Jakarta, Law-Investigasi – Tahun 2023 akan segera berlalu berganti dengan tahun 2024 yang sebentar lagi akan tiba. Pergantian tahun baru kali ini terasa istimewa khususnya dikalangan mereka yang mencalonkan diri sebagai calon penguasa. Karena diawal tahun 2024 nanti, tepatnya tanggal 14 Pebruari, mereka yang mencalonkan diri sebagai pejabat dilingkungan legislatif dan eksekutif bakal ditentukan nasibnya.
Tahun 2024 akan segera tiba, tetapi apa yang terjadi selama tahun 2023 tidak begitu saja hilang dari ingatan kita. Di tahun 2023 ini banyak peristiwa politik terjadi yang menandai perjalanan demokrasi di Indonesia.
Wajah demokrasi kita sepertinya memang tidak jauh berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. Wajah demokrasi yang sudah mengarah pada sistem otoritarian meskipun belum sempurna. Meminjam istilah profesor politik dari Universitas Warwick, Inggris, Colin Crouch, wajah demokrasi macam begini disebut sebagai masyarakat post democracy. Yaitu masyarakat yang memiliki dan menggunakan seluruh institusi demokrasi, tetapi demokrasi hanya berkembang di permukaan sebagai formalitas belaka.
Apa indikator yang bisa digunakan untuk mengukur buruknya kondisi pelaksanaan demokrasi di Indonesia?, Benarkah kondisi memburuknya demokrasi di Indonesia itu sebagai dampak dari munculnya oligarki dalam perpolitikan di Indonesia?
Kemunduran Demokrasi
Diakui atau tidak perkembangan demokrasi di Indonesia akhir akhir ini mendapat predikat buruk yang tercermin dari berbagai peringkat indeks demokrasi global yang dikeluarkan oleh beberapa Lembaga ternama.
Dalam kaitan tersebut, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melaporkan posisi Indonesia pada indeks demokrasi global yang diterbitkan The Economics Untelegence Unit.
Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BKSDN) Kemendagri, yang diwakili Sekretaris Kurniasih mengatakan bahwa pada tahun 2023 ini, indeks demokrasi Indonesia mencatat skor 6,71.Pernyataan itu disampaikannya dalam Forum Diskusi Faktual Pemenuhan Hak Pilih Kelompok Rentan pada Pemilu Serentak 2024 secara virtual, Senin (21/2/2023).
Ia mengatakan bahwa skor ini masih sama dengan tahun sebelumnya.Namun peringkat demokrasi Indonesia turun dari posisi 52 ke 54 pada tahun ini.“Pada Februari 2023 berada pada peringkat 54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Skor ini sama dengan indeks demokrat di tahun 2021. Namun peringkat indonesia turun dari 52 ke 54,” kata Kurniasih.
Dengan peringkat itu, lanjut dia, Indonesia masuk ke dalam kategori negara flawed democration atau demokrasi cacat.“Indonesia masih masuk dalam kategori flawed democation atau demokrasi cacat atau demokrasi belum sempurna,” tuturnya.
Beberapa indikator dapat dikemukakan yang mengindikasikan bahwa kehidupan demokrasi akhir akhir ini di Indonesia semakin memburuk saja. Mengacu pada ciri kematian demokrasi sebagai diteorikan oleh dua orang professor Harvard (Daniel Ziblatt dan Steven Levistky, 2018), maka tanda-tanda memburuknya demokrasi itu mulai nampak gejalanya, diantaranya:
Pertama, Mengotak Atik Aturan Demokrasi Disesuaikan dengan Kepentingan Penguasa. Salah satu contoh mulai dilanggarnya aturan main demokrasi itu adalah derasnya wacana untuk masa jabatan presiden tiga periode yang sebelumnya dua periode saja. Munculnya wacana masa jabatan presiden tiga periode merupakan bentuk pelanggaran terhadap pembatasan kekuasaan karena saat ini penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua kali saja.
Kabarnya adanya wacana presiden tiga periode itu sebenarnya diminta sendiri oleh presiden yang sekarang berkuasa. Menjelang Pilpres 2024 ini, muncul lagi isu tentang perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Isu ini diungkit kembali oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Hasto menyatakan ada sejumlah ketua umum (ketum) partai yang menyebut bahwa jabatan presiden tiga periode ini merupakan permintaan `Pak Lurah`.Dia mengaku mendengar itu dari seorang menteri yang kebetulan ditemuinya ketika nyekar ke Makam Bung Karno di Blitan. Menteri yang tak disebutkan namanya itu mengungkap bahwa berdasarkan big data, cukup banyak pihak yang mendorong masa jabatan presiden menjadi tiga periode, dikutip dari detik.com.
