Jakarta, LINews – Bocornya sejumlah data vital dan peretasan yang masif di medio tahun lalu membuka kotak pandora korupsi di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dugaan praktik korupsi di kementerian yang kini telah bersulih nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dinilai bisa mencapai Rp 958 milyar. Ini adalah nilai proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) yang diduga ditilap pada periode 2020-2024. Setelah dilakukan penghitungan, negara diproyeksikan mengalami kerugian Rp 500 miliar.
Proyek PDNS lahir karena pemerintah gagal mencapai target pembuatan PDN pada 2024. Proyek PDN ini ditujukan untuk integrasi dalam satu data bagi pelayanan publik. Adapun permasalahan awal PDN molor dari target lantaran penetapan lokasi data center atau pusat data. Penetapan lokasi PDN mulanya berada di kawasan Cikarang dan Makassar. Komdigi mengeluarkan anggaran untuk kelayakan lokasi PDN senilai miliaran rupiah yang digarap oleh sejumlah perusahaan swasta sejak 2018.
Merujuk audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terbit pada awal 2023, Komdigi memperluas daerah potensial sebagai PDN Selepas 2018. Penilaian lokasi PDN mempertimbangkan aspek risiko bencana alam hingga pasokan infrastruktur yang stabil seperti listrik dan jaringan internet. Lokasi tambahan PDN meluas sampai wilayah Batam, Labuan Bajo dan IKN. Namun, auditor negara menemukan hal di lua prosedur dari penetapan lokasi baru proyek PDN.
“Dapat disimpulkan bahwa perencanaan atas usulan penetapan lokasi PDN belum sepenuhnya didukung oleh hasil kajian yang memadai, terutama untuk penetapan lokasi Batam, IKN dan Labuan Bajo,” petik laporan BPK.
BPK juga menemukan adanya ketidaksesuaian prosedur pergantian lokasi PDN yang mulanya di Jababeka, lalu beralih ke Deltamas, Jawa Barat. Pergantian lokasi itu kadung dilakukan karena Komdigi sudah melakukan pembebasan lahan seluas 49 ribu meter dengan nilai Rp 118 miliar.
“Penggantian dan penetapan lokasi di Deltamas tersebut tidak didasarkan dengan kajian atau studi kelayakan atas lokasi lebih lanjut,” menurut laporan BPK.
Selagi pembuatan PDN molor dari target waktu lantaran masalah transparansi pemilihan lokasi, PDNS terpaksa digunakan. Tetapi, kapasitas komputasi yang dimuat PDNS ternyata jauh dari kebutuhuan sebenarnya. Pihak swasta yang menghitung kebutuhan kapasitas data seluruh kementerian dan lembaga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Masalahnya, permintaan survey yang dikirimkan ke sedikitnya 612 responden (Pemerintah pusat hingga Pemerintah Daerah) hanya berbalas 200-an.
Alih-alih mendesak balasan dari sisa instansi yang belum merespons, pihak swasta yang menggarap proyek perhitungan kapasitas data ini justru memproyeksikan kebutuhan berdasar sample yang tidak memadai. Perhitungan kebutuhan kapasitas PDNS pun bermasalah. Sebab, konsultan swasta berinisial PT XI ini tidak melakukan perhitungan kebutuhan memori untuk PDNS, tapi hanya memperhitungkan kebutuhan jumlah core dan penyimpanan. Padahal, kebutuhan akan kapasitas core dan penyimpanan setiap tahunnya semakin bertambah.
Melalui penilaian kebutuhan kapasitas PDNS yang tidak sesuai fakta di lapangan, PT Aplikanusa Lintasatra masuk sebagai vendor yang menggarap komputasi awan PDNS sejak 2020. Auditor menghitung disparitas kebutuhan kapasitas mulai dari memori, jumlah core dan penyimpanan untuk seluruh K/L tidak sebanding dengan pembangunan komputasi awan yang digarap Aplikanusa Lintasarta.
“Dapat dilihat bahwa kajian kapasitas yang dilakukan pada tahun 2018 dan 2021 tidak sepenuhnya tepat menggambarkan kebutuhan kapasitas penggunaan riil sebagaimana yang saat ini sedang berjalan pada PDNS,” petik laporan BPK.
Habis Retas Terbitlah Sprindik
Rangkaian kejanggalan dalam pelaksanaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) ini rupanya terendus olek penyidik Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Penyidik memnemukan dugaan adanya praktik korupsi pada sejumlah proyek pengadaan yang berelasi dengan PDNS ini, apalagi nilai anggaran digunakan tergolong fantastis.
