Jakarta, LINews – Kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong terus menjadi sorotan. Bersama CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), ia diduga terlibat dalam korupsi importasi gula kristal mentah pada tahun 2015-2016.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut kasus ini menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 400 miliar. Menurut Kejagung, Indonesia saat itu sebenarnya mengalami surplus gula, sehingga impor seharusnya tidak dilakukan.
Kejagung menyatakan seharusnya untuk memenuhi stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan yang hanya dapat melakukan impor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT PPI. Padahal kala itu yang diimpor gula kristal mentah.
Ketika itu PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan. Menurut Kejaksaan Agung, dengan sepengetahuan dan persetujuan Tom Lembong, persetujuan impor gula kristal mentah ditandatangani.
Namun, pendapat berbeda disampaikan oleh Prof. Dwi Andreas, akademisi dari Fakultas Pertanian ITB. Ia membantah klaim surplus gula tersebut. “Kita selalu mengalami defisit terkait minus produksi sejak 1994. Dan defisitnya semakin lama semakin melebar,” ungkap Prof Andreas, Sabtu (23/11).
Prof. Andreas menjelaskan bahwa produksi gula nasional terus menurun sejak 2014 hingga 2017. Pada 2014, produksi mencapai 2,6 juta ton, tetapi turun menjadi 2,2 juta ton pada 2016. Selain itu, stok akhir tahun juga merosot tajam.
“Stok gula kita di akhir tahun 2014 itu 1,18 juta ton, lalu akhir 2015 hanya tinggal 817.000 ton. Padahal, stok aman untuk lima bulan seharusnya 1,2 juta ton. Angka ini sangat riskan dan dapat menimbulkan gejolak harga di masyarakat,” katanya.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh fenomena El Niño pada 2015 yang menyebabkan kemarau panjang. Dan komoditas tebu, padi dan jagung selalu menurun setiap terjadi fenomena El Niño. “Surplus dari mana tahun 2015? Data juga menunjukkan produksi turun,” tegas Prof. Andreas.
Mengenai keputusan impor gula kristal mentah, Prof. Andreas menilai langkah ini lebih menguntungkan dibandingkan mengimpor GKP. “Kalau kita mengimpor gula kristal mentah (raw sugar), kita olah di sini, nilai tambahnya kita nikmati. Kalau yang diimpor GKP, justru eksportir seperti Thailand dan Brazil yang untung,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga perputaran uang di dalam negeri. “Walaupun pihak swasta yang untung, perputaran tetap terjadi di Indonesia. Nilai tambah dari pengolahan gula mentah ke GKP menjadi keuntungan bagi ekonomi domestik,” tambahnya.
Keputusan impor gula pada awal 2016 dilakukan untuk mencegah lonjakan harga akibat stok yang rendah. “Misalnya, tanpa impor harga gula bisa mencapai Rp 20.000 per kg, padahal harga keekonomian hanya Rp 12.000. Selisih Rp 8.000 per kg ini dapat menyebabkan kerugian masyarakat hingga Rp 8 triliun dalam tiga bulan,” ujar Prof. Andreas.
Ia menjelaskan bahwa setelah gula impor mulai masuk pada April-Mei 2016, harga gula mulai turun. “Sejak Agustus 2016, harga gula turun hingga akhir 2017 mencapai Rp 12.700 per kg,” katanya.
Dalam kasus ini, Prof. Andreas menekankan pentingnya melihat kerugian ekonomi secara luas. “Kerugian negara sebesar Rp 400 miliar itu kecil dibandingkan potensi kerugian masyarakat yang mencapai Rp 8 triliun akibat kenaikan harga gula,” ujarnya.
(Luky)