Deretan Kasus Korupsi Oleh Kader Partai Politik

Deretan Kasus Korupsi Oleh Kader Partai Politik

Law-Investigasi, Korupsi merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisasi dengan rapi. Kejahatan ini nyaris tidak bisa dilapaskan dari unsur kekuatan politik. Dalam sejumlah kasus korupsi, kelindan dan keterlibatan kader partai politik kerap terungkap. Namun, hingga kini belum ada satu pun parpol yang terjerat beleid ini. Padahal menurut konstitusi, salah satu alasan pembubaran parpol adalah karena terlibat korupsi.

Sepanjang hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik tergolong marak. Oknum kader ini menduduki aneka posisi strategis, seperti anggota dewan, kepala daerah, bahkan menteri.

Dimulai dari Mantan Menteri Sosial Idrus Marham. Mantan Sekjen Partai Golkar itu terseret dalam kasus PLTU Riau-1 yang diawali melalui operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koleganya di Partai Golkar sekaligus Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Saragih pada 2018 lalu. Eni yang didakwa menerima suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mendapatkan proyek PLTU Riau-1, dimana pada akhirnya KPK mengendus peran Idrus dalam perkara rasuah tersebut. Adapun KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap Idrus pada 24 Agustus 2018 dengan Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis Idrus tiga tahun penjara pada 23 April 2019. Idrus dianggap bersalah menerima suap Rp 2,25 miliar dari Kotjo.

Lalu, ada mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi korupsi terkait pemberian dana hibah Kemenpora kepada KONI serta gratifikasi sebesar Rp8,3 miliar. Kasus Imam pun berawal dari OTT terhadap sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI pada Desember 2018. Imam diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai bentuk commitment fee pengurusan proposal yang diajukan KONI kepada Kemenpora. Uang itu diterima secara bertahap yakni sebesar Rp14,7 miliar dalam rentang waktu 2014-2018 melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Imam juga diduga menerima uang Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016-2018. Hingga akhirnya, dia dijatuhi vonis 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 400 juta (subsider 3 bulan kurungan).

Berikutnya, ada kader Partai Gerindra yang berstatus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang terlibat kasus suap izin ekspor benih lobster pada 2020 lalu. Adapun, dalam kasus tersebut, Edhy bersama enam orang lain menerima suap dari sejumlah pengusaha untuk urusan ekspor tersebut. Edhy pun dinilai terbukti korupsi lantaran menilai suap sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih benur lobster. Awalnya pengadilan memvonis Edhy dengan hukuman 5 tahun penjara hingga akhirnya diperberat menjadi 9 tahun penjara usai Edhy mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta. Tetapi, melalui kasasi di level MA, hukuman Edhy dipangkas menjadi kembali 5 tahun.

Selanjutnya, ada bekas kader PDIP yang sempat menjabat Menteri Sosial, Juliari Batubara. Juliari terbukti melakukan korupsi program bantuan sosial penanganan Covid-19 untuk Jabodetabek 2020. Dalam perkara tersebut, Juliari terbukti menerima uang suap terkait pengadaan bansos Covid-19 sekitar Rp 32,482 miliar dan dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pidana penjara 12 tahun ditambah dengan denda Rp 500 juta pada 23 Agustus 2021. Hakim juga mewajibkan Juliari membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar.

Cukup terbaru, ada politisi Partai NasDem yang juga sempat menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate. Dia terlibat kasus korupsi Base Transceiver Station atau BTS BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020-2022. Dalam perkara ini, kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebesar Rp8.032.084.133.795 (Rp8 triliun) yang terdiri dari tiga hal yaitu biaya untuk kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun.

Teranyar adalah Syahrul Yasin Limpo sebagai mantan menteri di kabinet rezim Presiden Joko Widodo yang terjerat kasus korupsi. Politisi partai NasDem sekaligus bekas Menteri Pertanian ini terlibat dalam kasus penyalahgunaan Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) keuangan negara, dugaan jual beli jabatan, hingga dugaan penerimaan gratifikasi selama menjabat sejak periode 2019. Selama periode jabatannya, SYL disebut KPK telah menerima aliran uang korupsi sebanyak 13,9 miliar. Dia disangkakan Pasal 12 huruf e dan 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Selain menteri, kepala daerah pun terlibat kasus bancakan. Belakangan, KPK diketahui melakukan OTT terhadap Wali Kota Bandung, Yana Mulyana pada pertengahan 2023 lalu. Yana yang juga berstatus kader Partai Golkar menerima suap atas pengadaan barang dan jasa dari jaringan internet hingga CCTV.