“Sebelumnya saya bertemu dengan menteri tersebut, dan dikonfirmasi bahwa sikap-sikap ketua umum beberapa partai yang menyuarakan itu. Saat itu dikatakan ya sebagai permintaan Pak Lurah, kami mendengar itu,” ungkap Hasto, Jumat (27/10/2023).
Namun, Hasto menegaskan bahwa partainya berkomitmen tunduk pada konstitusi dan tidak menerima wacana perpanjangan jabatan presiden lebih dari dua periode.”Maka kemudian karena PDIP ini juga lahir dengan suatu semangat untuk membangun demokrasi yang sehat, yang taat pada konstitusi, maka PDIP bersama rakyat Indonesia memilih untuk tegak lurus pada konstitusi. Itu sikap yang diambil oleh PDIP,” tegas Hasto.
Isu permintaan `Pak Lurah` ini pun memicu berbagai reaksi. Hasto menyadari hal tersebut. Namun Hasto memastikan bahwa informasi yang ia sampaikan ini bisa dipertanggungjawabkan.”Jadi berbagai upaya yang dilakukan berbagai Ketum, saat itu yang saya dapat informasinya, ini bisa dikroscek. Saya pertanggung jawabkan secara politik hukum dan juga di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan rakyat Indonesia, bahwa itu memang ada,” kata dia.
Akhirnya menjadi jelas bahwa meskipun presiden tiga periode melanggar ketentuan yang ada namun ada pihak pihak tertentu yang menjadi pendukung penguasa begitu getol memperjuangkannya. Seolah olah apa yang diperjuangkan merupakan hal yang mulia pada hal ia menyalahi ketentuan hukum yang ada dan juga etika demokrasi politik yang seharusnya di jaga bersama.
Kedua, Berupaya Menyingkirkan Lawan Lawan Politik. Mereka yang sedang berkuasa akan berupaya untuk terus mempertahankan kekuasaannya. Salah satu caranya adalah dengan berusaha menyingkirkan orang orang yang tidak sejalan dengan garis politiknya. Atau berusaha untuk merangkul mereka agar bisa berjalan seiring sejalan dengannya.
Dalam kaitan tersebut, presiden yang sekarang berkuasa diduga telah menggunakan alat negara untuk menyingkirkan lawan lawan politiknya atau memaksa orang orang yang tidak sejalan dengan garis politiknya agar merapat kepadanya.
Fenomena tersebut paling tidak terungkap dalam pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa ia punya data intelijen lengkap soal situasi dan arah dukungan partai politik. Pernyataan ini disampaikan Presiden saat membuka Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, Sabtu (16/9/2023).
Nampak disini bahwa parpol telah menjadi target operasi intelijen diduga atas titah penguasa dengan cara-cara yang bertentangan dengan undang-undang negara.Pada hal seperti diketahui, parpol merupakan elemen penting sebuah negara demokrasi. Prinsip intelijen merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi kepada presiden yang terkait dengan ancaman terhadap keamanan nasional bukan yang lainnya. Hal ini disebutkan Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Oleh karena itu pernyataan Jokowi tersebut mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) terhadap alat-alat keamanan negara untuk tujuan politik presiden yaitu untuk menyingkirkan atau merangkul orang orang yang tidak sejalan dengan kepentingan politiknya. Dengan menggunakan informasi dari intelijen itu, Jokowi bisa memaksa lawan lawan politiknya khususnya ketua ketua umum Partai Politik untuk tunduk kepadanya atau menyingkirkan mereka yang tidak menuruti kemauannya.
Ketiga, Toleransi Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Masalah. Penggunaan cara cara kekerasan masih terus dipamerkan pada tahun 2023. Salah satu cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah terjadi pada peristiwa konflik agraria di kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam yang menimbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah dan PT. Makmur Elok Graha.
Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tersebut berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah warga yang lama mendiami pulau tersebut. Baca Juga Duduk Perkara PSN Pulau Rempang yang Picu Bentrok Aparat dan Warga Secara singkat, gesekan terjadi akibat warga menolak relokasi untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City.
Proyek yang masuk ke dalam Program Strategis Nasional (PSN) ini akan menggusur 16 kampung tua yang berada di lingkungan proyek. Padahal warga setempat telah tinggal secara turun-temurun di lokasi tersebut. Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan.
Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat. Konflik Rempang ini kemudian memunculkan isu hak tanah, hak asasi manusia serta kepentingan pemerintah ad Perwakilan warga Rempang sempat melakukan aksi demonstrasi di Kota Batam, alih-alih suara mereka didengarkan, aksi demonstrasi warga disambut tindakan represif oleh aparat keamanan.
Komnas HAM dalam temuannya menyebut ada indikasi pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik Rempang. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin Siagian mengungkapkan bahwa konflik agraria sulit selesai jika masih menuruti kepentingan kepentingan di bawah tangan.
