Prof. DR Saldi Isra,
(Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi)
Law-Investigasi, Sejumlah kepala daerah yang masa jabatannya terpotong akibat beleid Pilkada serentak bisa bernafas lega. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memberikan mereka masa jabatan sampai habis, sepanjang tidak melewati sebulan sebelum pemungutan suara. Sidang Pengucapan Putusan terhadap Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh tujuh kepala daerah yang mendalilkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada ini digelar pada Kamis (21/12/2023).
Adapun ketujuh kepala daerah dimaksud yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E. Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan Tahun 2018 menjabat sampai dengan Tahun 2023 dan Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan Tahun 2019 memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.”
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang menguraikan bahwa ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara khusus dan norma transisi dalam ketentuan Pasal 201 UU Pilkada secara keseluruhan masih menyisakan persoalan bagi kepada daerah/wakil kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan 2018, namun baru dilantik pada 2019 karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada tahun tersebut.
Padahal, sambung Saldi, Pasal 201 ayat (4) UU Pilkada secara eksplisit menyatakan adanya kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2019 tidak diatur secara tersendiri dalam kaitannya dengan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada. Akibatnya, kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru diantik pada 2019 seperti dipaksa mengikuti masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang dilantik pada 2018. Padahal mereka (kepala daerah yang dilantik pada 2019) dilantik karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada 2019.
Saldi kini telah menjadi oase sekaligus harapan masyarakat di dalam menilai integroitas dan independensi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara bidang yudisial yang memiliki sejumlah peran krusial dan penting bagi perjalanan berbangsa dan bernegara.
Kewenangan MK ini disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah: Menguji undang-undang terhadap UUD 1945, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Memutus pembubaran partai politik, dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Kondisi Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan pun belum sepenuhnya pulih, akibat skandal ‘Mahkamah Keluarga’ dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023 atas uji materil Pasal 169 q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Proses dan output putusan ini merupakan catatan yang tertulis dengan noktah hitam dalam sejarah MK, bagaimana tidak, akibat putusan ini Ketua MK saat itu Anwar Usman dijatuhi hukuman pencopotan jabatan sebagai Ketua MK akibat pelanggaran berat terhadap kode etik MK. Pun, hakim konstitusi lainnya dijatuhi hukuman sanksi ringan.
Terbongkarnya skandal ini tak lepas dari kejelian dan keberanian Saldi Isra yang mengambil risiko menyampaikan kejanggalan dalam proses pengambilan keputusan ke dalam dissenting opinionnya. “Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini”, demikian kutipan pembuka dissenting opinion Saldi. Langkah yang membuatnya dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK. Meskipun dia dinyatakan tidak bersalah dalam dissenting opinion.
Bukan tanpa alasan, Saldi mengaku sejak pertama kali menginjakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung MK 11 April 2017 baru kali ini mengalami peristiwa ‘aneh’ yang luar biasa. Bahkan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Hal itu karena MK berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat. Pada hari yang sama dalam putusan No.29-51-55/PUU-XXI/2023, secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan batas usia pada norma Pasal 169 huruf q UU 17/2017 adalah wewenang pembentuk UU untuk mengubahnya.
Latar Belakang Aktifis Anti Korupsi
Langkah Saldi membongkar borok di lembaganya tidaklah terlalu mengejutkan bagi publik yang telah mengenalnya. Sejak 1999, Saldi telah melaporkan kasus korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat dan berkat keberaniannya ini, ia berhasil mendapat penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award pada 2004, serta Megawati Soekarnoputri Award untuk kategori Pahlawan Muda Pemberantas Korupsi pada 2012.
Padahal, saat itu dia pun tercatat sebagai salah satu dosen pengajar di Universitas Andalas. Ia mengabdi pada Universitas Andalas kampus almamaternya tak lama setelah lulus kuliah. Selanjutnya hampir 22 tahun lamanya dia mengabdi sembari menyelesaikan pendidikan pascasarjana yang ia tuntaskan dengan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia (2001). Kemudian pada 2009, ia berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus Cum Laude. Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.
Di sela kegiatannya sebagai pengajar, Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal dalam lingkup nasional maupun internasional. Ribuan karyanya yang ia tulis sejak masih duduk di bangku mahasiswa membuatnya dikenal luas di kalangan masyarakat. Tak heran, jika wajahnya kerap berseliweran di media massa baik elektronik maupun cetak sebagai narasumber. Ia pun dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSKO) Fakultas Hukum Unand yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan. Tak hanya itu, ia juga terlibat aktif dalam gerakan antikorupsi di Tanah Air. Oleh karena itu, ia dikenal dalam dunia hukum tata negara Indonesia sebagai seseorang yang ‘tumbuh di jalanan’.
Sebagai seorang yang bergelut dalam bidang tata negara, ia tak memungkiri memiliki impian untuk duduk sebagai hakim konstitusi. Namun, ia menuturkan impian nya menduduki posisi itu setelah usia 55 tahun. Akan tetapi, tiada yang dapat mengira jalan takdir yang dituliskan Tuhan untuk seorang Saldi Isra. Justru di usia yang masih terbilang muda yakni 48 tahun, posisi yang ia impikan berhasil ia duduki.
Pada 11 April 2017, Presiden Joko Widodo resmi melantik Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra untuk menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2017 – 2022. Pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya yang telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo oleh panitia seleksi (Pansel) Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada 3 April 2017 lalu. Selain Saldi, Pansel Hakim MK saat itu juga menyerahkan dua nama lainnya, yakni dosen Universitas Nusa Cendana (NTT) Bernard L Tanya dan mantan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi.
Kini, posisi Saldi kembali terancam dengan pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi. Salah satu beleid yang bakal direvisi adalah usia minimum hakim konstitusi. Dalam usulan DPR, usia minimum Hakim Konstitusi bakal direvisi dari 55 tahun menjadi 60 tahun. Jika ini disahkan, Saldi yang usianya masih 58 tahun tentunya bakal tersangkut. Untungnya, DPR memutuskan menunda pembahasan RUU ini, meski belum diketahui sampai kapan penundaan ini berlangsung.
(R. Simangunsong)