JAKARTA, LINews – Wacana penundaan Pemilu 2024 lagi-lagi bergulir. Tiba-tiba, terbit putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda tahapan pemilu yang sedang berjalan.
Isu ini seolah bukan hal baru. Desas-desus demikian sempat jadi polemik panjang selama awal hingga pertengahan tahun 2022 lalu.
Baru-baru ini sempat juga berembus kabar soal dana besar yang diduga disiapkan untuk menunda gelaran 5 tahunan itu.
Belum sampai sebulan isu itu bergulir, kini PN Jakpus menerbitkan putusan yang memerintahkan tahapan Pemilu 2024 ditunda yang berujung kegaduhan.
Dana Besar
Isu soal dana besar agenda penundaan Pemilu 2024 pertama kali diungkap oleh anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Benny K Harman.
Dalam rapat kerja Komisi III bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Selasa (14/2/2023), Benny awalnya mengungkapkan kekecewaan karena PPATK tak membeberkan laporan detail soal aliran dana kasus korupsi dan perjudian.
Menurut dia, aliran dana tersebut perlu ditelusuri, apalagi mengingat ini tahun politik. Dia mengatakan, ada dana besar yang diduga disiapkan untuk menunda Pemilu 2024.
“Saya dengar dananya banyak sekali untuk penundaan pemilu, pakai dana untuk menunda pemilu banyak sekali dana-dana itu, yang enggak nampung lewat bank bisa langsung,” kata Benny.
Usai rapat, Benny kembali menegaskan pernyataannya soal wacana penundaan pemilu dan dana besar yang disinyalir disiapkan untuk merealisasikan agenda tersebut.
“Saya kan di Parlemen ini kan mencium baunya, harumnya. Mendengar ada, kebisingan ya kan. Seperti itu, itu saja,” kata Benny di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Ditanya soal dari mana asal muasal informasi itu, Benny mengaku tak tahu-menahu. Namun, dia meminta PPATK untuk mengusut benar tidaknya isu tersebut.
“Apakah betul atau tidak ya PPATK-lah yang lacak,” kata politikus Partai Demokrat itu.
Terpisah, isu penundaan Pemilu 2024 juga sempat dibunyikan oleh Ketua Majelis Syura Partai Ummat Amien Rais. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan (MPR) RI itu meminta presiden berhati-hati soal diskursus tersebut.
“Paling-paling nanti ada usulan ditunda. Paling-paling nanti ada usulan untuk mengacak-acak konstitusi untuk mengganti Pasal 7, dan lain-lain. Nah jadi kalau seperti ini memang saya kira nanti masyarakat sipil bisa bangkit. Saya juga mengatakan, ‘hati-hati, Bung, Pak Joko, Pak Joko Widodo’,” kata Amien di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Ummat di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Putusan PN Jakpus
Selang 2 minggu sejak isu dana besar penundaan pemilu bergulir, publik geger karena putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap KPU. Dalam putusannya, Majelis Hakim PN Jakpus memerintahkan KPU menunda tahapan pemilu.
“Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari,” bunyi diktum kelima amar putusan tersebut.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa KPU melanggar asas kecermatan dan profesionalisme saat menggelar tahapan verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2024.
“Tergugat telah melanggar prinisp-prinsip penyelenggaraan Pemilu, sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU Pemilu,” bunyi salah satu pertimbangan hakim.
“Tergugat melanggar Pasal 469 Ayat (3) UU Pemilu, serta melanggar asas kecermatan dan asas profesionalisme,” lanjut pertimbangan tersebut.
Adapun gugatan terhadap KPU dilayangkan karena Prima sebelumnya merasa dirugikan dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Dalam tahapan verifikasi administrasi, Prima dinyatakan tidak memenuhi syarat keanggotaan, sehingga tidak bisa berproses ke tahapan verifikasi faktual.
Namun, partai pendatang baru itu merasa telah memenuhi syarat keanggotaan dan menganggap bahwa Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU bermasalah dan menjadi biang keladi tidak lolosnya mereka dalam tahapan verifikasi administrasi.
Sebelum menggugat ke PN Jakpus, perkara serupa sempat dilaporkan Prima ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Namun, Bawaslu lewat putusannya menyatakan KPU RI tidak terbukti melakukan pelanggaran administrasi dalam tahapan verifikasi administrasi Prima.
Ditentang
Putusan PN Jakpus ini pun ditentang habis-habisan oleh berbagai kalangan, mulai dari pakar hukum hingga pegiat pemilu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta KPU mengajukan banding atas putusan tersebut.
“Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum,” kata Mahfud MD dalam keterangannya, Kamis (2/3/2023).
Mahfud mengatakan, secara logika hukum KPU pasti akan menang. Sebab, menurutnya, Pengadilan Negeri tak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut.
Menurut Mahfud, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu telah diatur tersendiri dalam hukum. Selain itu, kompetensi menyidangkan sengketa pemilu bukan berada di Pengadilan Negeri.
“Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi, yang memutus harus Bawaslu, tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” kata Mahfud.
“Adapun apabila terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya,” ujarnya lagi.
Mahfud melanjutkan, hukuman penundaan pemilu atau terkait seluruh prosesnya, tidak bisa dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri sebagai kasus perdata.
“Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia,” kata mantan Ketua MK itu.
Pendapat serupa juga disampaikan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Dia menyebut, Pengadilan Negeri tak punya kewenangan perdata untuk mengadili sengketa pemilu.
Oleh karenanya, menurut Jimly, hakim yang mengadili perkara Prima ini layak dipecat.
“Secara umum kita tidak boleh menilai putusan hakim karena kita harus menghormati peradilan. Tapi ini keterlaluan. Hakimnya layak dipecat. Bikin malu,” ujar Jimly dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (2/3/2023).
Artikel ini dibuat dari berbagai sumber media online
(R. Simangunsong)