Dugaan Korupsi Program KPC-PEN Rp1600 T, Kenapa Penegak Hukum Bungkam?

Dugaan Korupsi Program KPC-PEN Rp1600 T, Kenapa Penegak Hukum Bungkam?

Law-Investigasi – Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (4/8/2023) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pengakhiran Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019. Ini sekaligus membubarkan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN). Dengan ini, masa penanganan pandemi Covid-19 pun berakhir. Namun, beleid ini tidak menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban duit rakyat yang digunakan untuk penanganan Covid 19 yang angkanya mencapai lebih Rp 1600 triliun.

“Dengan Peraturan Presiden ini, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional dinyatakan telah berakhir masa tugasnya dan dibubarkan,” bunyi Pasal 1 dalam salinan Perpres. Pasal 2 beleid itu menyebut dengan dibubarkannya KPC PEN, maka pelaksanaan penanganan Covid-19 di masa endemi dilaksanakan Kementerian Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Dengan berakhirnya masa tugas dan pembubaran Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-18) dan Pemulihan Ekonomi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, pelaksanaan penanganan COVID-19 pada masa endemi dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi pasal 2.

Setelah diterbitkannya perpres ini, maka Perpres Nomor 82 Tahun 2O2O tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 1O8 Tahun 2O2O dinyatakan tidak lagi berlaku.

Jokowi juga menetapkan pelaksanaan penanganan Covid-19 pada masa endemi yang bersifat lintas kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah berpedoman pada standar operasional prosedur yang melibatkan kementerian/lembaga terkait. Sementara obat dan vaksin Covid-19, disebutkan dalam beleid tersebut, tetap dapat digunakan sampai dengan batas kedaluwarsa. Obat dan vaksin tetap dapat digunakan selama masih memenuhi persyaratan efikasi, keamanan, dan mutu. “Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Obat dan Vaksin Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan,” bunyi beleid itu.

Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) dibentuk oleh pemeirntah sebagai bagian dari tata kelola yang baik untuk mendudukkan, menyusun dan mengorkestrasi semua program penanganan pandemi sekaligus pemulihan ekonomi. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan UU No 2 Tahun 2020 jo Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang digunakan sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia betul-betul menjadi game changer saat itu. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara saat berbicara pada Rapat Koordinasi Nasional Transisi Penangananan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kamis (26/01/2023) di Gedung AA Maramis Jakarta.

Wamenkeu mengatakan bahwa alokasi anggaran PEN berubah-ubah setiap tahunnya. Anggaran PEN pertama kali di tahun 2020 adalah Rp405,1 T lalu naik menjadi Rp 695,2 T dengan realisasi Rp 575,9. Pada tahun 2021, RAPBN menaruh anggaran sebesar PEN Rp403,9 T tetapi ketika varian Delta masuk maka bertambah menjadi Rp744,8 T dan akhirnya terealisasi sebesar Rp655,1 T.

“Alokasi anggaran PEN memang kita desain fleksibel sekali. Fleksibel itu bukan karena kita sradak-sruduk tetapi karena memang didudukkan satu per satu. Ini yang saya katakan tata kelola yang baik. Fleksibilitas tetapi dengan akuntabilitas yang terjaga dengan tetap diaudit, tetap dipertanggungjawabkan, dan tetap dilaporkan,” jelas Wamenkeu.

Total anggaran PEN dari tahun 2020 hingga tahun 2022 adalah Rp1.645 Triliun. Wamenkeu menegaskan bahwa pelaksanaan anggaran program PEN menjadi dasar pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga bisa baik dan tetap terjaga. Melalui pelaksanaan anggaran program PEN, kontraksi ekonomi bisa dijaga supaya tidak memburuk, angka pengangguran terbuka yang tinggi sekali pada tahun 2020 bisa diturunkan, dan jumlah penduduk miskin yang naik di 2020 juga bisa diturunkan. Selain itu, pelaksanaan anggaran program PEN juga mampu menurunkan tingkat kemiskinan dan gini ratio juga bisa ditahan.

