Dana Pembangunan Infrastruktur Jadi Bancakan #2

Dana Pembangunan Infrastruktur Jadi Bancakan #2

Saham BUMN Infrakstruktur Sering Terkoreksi

Dalam beberapa pekan terakhir ini seluruh saham emiten BUMN konstruksi anjlok sepanjang hari ini, meskipun secara fundamental bisnis konstruksi cenderung lebih baik tahun 2022, dibandingkan realisasi tahun 2021.

Padahal pertumbuhan bisnis konstruksi didukung atas ekspektasi ekonomi lebih baik, seiring terkendalinya kasus Covid-19 di Indonesia.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham PT Waskita Karya Tbk (WSKT) turun Rp 40 (6,35%) menjadi Rp 590, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) turun Rp 60 (6,74%) menjadi Rp 830, PT PP (Persero) Tbk (PTPP) melemah Rp 70 (7%) menjadi Rp 930, dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) anjlok Rp 75 (6,64%) menjadi Rp 1.055.

Penurunan dalam tersebut juga merembet kepada sejumlah anak usaha BUMN konstruksi, seperti PT PP Presisi Tbk (PPRE) turun Rp 6 (3,75%) menjadi Rp 154 dan PT PP Properti Tbk (PPRO) ditutup stagnan di level Rp 56. PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) ditutup melemah Rp 6 (5,45%) menjadi Rp 104 dan saham PT Wjaya Karya Beton Tbk (WTON) melemah Rp 8 (3,39%) menjadi Rp 228.

Dalam laporannya, Bursa Efek Indonesia (BEI) sendiri sudah menetapkan ada lebih dari 100 saham yang berada dalam pemantauan khusus hingga 31 Mei 2022. Tiga di antaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak usahanya.

Ketiga perusahaan publik tersebut adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), anak usahanya yaitu PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI) dan anak usaha emiten pelat merah konstruksi yaitu PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) yang merupakan anak usaha dari BUMN PT Waskita Karya Tbk (WSKT).

Berdasarkan pada pengumuman resmi BEI, GIAA mendapatkan status pemantauan khusus karena memenuhi beberapa kriteria jika mengacu pada Peraturan Nomor II-S tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas Dalam Pemantauan Khusus.

Anak perusahaan konstruksi pelat merah PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yakni WSBP yang juga masuk radar BEI dan memenuhi kriteria nomor 5 yang berarti memiliki nilai ekuitas negatif.

Berdasarkan laporan keuangan WSBP kuartal I-2022 yang tidak diaudit, perseroan mencatatkan defisiensi modal senilai Rp 3,06 triliun. Nilai tersebut bengkak dari kuartal IV-2021 yang mencapai Rp 2,78 triliun.

WSBP juga mengalami gagal bayar atas Obligasi Berkelanjutan tahun 2019 senilai Rp 2 triliun. Oleh sebab itu lembaga rating Pefindo langsung memangkas peringkat surat utang tersebut dari BBB- menjadi D alias default.

Atas kejadian gagal bayar tersebut, pihak BEI juga memutuskan untuk menggembok perdagangan saham WSBP sejak 31 Januari 2022 hingga sekarang.

Bahkan baik GIAA dan WSBP juga terlempar dari papan utama perdagangan BEI. Dua perusahaan tersebut saat ini sama-sama mengalami permasalahan serupa yaitu terlilit utang besar.

Berkaca dari kasus dua perusahaan itu, Bursa Efek Indonesia seharusnya lebih ketat mengeluarkan daftar nama perusahaan bumn terutama bidang kontruksi yang memiliki kinerja keuangan buruk dan terlilit hutang.

Seperti di bursa saham asing, otoritas bursa mendepak perusahan itu dari perdagangan bursa karena kinerja keuangan buruk dan tersandung kasus. Namun di Indonesia, hal itu nampaknya masih belum bisa dilakukan karena ada beberapa pertimbangan stabilitas bursa saham.

Banyak Dapat Proyek, Banyak Tersandung Kasus

Pengadaan tender infrastruktur yang dilaksanakan pemerintah Indonesia sebagian besar dimenangkan oleh Perusahaan BUMN.

