,5%, serta mencatat penurunan NPL net dari 14% menjadi hanya 4,5%. LPEI juga mencatatkan kinerja yang positif dari sisi non finansial dengan meningkatnya jumlah Desa Devisa yang mencapai 1.845 desa dengan berbagai komoditas ekspor unggulan, tumbuhnya 1.097 eksportir baru, pelatihan kepada lebih dari 6.000 pelaku UKM berorientasi ekspor, serta menyelenggarakan 85 business matching bagi pelaku usaha Indonesia.
Melalui program pelatihan, pendampingan, dan business matching, LPEI menunjukkan keseriusannya dalam mendukung pertumbuhan UKM Indonesia. Secara menyeluruh, LPEI juga berperan aktif dalam membantu para debiturnya untuk dapat memperluas pasar ekspor ke lebih dari 180 negara, termasuk ke pasar ekspor non tradisional sehingga mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor tradisional dan meningkatkan diversifikasi pasar ekspor.
Sementara itu, Anggota Komisi XI dari Partai Gerindra Kamrussamad menyoroti kondisi yang terjadi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sedang didera kasus fraud fasilitas kreditnya hingga mengalami kerugian yang membengkak. Atas dugaan fraud tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menelaah tiga dari enam debitur LPEI yang diduga terindikasi fraud. Ada indikasi kerugian sekitar Rp3,45 triliun pada debitur LPEI berinisial PT PE, PT RII dan PT SMYL. Dengan kondisi tersebut, Kamrussamad mengatakan bila LPEI menjadi warisan atau legacy buruk bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Faktor lainnya adalah karena ada bisnis yang kurang kompetitif.
“Inikan jadi warning sebenarnya dan ada bisnis yang kurang kompetitif,” kata Kamrussamad kepada Law-Investigasi, Kamis (03/04/2025).
Politisi Partai Gerindra tersebut menyatakan bila permasalahan fraud di LPEI yang belum selesai ini tentu harus menjadi sorotan. Ia mendorong bila LPEI perlu untuk melakukan perbaikan dan manajemen resiko untuk mengurai permasalahan yang ada didalamnya.
“Masih ada kasus kredit macet belum terselesaikan. Kasus fraud juga belum terselesaikan,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan polemik yang terjadi di LPEI, Anggota Komisi VI DPR RI Muhammad Husein Fadlulloh sempat memberikan kritik pada LPEI. Hal tersebut karena pemberian PMN seharusnya hanya diberikan ke badan usaha milik negara (BUMN) yang berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi dan devisa negara. Seperti diketahui bila kondisi LPEI memang masih ada kredit macet yang belum terselesaikan dan jumlah utang yang banyak pada perusahaan tersebut.
“PMN diberikan untuk mendukung program pemerintah, bukan untuk bayar utang atau kredit macet. Pemberian PMN 90 persen itu untuk penugasan. Makanya, syarat pertama itu penugasan, sisanya sekitar 15-20 persen untuk aksi korporasi,” kata Husein ketika dikonfirmasi, Jumat (04/04/2025).
Kejahatan yang dilakukan para pembobol LPEI ini mesti diganjar dengan hukuman maksimum. Selain merusak sendi perekonomian, dengan merusak potensi ekspor terutama UMKM, patut diduga kejahatan ini pun dilakukan di masa pandemi Covid19. Akibat dari pembobolan ini, negara bahkan harus kembali menyuntikkan dana segar sejumlah Rp5 triliun ke lembaga ini.
Pemberian PMN ke lembaga yang sarat fraud ini, seperti menggarami lautan. Tanpa perbaikan yang signifikan di internal LPEI, maka penyaluran dana masih rawan menjadi bahan bancakan. Apalagi, kini, masih ada sekira 20 persen pinjaman dan pembiayaan yang masuk kategori macet. Tak heran, jika sempat marak desakan agar lembaga ini dibubarkan saja. Selain karena opearionalnya tak tepat sasaran, ternyata lembaga ini telah menjadi sarang korupsi dan arena bancakan.
(R. Simangunsong)