Namun, dana sebesar itu belum jelas pertangungjawabannya. Sebab dalam keputusan presiden terkait pembubaran KPCPEN tidak ada beleid tentang penggunaan anggaran.

Padahal penggunaan dana sebesar Rp166 triliun lebih di masa darurat patut diduga rawan penyimpangan. Hal ini pernah diungkap oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Auditor negara ini menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 2,94 triliun dari 2.843 permasalahan dalam Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) pada semester II-2020.

Dalam laporan IHPS Semester II-2020, BPK mencatat permasalahan tersebut meliputi 887 kelemahan sistem pengendalian intern, 715 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dengan potensi Rp 2,73 triliun dan 1.241 permasalahan 3e (ketidakhematan, ketidakefisienan, ketidakefektifan) dengan potensi Rp 209,8 miliar.

Ketua BPK yang saat itu dijabat Dr. Agung Firman Sampurna, CSFA., CFrA., CGCAE dalam Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (Lkpp) Tahun 2020 Dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester Ii Tahun 2020 kepada DPR RI 22 JUNI 2021 menyatakan Pemeriksaan atas PC-PEN dilaksanakan dalam kerangka risk based comprehensive.

Audit yang merupakan gabungan dari tujuan ketiga jenis pemeriksaan dengan memperhatikan audit universe. Audit universe adalah keseluruhan keuangan negara dalam arti luas sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Alokasi anggaran PC- PEN pada pemerintah pusat, pemda, BI, OJK, LPS, BUMN, BUMD, dan dana hibah Tahun 2020 yang teridentifikasi oleh BPK sebesar Rp933,33 triliun, dengan realisasi Rp597,06 triliun (64%).

RINGKASAN HASIL PEMERIKSAAN PENANGANAN PANDEMI COVID-19. (BPK RI: IHPS II 2020)

BPK mengapresiasi upaya pemerintah dalam PC-PEN seperti pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, penyusunan regulasi penanganan COVID-19, pelaksanaan refocusing kegiatan dan realokasi anggaran, serta kegiatan pengawasan atas pelaksanaan PC-PEN.

“Pemeriksaan tematik atas PC-PEN dilaksanakan pada 241 objek pemeriksaan. BPK menyimpulkan bahwa efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dalam kondisi darurat pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya tercapai,” ujar Agung.

Hal tersebut karena: Pertama, alokasi anggaran PC-PEN dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh serta realisasi anggaran PC-PEN belum sepenuhnya disalurkan sesuai dengan yang direncanakan. Kedua, pertanggungjawaban dan pelaporan PC-PEN, termasuk pengadaan barang dan jasa belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketiga, pelaksanaan program dan kegiatan manajemen bencana penanganan pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya efektif.

Pada semester II tahun 2020, BPK telah memeriksa Program PC-PEN pada 27 objek pemeriksaan pemerintah pusat, 204 objek pemeriksaan pemerintah daerah, 10 objek pemeriksaan BUMN dan badan lainnya. Pemeriksaan meliputi 111 objek pemeriksaan kinerja dan 130 objek pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Hasil pemeriksaan atas PC-PEN mengungkapkan 2.170 temuan yang memuat 2.843 permasalahan sebesar Rp2,94 triliun. Permasalahan tersebut meliputi 887 kelemahan SPI, 715 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan 1.241 permasalahan 3E. Selama proses pemeriksaan entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti ketidakpatuhan tersebut dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara sebesar Rp18,54 miliar.

BPK menyimpulkan bahwa efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam kondisi darurat pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya tercapai, yang ditunjukkan dengan: (1) Alokasi anggaran PC-PEN dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh serta realisasi anggaran PC-PEN belum sepenuhnya disalurkan sesuai dengan yang direncanakan;

(2) Pertanggungjawaban dan pelaporan PC-PEN, termasuk pengadaan barang dan jasa belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (3) Pelaksanaan program dan kegiatan manajemen bencana penanganan pandemi COVID-19 tidak sepenuhnya efektif.

(Vhe)

Tinggalkan Balasan