Selain itu, ada mantan Bupati Meranti, Kepulauan Riau, Muhammad Adil yang merupakan kader dari partai PKB. KPK menjerat Adil sebagai pelaku korupsi pada April 2023 lalu terkait kasus penyelewengan anggaran daerah, korupsi fee jasa travel murah hingga suap auditor BPK. Dalam kasus ini, KPK menduga Adil menerima uang sejumlah sekitar Rp26, 1 miliar dari berbagai pihak.

Teranyar adalah Abdul Ghani Kasuba, mantan Gubernur Maluku Utara yang memiliki afiliasi politik dengan PKS dan PDIP. Ghani terlibat kasus dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa serta pemberian izin di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Dia terjaring OTT KPK pada Desember 2023 lalu. Adapun besaran berbagai nilai proyek seperti infrastruktur jalan dan jembatan mencapai pagu anggaran lebih dari Rp500 miliar. Sebagai bukti permulaan, terdapat uang yang masuk ke rekening penampung milik Ghani sejumlah sekitar Rp2,2 miliar. Hingga kini kasus tersebut masih proses hukum di pengadilan Tipikor, Jakarta.

Sayangnya, dalam sejumlah kasus tersebut penegak hukum belum pernah sekalipun menelusuri kasusnya sampai ke partai politik. Padahal, menurut pakar hukum Yenti Garnasih sangat dimungkinkan untuk menetapkan partai politik menjadi tersangka di kasus korupsi. Bahkan, ini menjadi syarat untuk membubarkan parpol.

“Intinya bisa sekali partai bahkan dibubarkan karena terjerat kejahatan (corporate crimes), meski kemudian menggunakan mekanisme MK (Mahkamah Konstitusi) untuk eksekusinya,” ujar Yenti, Rabu (3/3/2024).

Yenti Garnasih, dalam kesempatan berbeda menjelaskan kepada media, meskipun banyak politisi dipenjara karena kasus korupsi, namun sampai saat ini belum ada catatan sejarah partai politik dibubarkan karena kasus korupsi. Semua proses hukum berhenti di pertanggungjawaban pribadi terdakwa. Sedangkan partai politik selalu lepas tangan.

“Entah belum ada bukti, tidak ada bukti atau tidak mau mencari. Sebelumnya, PKS di kasus impor daging, Demokrat di kasus Hambalang dan Golkar di kasus e-KTP. Tapi memang tampaknya sejauh ini dianggap yang main jahat oknum. Nah seharusnya penegak hukum yang kejar. UU menyebutkan partai yang terima hasil korupsi tetap diproses,” katanya, Rabu (18/10/2023).

Menurut nya, penegak hukum perlu berfikir konstruksi yang utuh dari kasus korupsi dan kemungkinan pencucian uang melibatkan partai politik sebagai wadahnya. Termasuk menelusuri bukti-bukti terkait tindak pidana yang dilakukan politisi dan kaitannya dengan aliran dana ke partai. Bisa saja aliran dana korupsi itu berkedok sumbangan dari donatur atau kader partai. Jika pada proses hukumnya sang donatur atau kader partai terbukti melakukan kejahatan korupsi, maka penegak hukum bisa mengejar hingga ke hulu.

Dia menegaskan, pembubaran partai yang terlibat korupsi bisa diambil dengan pendekatan UU Pencucian Uang jika proses pembubaran parpol melalui Mahkamah Konstitusi sulit dilakukan. Yenti menilai, hakim bisa memutuskan pembubaran parpol yang terlibat korupsi.

“Kalau saya dilihat dari pidana. Hakim bisa jatuhkan pidana pembubaran partai. Sarana undang-undang dan mekanisme sudah ada. Tinggal kemauan penegak hukum,” imbuhnya.

(Remond)

Tinggalkan Balasan