Keempat, Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia Semakin Sempit.Ancaman kriminalisasi melalui sejumlah pasal dalam UU ITE, UU KUHP, hingga UU Penodaan Agama masih mengintai masyarakat sipil. Hal ini dianggap menurunkan kualitas demokrasi dan kian mengkhawatirkan.
Ruang gerak publik untuk berserikat, berekspresi, dan berpendapat di Indonesia dinilai semakin sempit. Berbagai ancaman masih kerap terjadi akibat regulasi yang multitafsir. Hal ini membuat pelanggaran hak masyarakat sipil seolah legal dan patuh hukum.
Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), selama Januari 2022 hingga Juni 2023, ada sedikitnya 183 pelanggaran kebebasan berekspresi mulai dari serangan fisik, digital, penggunaan perangkat hukum, hingga intimidasi. Adapun peristiwa itu telah menyebabkan 967 orang ditangkap, 272 korban luka-luka, dan 3 tewas.
Menurut data dari Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dan analisis majalah tersohor di Inggris, The Economist, yang menyatakan kinerja demokrasi Indonesia stagnan. Skor Indonesia tetap di angka 6,71 dan belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed democracy).
Data Freedom House juga menunjukkan penurunan angka dari 59/100 pada 2022 menjadi 58/100 pada 2023. Penyempitan ketersediaan ruang publik menjadi penyebab rendahnya nilai tersebut. Dalam kondisi ini, Indonesia juga belum bisa memperbaiki situasi dengan keluar dari klasifikasi negara yang tergolong sebagian bebas (partly free).
Sementara itu Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah berpandangan, penyempitan kebebasan publik memang kian mengkhawatirkan. Kelompok-kelompok yang kerap menyuarakan persoalan seputar HAM, lingkungan, antikorupsi hingga kritik terhadap suatu kebijakan pemerintah rentan mendapatkan ancaman.
Iklim demokrasi di Indonesia seharusnya semakin baik seiring berjalannya waktu. Namun, sejumlah regulasi masih berpotensi untuk mengkriminalisasi publik seperti sejumlah pasal dalam UU ITE, UU No 1/2023 tentang Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama).
Dibawah Kendali Oligarki?
Memburuknya kondisi demokrasi di Indonesia sebagaimana dikemukakan diatas sepertinya tidak terlepas dari adanya kekuatan oligarki yang saat ini kembali menggurita di Indonesia setelah tumbangnya orde baru (orba).
Dalam sebuah tulisannya, Wijayanto Direktur Center for Media and Democracy, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan (LP3ES) mengatakan salah satu penyebab utama kemunduran demokrasi di Indonesia adalah kekuatan oligarki yang cepat terkonsolidasi setelah Reformasi 1998 terutama sejak 2019 di satu sisi dan di sisi lain tergesa-gesanya masyarakat sipil untuk berkonsolidasi dan bersaing dengan mereka.
Menurut Jefrey Winters, sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto sang penguasa Orba. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto saat itu berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok para jenderal, kelompok pribumi da penguasa etnis Tionghoa.
Para oligarki yang kelebihan ekonominya mampu menebar pengaruh di berbagai lini kehidupan, tak terkecuali dalam dunia perpolitikan Indonesia. Berbagai cara dilakukan oleh mereka untuk menguasai dunia politik di negara kita diantaranya :
Pertama, Menguasai Partai Politik. Dalam suatu kesempatan, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pernah menyatakan bahwa untuk menguasai partai politik di Indonesia kaum oligarki ini cukup merogoh kantong tak lebih dari 1 triliun rupiah jumlahnya. Sehingga jika jumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen hanya berjumlah 9 partai, maka untuk menguasai partai , oligarki cukup merogoh dana 9 triliun rupiah saja. Artinya dengan bermodal uang 9 triliun mereka sudah “bisa menguasai” dunia politik Indonesia.
Dengan menguasai parpol, parlemen, maka mereka bisa menentukan siapa yang bisa menjadi presiden, Menteri, Panglima TNI, Ketua KPK, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota, dan berbagai jabatan publik lainnya, seperti DPR, MPR dan DPD. Kalau memang mau menguasai juga pejabat pejabat daerah melalui pilkada memang ada ongkos tambahan sesuai dengan kondisi daera daerah yang di incarnya.
Apa yang diungkap Bamsoet sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Bahkan tidak hanya parpol, banyak calon pimpinan ormas juga sering mendapat suplai dana. Hanya saja, lebih kecil angkanya alias tidak sampai triliunan jumlahnya. Akibatnya, ormas berada dalam kendali mereka. Ormas tua, maupun ormas anak muda, sama saja sewaktu-waktu bisa dipakai untuk memberi fatwa, mencari dalil yang sesuai dengan kepentingan penyuplai dana, membuat statement, atau menyiapkan massa untuk melindungi kepentingan kaum oligarki yang mendanainya.
