Bandung, LINews – Dugaan tindak Pidana Korupsi yang mendera mantan pegawai bank BUMN Novi Fauzia SE yang kini sedang bergulir di Pengadilan Tipikor Bandung menjadi sorotan publik.
Pasalnya, mantan pegawai BUMN Novi Fauzia, SE di Dakwa oleh Jaksa Penuntut Kejaksaan Negeri Kabupaten Garut, melakukan Tindak Pidana Korupsi yang merugikan kerugian Negara milyaran rupiah, bahkan Jaksa telah menuntut terdakwa Novi Fauzia dengan pindana selama 7 Tahun dan denda 250 juta subsider 6 bulan.
Hal ini yang menjadi perhatian khusus pihak kuasa hukum terdakwa Novi dan angkat bicara, menurutnya dimana Sebelumnya, mantan pegawai yang bertugas sebagai mantri itu ditetapkan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut sebagai tersangka, karena telah mengkorupsi dana nasabah hingga mencapai Rp. 1 Milyar, Tuduhan itu menurut David Aryanto ini perkara lucu seharus nya jaksa harus banyak belajar Sistem pengendalian intern Perbankan dan Audit intern kejaksaan Garut masih lemah dalam menentukan kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi.
David Ariyanto, menilai terdapat sejumlah kejanggalan yang dilakukan Kejari Garut selaku penyidik pada kasus kliennya ini. Pihaknya menemukan indikasi kesewenang-wenangan penyidik selama melakukan pemeriksaan terhadap NF.
“Petama kami menemukan dua sprindik (surat perintah penyidikan), yakni adanya sprindik nomor 1 tanggal 30 Agustus dan sprindik nomor 2 tanggal 14 September. Sementara yang kami ketahui, seharusnya dalam hukum acara itu tidak boleh ada sprindik double pada pemeriksaan suatu perkara,” kata David Ariyanto, pada wartawan usai sidang di ruang 1 Pengadilsn Negeri Bandung Selasa (7/6/2023).
Indikasi kedua yaitu masalah kerugian dalam perkara yang ditangani. Dalam hal ini, lanjut dia, kuasa hukum mencermati bahwa penyidik dari Kejari Garut hanya menggunakan perhitungan internal bank tempat NF bekerja, bukan mengacu pada perhitungan BPK sesuai dengan Pasal 10 ayat 1 UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK.
“Yang digunakan penyidik berdasarkan perhitungan internal BRI saja, sementara BPK tidak menghitung. Padahal dalam amanat undang-undang jelas, bahwa BPK adalah satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan menghitung kerugian negara. Tentu kami sebagai kuasa hukum keberatan dengan pihak kejaksaan,” ujarnya.
Terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan, David Ariyanto beranggapan bahwa tindakan ini selalu melibatkan peran seseorang atau lebih yang dalam perspektif hukum pidana adalah penyertaan atau turut serta melakukan. Selanjutnya, keterlibatan ini harus dicari pertanggung jawaban dari masing-masing pihak yang terlibat.
“Jaksa tidak memeriksa, menghitung, berapa kerugian negara yang diakibatkan untuk keuntungan NF dan berapa kerugian selebihnya untuk keuntungan pihak lain,” ucapnya.
Kuasa hukum pun beranggapan penyidik telah lalai karena tidak memeriksa unsur pimpinan bank tempat NF bekerja, dan sejumlah pihak lain dalam hal ini adalah nasabah. Sebab, lanjutnya, tindakan yang dilakukan NF yaitu menggunakan uang milik nasabah sebesar Rp1 M tidak sepenuhnya untuk kepentingan pribadi.
“Sebagai mantri, klien kami memiliki tugas untuk mempertahankan nasabahnya agar tidak pindah ke bank lain. Bagaimana caranya, dia membuat program-program hadiah yang diinginkan nasabah, sehingga BRI tidak kehilangan nasabah, jadi semua pihak mulai para nasabah lain serta BRI diuntungkan sebenarnya,” ujar David.
Masih menurut David sudah terlihat jelas kejanggalan dalam perkara ini, sementara Jaksa Penuntut umum dri Kejari Garit tidak memeriksa pimpinan bank BRI KC.GARUT dan saksi saksi lain nya, maka dari itu atas kejanggalan ini pihak nya telah melaporkan kepada Jaksa Agung.
(Nasikin)