Law-Investigasi
Kasus Pengerukan, Potensi Kerugian Negara Rp 500 M
Kasus dugaan korupsi terkait pengerukan alur pelayaran di empat pelabuhan sedang diusut. KPK menyebutkan nilai proyek yang menjadi bancakan korupsi itu mencapai setengah triliun rupiah.
“Total nilainya sekitar Rp 500-an miliar karena ada 8 paket pengerukan di dalamnya,” kata juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto saat dikonfirmasi, Selasa (23/7/2024).
Anggota Komisi III DPR RI Santoso, berharap Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dapat membongkar sejumlah kasus korupsi yang sedang ditangani. Terkait dengan dugaan kasus korupsi proyek pengerukan alur pelayaran di 4 Pelabuhan, Santoso mengaku tidak terlalu tau merinci soal kasus tersebut.
Meski begitu, Santoso mendesak kepada KPK untuk membongkar kasus dugaan korupsi yang saat ini sedang ditangani. Menurutnya, mesti ada tindakan cepat dari KPK untuk meningkatkan kepercayaan publik pada KPK. “Kita berharap KPK dapat membongkar kasus yang saat ini sedang ditangani,” kata Santoso, Jumat (26/07/2024).
Politisi Partai Demokrat itu menegaskan tindakan korupsi yang dilakukan oleh sejumlah oknum di berbagai instansi tentu sangat merugikan masyarakat. Untuk itu ia menyatakan bila setiap tindakan dugaan kasus korupsi harus dihukum secara setimpal. “Perilaku oknum yang menyengsarakan rakyat harus di hukum seberat-beratnya,” ujarnya.
Penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pengerukan alur pelayaran di sejumlah pelabuhan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memantik pertanyaan soal keterlibatan menteri perhubungan dalam kongkalikong proyek tersebut. Sebab, rentang waktu korupsi proyek yang sedang disidik sejak Juli ini antara 2015-2017. Adapun pada periode 2015-2016, Menteri Perhubungan dijabat Ignatius Jonan dan dilanjut hingga kini oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan sembilan tersangka tanpa menyebut gamblang identitas mereka. Komisi antirasuah hanya menyebut para tersangka terdiri dari enam orang penyelenggara negara dan sisanya pihak swasta yang terlibat dalam proyek pengerukan itu. Namun, dari penelusuran Law-Investigasi, terduga tersangka adalah Adiputra Kurniawan selaku pengusaha, David Gunawan selaku pengusaha, Iwan Setiono Phoa selaku pengusaha.
Dari sisi penyelenggara negara adalah Sunarso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Ihsan Ahda Tanjung selaku PPK, Aditya Karya selaku PPK, Herwan Rasyid selaku PPK, I Gede Astawa Prama Artha selaku PPK, Otto Patriawan selaku PPK, dan Sapril Imanuel Ginting selaku PPK. Untuk terduga tersangka bernama I Gede Astawa Prama dikabarkan telah meninggal dunia. Sejumlah tersangka ini pula, telah dicekal tim penyidik bepergian ke luar negeri selama 6 bulan ke depan sejak Mei 2023.
Nama-nama yang diduga ditetapkan sebagai tersangka itu tidak asing jika menilik kembali kasus dengan objek hukum serupa yang pernah diusut KPK pada 2017. Adiputra Kurniawan yang sempat berstatus Komisaris PT Adhiguna Keruktama divonis empat tahun penjara lantaran terbukti memberi suap kepada Dirjen Perhubungan Laut pada Kementrian Perhubungan, Antonius Tonny Budiono untuk memuluskan jalan perusahaannya sebagai pememang di sejumlah proyek. Mulai dari proyek pengerukan alur pelayaran di Pelabuhan Pulang Pisau, Kalimantan Selatan dan Pelabuhan Samarinda Kalimantan Timur pada 2016 dan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Tanjung Emas Semarang pada 2017. Tonny Budiono juga divonis bersalah dengan hukuman penjara lima tahun.
Selain itu, Adiputra dan Tonny terlibat dalam penyelewengan izin pengerukan untuk rekanan Adiputra yaitu PT Indominco Mandiri dalam proyek pengerukan di Bontang Kalimantan Timur dan PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkitan (UJP) PLTU Banten terkait pekerjaan pengerukan di Lontar Banten serta pekerjaan pengerukan di Tanjung Emas Semarang. Dalam fakta persidangan, total suap yang masuk ke Tonny dari Adiputra mencapai Rp2,7 miliar.
