Jakarta, LINews – Dalam sebuah Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama Menteri BUMN, terdapat beberapa poin penting yang menjadi sorotan.
Dalam Raker tersebut, Kementerian BUMN mengajukan PMN (Penyertaan Modal Negara) dengan akumulasi total secara tunai dan non-tunai sejumlah Rp73 triliun untuk tahun 2023.
Sebelumnya pada tahun 2022, pemerintah sudah menggelontorkan PMN kepada BUMN sejumlah Rp38,5 Triliun dan di akhir tahun 2021 PMN juga diberikan sejumlah Rp52 Triliun.
Menanggapi hal tersebut, Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menyatakan bila besarnya PMN yang diberikan pemerintah pusat belum dibarengi dengan perbaikan tata kelola di BUMN.
“Sehingga PMN yang akan diberikan berpotensi mubazir atau tidak berdampak signifikan,” ujar Misbah kepada Law-Investigasi.
Misbah mengatakan bila sebenarnya BUMN diharapkan dapat mendongkrak perekonomian dan memberikan pemasukan (dividen) terhadap negara terutama di tengah tekanan ekonomi.
Untuk itu, Misbah menyebut pengajuan PMN oleh Kementerian BUMN kepada Komisi VI DPR RI perlu untuk dikaji secara lebih matang.
Pasalnya, tidak semua tata kelola BUMN handal untuk melakukan controlling dan pembinaan sesuai dengan PP No 23 Tahun 2020 dan UU No. 19 Tahun 2003.
“PMN sejumlah Rp 73 triliun pada tahun 2023 tentu perlu dikaji ulang, karena tidak semua BUMN handal dalam melakukan mekanisme pengawasan, mekanisme pembinaan dan indikator prosedur kinerja yang jelas yang sesuai dengan regulasi tersebut,” tuturnya.
Temuan BPK Soal Dana PMN
Misbah menyebut BUMN selain berfungsi sebagai Publik Service Obligation (PSO), BUMN juga memiliki fungsi komersil yang dituntut menghasilkan deviden bagi negara.
Untuk itu pemberian PMN harus juga memperhatikan capaian target kinerja yang terukur, sehingga tidak lagi berorientasi pada kondisi keuangan (kerugian) tetapi juga kinerja.
“Dalam PP No.23 Tahun 2022 Pasal 59 (Ayat 2) “Komisaris dan dewan pengawas bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas.” ujarnya.
Misbah menyebut bila Hal tersebut menjadi penting untuk mengubah pandangan bahwa jabatan tersebut merupakan jabatan politis.
Sehingga diharapkan adanya keseriusan dari Presiden atau Menteri BUMN dalam menetapkan orang-orang yang akan menduduki jabatan tersebut.
“Selain itu diharapkan adanya keseriusan dari komisaris/dewan pengawas dalam menjalankan fungsinya,” ujarnya.
Misbah menyatakan bila sebaiknya PMN diberikan kepada sejumlah BUMN yang mengalami kesulitan keuangan.
Tentunya dengan tetap memperhatikan kriteria dan skala prioritas terutama BUMN yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak.
“Sehingga berdampak sistemik bagi sektor keuangan dengan mempertimbangkan asas kehati-hatian, good governance dan sejalan dengan kebijakan makro pemerintah,” imbuhnya.
Salah Kelola Modal BUMN
Sementara itu Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu menilai bahwa ada yang salah dalam pengelolaan BUMN sekarang ini, terutama dalam pengelolaan utang.
Said menyebut bila BUMN seharusnya bukan ditempatkan sebagai badan usaha milik negara.
“Jadi BUMN itu Badan Usaha Milik Negara bukan badan milik penguasa. Seperti Tentara Nasional Indonesia, bukan Tentara Penguasa Indonesia. Ini harus diclear-kan,” kata Said Didu kepada Law-Investigasi.
Mantan Staf Khusus Kementerian ESDM tersebut mengatakan salah pengelolaan BUMN tersebut menyebabkan banyak perusahaan plat merah yang merugi.
Salah satu faktornya yakni penugasan pemerintah terhadap BUMN yang menjadi sorotan.
Pada akhirnya banyak BUMN yang harus menanggung nilai selisihnya dari biaya operasional BUMN itu sendiri.
“Apabila ada penugasan kepada BUMN tidak ekonomis, pemerintah jangan sampai memberi penugasan tapi kerugian itu ditanggung oleh BUMN,” katanya.
Said Didu mengatakan bila praktik-praktik tersebut dilakukan maka jangan heran bila BUMN terus merugi. Bahkan tidak menutup kemungkinan BUMN yang gulung tikar akan bertambah.
Berdasarkan data, ia juga menjelaskan bila BUMN diberi tambahan modal besar dari uang rakyat akan menambah beban hutang.
“Yang terjadi justru utang dan kerugian meningkat, dividen menurun,” ujarnya.
Kasus Korupsi di BUMN
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, terdapat 119 kasus korupsi di BUMN yang disidik penegak hukum (KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian) pada periode 2016-2021.
Dari data tersebut, terlihat kasus korupsi di BUMN tertinggi terjadi pada 2017 dengan total 33 kasus. Pada 2017, diketahui terdapat kasus dugaan korupsi di PT PANN Pembiayaan Maritime (Persero) yang nilai kerugian negaranya menyentuh angka Rp1,3 triliun.
Selain itu, ada juga kasus dugaan korupsi dana pensiun PT Pertamina (Persero). Menurut audit BPK, kasus ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 599,29 milliar.
ICW juga menemukan, jumlah kerugian negara akibat korupsi di BUMN pada 2016-2021 adalah sejumlah Rp47.926.674.165.808 atau Rp47,9 triliun.
Angka itu, menurut ICW, berpotensi lebih sedikit dari jumlah sebenarnya karena beberapa kasus masih dalam proses penghitungan jumlah kerugian negara oleh BPK ataupun BPKP.
ICW lantas mengkategorikan kasus korupsi di BUMN tahun 2016-2021 berdasarkan sektornya. Hasilnya, sektor perbankan mendominasi dengan sedikitnya 38 kasus.
Kemudian disusul sektor transportasi dengan 15 kasus, sektor sosial kemasyarakatan 9 kasus, sektor pertanian/ perkebunan 9 kasus, serta sektor energi dan listrik 8 kasus.
Lebih lanjut, ICW juga menyelidiki bentuk-bentuk modus korupsi di BUMN pada 2016-2021. Hasilnya, modus yang paling sering digunakan adalah ‘laporan fiktif’.
Sedangkan suap, penyalahgunaan anggaran, dan penggelapan menduduki posisi tertinggi kedua. Ketiga modus tersebut ditemukan pada 18 kasus korupsi di BUMN tahun 2016-2021.
ICW menilai, minimnya modus korupsi yang digunakan tidak berbanding lurus dengan kerugian yang ditimbulkan. Misalnya, modus ‘manipulasi saham’.
Terdapat 6 kasus korupsi di BUMN tahun 2016-2021 yang menggunakan modus ‘manipulasi saham’. Namun bila ditotal, kasus korupsi di BUMN dengan modus tersebut telah merugikan negara sedikitnya Rp40,6 milliar.
(R. Simangunsong)