Nama-nama seperti Waskita Karya, WIKA, Adhi Karya, Nindya Karya hingga LEN Industri masuk dalam 10 teratas perusahaan pemenang tender.

Namun meski begitu, penugasan BUMN ini akhirnya memunculkan risiko beban utang yang harus ditanggung oleh BUMN.

Risiko lain adalah soal korupsi dan inefisiensi. Ditambah masih tingginya korupsi di sektor konstruksi menjadikan pembangunan infrastruktur tidak efisien.

Saat ini mitigasi risiko sangat dibutuhkan daripada pujian dan deretan apresiasi seperti yang disampaikan dalam artikel-artikel tentang infrastruktur tersebut.

Sekjen Transparansi Internasional Indonesia Danang Widoyoko mengatakan untuk membangun infrastruktur pemerintahan Jokowi tidak hanya memberikan tambahan modal untuk BUMN infrastruktur, tetapi juga menyediakan sumber pendanaan lain.

Bank-bank BUMN dikerahkan pemerintah untuk memberikan kredit bagi pembangunan infrastruktur.

“Selain itu, pemerintah juga memberikan dukungan melalui lembaga-lembaga keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur yang memberikan jaminan keuangan bagi pembangunan infrastruktur,” kata Danang.

Danang menuturkan bila pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan BUMN mampu menyelesaikan proyek dengan cepat.

Namun tentu ada risiko yang harus ditanggung, yakni membengkaknya utang BUMN infrastruktur.

“Salah satu BUMN yang kini terbeban dengan utang besar adalah PT Waskita Karya,” tuturnya.

Seperti diketahui, Waskita Bersama Jasa Marga mendapat tugas dari pemerintah untuk menuntaskan pembangunan tol Jawa selain beberapa proyek infrastruktur strategis lainnya.

Danang menyebut bila rencana awalnya, begitu tol Jawa selesai dibangun dan tersambung, beberapa ruas akan dilepas oleh Waskita untuk menutup utang tetapi divestasi aset dengan menjual ruas tol tidak berjalan sesuai rencana.

“Akibatnya, WSKT harus menanggung beban utang yang cukup besar. Pada 2015, pada awal pemerintahan Jokowi, rasio utang terhadap modal atau Debt to Equity Ratio (DER) WSKT hanya 2,12, di bawah batas aman DER 3. Tetapi pada 2020, DER WSKT telah mencapai 5,37, jauh melampaui batas aman. Besarnya beban utang ini akhirnya memaksa WSKT dan anak-anak perusahaannya merestrukturisasi utang-utangnya,” ujarnya.

Danang memaparkan risiko beban utang BUMN infrastruktur juga akan berdampak pada bank-bank milik pemerintah.

Salah satu contohnya adalah pembangunan kereta ringan atau LRT Jabodebek. Seperti diketahui bila pemerintah tidak hanya menugaskan PT Adhi Karya untuk membangun jaringan LRT yang menghubungkan Bekasi dan Cibubur dengan pusat kota Jakarta.

Pemerintah juga menugaskan bank BUMN untuk menyediakan pembiayaan bagi Adhi Karya.

“Jika Adhi Karya tidak bisa melunasi utangnya, dampaknya bukan hanya pada ADHI tetapi bank pemerintah dan sistem keuangan di Indonesia,” ucapnya.

Danang menyebut bila Adhi Karya berpotensi menghadapi situasi seperti yang dialami WSKT pada saat ini.

Danang menyebut bila besarnya beban utang BUMN juga bisa dilihat dari rencana sejumlah BUMN yang menawarkan proyek infrastruktur untuk dibeli oleh LPI.

Tetapi sejauh mana dan sebesar apa kapasitas LPI untuk menanggung utang-utang BUMN masih menjadi tanda tanya.

“Pada akhirnya, negara akan menanggung beban utang pembangunan infrastruktur tentu beban utang negara akan semakin berat,” ucapnya. (Tim Investigasi)