Dengan kata lain, penyidikan KPK yang sedang berlangsung merupakan pengembangan dari kasus serupa sebelumnya. Hanya saja, KPK menambahkan satu objek hukum baru yaitu, korupsi pengerukan alur pelayaran di Pelabuhan Benoa periode 2014 hingga 2016.
Menukil LPSE Kementerian Perhubungan, nama Adhiguna Kerukutama tercatat sebagai perusahaan yang kerap menang proyek pengerukan alur pelayaran di sejumlah pelabuhan sejak 2013. Saat itu, Adhiguna mendapat proyek senilai Rp45 miliar untuk pengerukan alur pelayaran di Tanjung Emas. Sedikitnya, perusahaan itu telah menggarap empat proyek dengan total nilai dari Rp230 miliar sampai 2017. Seluruh proyek Kementeran Perhubungan yang dimenangkan Adhiguna Kerukutama berasal dari dana APBN.
Merujuk proyek yang sedang disidik KPK di Pelabuhan Tanjung Emas pada periode 2015-2017, Adhiguna Keruktama memenangkan dua tender dengan total pagu proyek sebesar Rp117 miliar. Di proyek pengerukan di Pelabuhan Samarinda memenangkan satu tender dengan total anggaran negara Rp81 miliar. Dan Rp68 miliar untuk proyek keruk di Pelabuhan Pulang Pisau.
Adiputra Kurniawan menjabat komisaris di perusahaan itu sejak 2013. Dalam fakta persidangan diungkap bahwa Adiputra sudah lama mengenal Tonny Budiono, bahkan sejak Tonny masih berstatus Direktur Direktur Pelabuhan dan Pengerukan di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan pada 2015. Relasi keduanya berawal ketika Adiputra mendatangi Tonny untuk meminta saran tentang masalah tender proyek agar bisa menang. Tonny lantas menjawab normatif agar perusahaan Adiputra memenuhi segala persyaratan dan kualifikasi tender.
Setahun kemudian, relasi keduanya makin cair menyusul Tonny mendapat jabatan baru sebagai Dirjen Perhubungan Laut. Pada saat itu lah, lobi gencar dilakukan Adiputra hingga akhirnya memberi suap kepada Tonny berupa kartu ATM yang berisi saldo banyak. Tonny sejak saat itu mulai intervensi sejumlah proyek yang diinginkan Adhiguna Kerukutama.
Dalam fakta persidangan, nama-nama terduga tersangka yang kini diincar KPK juga sempat menjadi saksi bagi Tonny dan Adiputra, seperti Sapril Imanuel Ginting. Dia adalah PPK KSOP Kelas V Pulang Pisau yang menandatangani kontrak proyek di Pelabuhan Pulang Pisau dengan nilai kontrak Rp60 miliar lebih. David Gunawan selaku Dirut Adhiguna Keruktama, juga ikut menandatangani proyek bermasalah itu.
Ginting mengaku menerima ATM berisi ratusan juta dari Otto Patriawan yang saat itu berstatus Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas V Pulang Pisau, sekaligus kuasa pemegang anggaran proyek. Kartu ATM berasal dari Adiputra yang diberikan ke Otto sebagai bentuk suap dan Ginting bilang menggunakan uang dari ATM itu sebesar Rp200 juta. Dalam sidang, dia katakan sudah mengembalikan uang itu kepada KPK. Begitu pun Otto, yang mengambil Rp200 juta dari ATM dan mengklaim sudah mengembalikan.
Bicara soal dugaan keterlibatan dua menteri perhubungan sebelumnya, sidang sempat memanggil Menhub Budi Karya Sumadi sebagai saksi bagi Tonny Budiono. Budi mengklaim bukan sebagai pemegang kuasa dalam proyek pengerukan alur pelayaran di sejumlah pelabuhan. Sebab, wewenang penuh di bawah Dirjen Perhubungan Laut. Budi juga mengklaim tidak mengenal Adiputra dan perusahaannya serta tak mengetahui adanya ATM yang diberikan Adiputra sebagai bentuk suap pemulusan proyek. Sedangkan, Ignatius Jonan tak pernah menjadi saksi dalam sidang kasus itu. Namun, bekas staf ahlinya yang bernama Hadi Djuraid disebut Tonny dan Adiputra dalam sidang menerima uang Rp1 miliar untuk pengaturan dalam proyek di Pelabuhan Tanjung Emas.
(Vhe/Rey)