Dampak dari parpol yang dikuasai oleh kaum oligarki menyebabkan parpol sulit memposisikan diri secara netral dan akan selalu bertendensi melanggengkan kepentingan oligarki beserta agenda agenda ekonomi dan politiknya. Pada akhirnya kepentingan masyarakat umum akan ditempatkan pada urutan terakhir setelah para oligarki ini kenyang dengan kekayaan yang diperolehnya. Kiranya fenomena ini akan terus berlangsung manakala masyarakat kehilangan rasionalitasnya dalam mendukung suatu Parpol yang dipilihnya.
Kedua, Beternak Penguasa. Selain melalui penguasaan partai politik, kaum oligarki juga berusaha menguasai dunia politik Indonesia melalui usahanya beternak penguasa. Sebenarnya secara informal oligarki itu sudah beternak penguasa sejak jaman Orde baru (Orba). Mereka mengatur kekuasaan dari belakang layar terutama sejak Orba dan makin menjadi lebih kuat sejak era Reformasi. Di era Orba mereka hanya mempengaruhi Soeharto dalam bidang ekonomi saja. Namun di era Reformasi mereka telah mengatur dari belakang layar dan akhir ini cenderung untuk tampil langsung mengatur kekuasaan negara.
Dibeberapa daerah mereka sudah berhasil menancapkan kekuasaannya. Dengan kekuatan ekonominya mereka secara telak telah mampu menentukan kebijakan lewat boneka bonekanya. Dalam beberapa tahun ke depan siapa menjamin mereka tidak akan melakukan penjarahan di Indonesia lewat kaki tangannya?
Adapun modus oligarki beternak penguasa adalah dengan cara memelihara para calon pejabat sejak ia belum menduduki kursi kekuasaannya. Para calon pejabat itu ada yang di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Di ranah yudikatif sebagai penegak hukum misalnya, mereka sudah dipelihara sejak sekolah, hingga biaya naik pangkat/golongan dan menduduki sebuah jabatan.
Kalau sudah menduduki posisi yang strategis, hasil ternak peliharaannya bisa di kendalikan untuk melaksanakan agenda demi kelancaran bisnisnya. Akhirnya sering kita dengar hukum tumpul ke atas tajam kebawah salah satunya karena aparat telah “terbeli” oleh kaum oligarki sehingga membela kepentingan mereka.
Saat ini menjelang pelaksanaan pemilu 2024, nampak sekali barisan para oligarki ini sibuk mempersiapkan jagoannya. Mereka kini sedang sibuk sibuknya beternak penguasa. Salah satu indikasinya adalah ditemukannya transaksi janggal dana kampanye para kandidat yang menjadi calon penguasa.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menemukan transaksi janggal dalam pengelolaan dana politik, terutama terkait Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) dari bendahara partai politik. Temuan PPATK ini menunjukkan adanya transaksi politik uang masih menjadi masalah sistemik dengan oligarki atau pemodal, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Mengutip pendapat Pengamat Politik Kebijakan Publik UI, Vishnu Juwono menyatakan bahwa temuan transaksi janggal melibatkan calon legislatif (Caleg) dan partai politik pada Pemilu 2024 menunjukkan dana partai politik belum dijalankan secara transparan dan akuntabel.
“Oligarki pada level nasional dan daerah leluasa memberi sumbangan kepada kandidat Capres, Caleg tanpa pengawasan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini harus menjadi perhatian serius karena berpotensi merugikan rakyat banyak,” begitu katanya sebagaimana dikutip Law-Investigasi (20/12/23).
Di sisi lain, temuan triliunan rupiah dana kampanye yang tidak dilaporkan ke KPU RI membuka peluang terjadinya pelanggaran UU 7/2017 tentang Pemilu, terutama terkait batasan sumbangan individu maksimum Rp2,5 miliar, sumbangan kelompok maksimum Rp25 miliar, dan sumbangan badan usaha pemerintah dan non-pemerintah maksimum Rp25 miliar.
Dengan demikian, oligarki dapat memberikan sumbangan sebesar-besarnya dengan harapan ditukar kebijakan publik yang menguntungkan kepentingan bisnis mereka. Ini merugikan prinsip demokrasi tentunya.
Dengan melihat fenomena sebagaimana dikemukakan diatas, sangat beralasan kiranya kalau dinyatakan bahwa nasib demokrasi kita sampai dengan saat ini menjelang pelaksanaan pemilu 2024, masih tetap dikendalikan oleh Oligarki. Mereka yang bergelimang harta dan mampu menentukan masa depan bangsa Indonesia. Mengenaskan sekali ya …
(R. Simangunsong)