“Caleg Gagal”

“Caleg Gagal”

Jakarta, LINews – Pemilu sudah dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Saat ini KPU sedang melakukan rekapitulasi suara (15 Februari – 20 Maret 2024). Meskipun rekapitulasi belum selesai ternyata banyak calon anggota legislatif (caleg) mengalami stres, karena berdasarkan data Sirekap mereka sudah dipastikan gagal merebut kursi legislatif.

Tak bisa dipungkiri, jalan pintas seseorang untuk mendapatkan kehormatan, mengangkat martabat atau meningkatkan status sosial, gaji dan tunjangan yang besar, dan kekuasaan ialah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Semua itu adalah mimpi dari sebagian atau bisa dikatakan mayoritas rakyat Indonesia. Jadi wajar, setiap musim pemilu mayoritas rakyat dari berbagai kalangan dan profesi akan mencoba peruntungannya dari mulai tukang becak, tukang parkir, pengusaha, aktivis, pengacara, pengangguran, sampai mantan narapidana korupsi, kejahatan seksual, dan kekerasan pun tak mau ketinggalan momentum.

Merujuk data KPU untuk Pemilu 2024 ada sebanyak 9.917 orang mencalonkan diri sebagai anggota DPR dengan rincian 6.241 laki-laki, dan 3.676 perempuan. Mereka akan memperebutkan 580 kursi di Senayan.

Sementara untuk calon anggota DPD se-Indonesia ada 668 orang. Mereka akan memperebutkan empat kursi di masing-masing provinsinya. Sedangkan untuk calon anggota DPRD Provinsi jumlah total kursi se-Indonesia yang diperebutkan adalah 2.372 kursi. Lalu, jumlah kursi di Kabupaten/Kota total se-Indonesia sebanyak 17.510 kursi. Kursi tersebut akan diperebutkan oleh para caleg yang jumlahnya tentu tidak sedikit.

Butuh Modal

Data yang saya sampaikan menunjukkan bahwa tidak mudah untuk mendapatkan kursi legislatif; mereka harus bersaing dan setidaknya harus memiliki tiga modal utama.

Pertama, ongkos politik. Untuk meraih kursi anggota legislatif tidaklah murah.

Laporan Prajna Research Indonesia misalnya yang mengatakan calon anggota DPR harus menyiapkan modal Rp 1 – 2 miliar; calon anggota DPRD Provinsi Rp 500 juta – 1 miliar; dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota Rp 250 – 300 juta.

Ongkos ini untuk mencetak alat peraga kampanye (spanduk, baliho, bendera, umbul-umbul, dan lain sebagainya sesuai aturan KPU), konsumsi, pasang iklan, koordinasi tim kampanye, sewa kantor, dan memobilisasi masyarakat yang sudah memiliki hak pilih.

Kedua, popularitas. Uang saja tidaklah cukup untuk memenangkan hati rakyat, para calon legislatif harus juga memiliki popularitas. Artinya, calon harus memiliki modal sosial seperti para artis yang terjun ke dunia politik. Namun, popularitas akan kalah dengan modal yang ketiga yakni elektabilitas.

Political Dictionary mengatakan ada beberapa hal yang mempengaruhi elektabilitas di antaranya atribut pribadi (karismatik, kredibilitas, kepercayaan), posisi dalam hal ini ideologinya apa, pengalaman (rekam jejak dan prestasi), persepsi publik.

Belajar dari Sun Tzu

Jika tidak memiliki salah satu modal tersebut, kita setidaknya harus bisa mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri sebelum melihat kekuatan dan kelemahan lawan seperti apa yang dikatakan Sun Tzu. Kenali diri sendiri, kenali lawan; maka kemenangan sudah pasti di tangan. Kenali medan pertempuran, kenali iklim; maka kemenangan akan sempurna.

Ini penting, sebab pertarungan memperebutkan kursi itu sangatlah ketat dan “berkeringat”. Caleg harus mengetahui apa yang bisa ia “jual” saat menyapa para pemilih. Dan, ia harus juga memetakan lawan-lawannya, kekuatan dan kelemahan apa yang dimiliki. Seorang caleg juga harus menentukan langkah-langkah yang diperlukan. Contoh berkoalisi dengan caleg sesama partai (DPR dan DPRD atau dengan DPD) yang berbeda tingkatan.

Kemudian, memahami medan pertempuran atau daerah pemilihan (dapil). Ini untuk menentukan “senjata” dan pasukan apa yang meski di pakai. Caleg tidak boleh “berhadapan” langsung dengan kekuatan lawannya. Semaksimal mungkin ia haruslah menghindari kekuatan lawan. Kata Sun Tzu: Pasukan itu ibarat air. Agar bisa mengalir, dia harus menghindari tempat tinggi dan mencari tempat rendah. Oleh karenanya hindarilah kekuatan dan serang kelemahan lawan.

Renungkan

Oleh karena itu, jika ingin terpilih menjadi anggota legislatif, maka harus memiliki semua modal dan strategi yang telah saya tulis di atas. Jika tidak, maka caleg besar kemungkinan akan stres seperti yang sudah beredar dan ramai di media sosial aksi calon anggota legislatif yang meminta kembali uang yang dibagikan kepada pemilih, ada juga yang mencabut paving block, yang lebih ekstrem lagi yakni membongkar kuburan disebabkan gagal mendapat kursi.

Ironisnya, hal tersebut terus terjadi di setiap pemilu pasca Reformasi. Sistem proporsional terbuka memang memberi kesempatan yang sama untuk semua orang. Nomor urut tidak berpengaruh pada tingkat keterpilihan. Yang terpenting ketiga modal tadi dan menentukan strategi yang efektif dan efisien. Mereka yang tidak lolos dan stres biasanya hanya bermodalkan nekat dan berpikir uang bisa mengubah segalanya tidak terkecuali pilihan.

Alhasil, banyak calon yang menjual atau menggadaikan surat-surat berharganya. Hasil dari penjualan atau pegadaian tersebut dibagi-bagi ke pemilih sebelum waktu pencoblosan atau biasa kita sebut serangan fajar.

Oleh karenanya, mereka yang sudah habis-habisan mengeluarkan ongkos politik akan stres jika tidak terpilih, sebab mereka berpikir dengan mengeluarkan uang banyak, maka tingkat keterpilihannya semakin besar. Dan, jika sudah terpilih, maka akan meraup kembali uang yang telah dikeluarkan dengan berbagai cara.

Ternyata harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Uang yang seharusnya untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, habis begitu saja dibagi-bagikan ke para pemilih. Dan, fakta di lapangan semua calon yang memberikan uang dan lain sebagainya akan diterima dengan senang hati oleh para pemilih.

Sayangnya pemberian uang dan lain sebagainya dari si caleg tidak linier dengan keterpilihan. Sebab, para pemilih saat ini tidak mau asal memilih atau asal memberikan mandat kepada orang yang tidak memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas. Oleh karenanya, banyak yang gagal dan stres.

(*)

Tinggalkan Balasan