Berbekal sprindik bernomor 488/M.1.10/Fd.1/03/2025, penyidik Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) menggeledah sejumlah tempat di kawasan Jakarta, Depok dan Bogor pada Kamis (13/3/2025) malam. Penggeledahan ini masuk dalam ranah penyidikan kasus dugaan korupsi Pusat Data Nasional (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang kini berganti Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Berselang satu hari, kantor Komdigi di Jakarta Pusat pun ikut digeledah penyidik.
Kasi Intel Kejari Jakpus, Bani Immanuel Ginting, mengatakan penyidik berhasil menyita sejumlah barang bukti dari dua hari penggeledahan. Setidaknya, ditemukan dokumen, barang bukti elektronik, uang Dolar kurs AS dan Singapura serta pembukaan rekening senilai Rp 1 miliar. Lain itu ada beberapa mobil bertipe SUV dan city car keluaran tahun 2020-an. “Kami menyita sejumlah barang dan uang untuk follow the money dalam kasus PDNS ini,” kata Bani Ginting kepada Law-Investigasi, Kamis (20/3/2025).
Follow the money yang dimaksud adalah melacak aliran dana bancakan dinikmati oleh siapa saja. Sebab, penyidik menduga pengadaan proyek PDNS sarat korupsi yang melibatkan pejabat di Komdigi dengan pihak penggarap atau vendor. Estimasi anggaran negara atau APBN yang diduga dikorupsi dalam proyek ini hampir menyentuh Rp 1 triliun dalam periode 2020-2024. Perusahaan swasta yang terlibat tertuju pada satu nama: PT Aplikanusa Lintasatra. Korporasi itu merupakan anak usaha dari perusahaan telekomunikasi raksasa Indosat.
Tak butuh waktu lama, Kejari Jakpus memanggil sejumlah pejabat Komdigi dan pihak swasta sebagai saksi. Bani hanya menuturkan satu di antara pihak Komdigi yang digali kesaksiannya berasal dari Direktorat Layanan Aplikasi Informatika, yang kini terpecah menjadi tiga domain kerja.
“Ada 7 saksi yang diperiksa dan ini hanya bagian awal,” ujar Bani Ginting.
Kembali ke PT Aplikanusa Lintasatra, awal proyek PDNS dengan perusahaan itu bernilai Rp 60 miliar pada 2020. Penyidik Kejari Jakpus menilai pemenangan terhadap Aplikanusa Lintasatra dalam proyek ini melawan hukum. Diduga ada kongkalikong antara pejabat Komdigi dan pihak swasta untuk memenangkan perusahaan tertentu. Dan ini tidak terjadi hanya sekali proyek. Pada 2021, Aplikanusa Lintasatra balik mendapatkan proyek PDNS senilai Rp 102,6 miliar. Setahun berselang, perusahaan itu pun kembali menang proyek dengan anggaran Rp 188,9 miliar. Proyek ratusan miliar berlanjut, persisnya pada 2023 yang memenangkan Lintasatra menggarap proyek pekerjaan komputasi awan senilai Rp 350 miliar dan 2024 senilai Rp 256,5 miliar. Namun, sejumlah proyek itu diduga dilakukan tidak sesuai persyaratan pengakuan kepatuhan ISO 22301.
Adapun menilik data dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kominfo, alokasi anggaran untuk mengelola pusat data nasional mencapai Rp1.1 triliun. Anggaran triliunan itu akumulasi dana yang dimiliki Komdigi dari periode 2019 hingga 2024. Saat PDN digarap seiring agenda digitalisasi pemerintah, Kominfo mengalokasikan anggaran jasa konsultasi penyusunan arah jalan atau road map penyelenggaran PDN 2019-2024 sebesar Rp 506,8 juta.
Selain itu, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Komdigi melelang sebanyak 16 proyek pembangunan PDN dalam kurun waktu 5 tahun sejak 2019. Realisasi anggaran Rp 1 triliun lebih itu baru terealisasi sekira Rp 972 miliar untuk proyek PDN. Dari belasan proyek itu pula, ada satu proyek yang gagal dieksekusi. Adapun proyek itu adalah kegiatan jasa konsultasi manajemen proyek penyelenggaraan PDN dengan alokasi anggaran Rp 125,9 miliar.
Secara garis besar, alokasi anggaran negara dari Kementerian Keuangan ke Komdigi hampir mencapai Rp 5 triliun sejak 2019 atau saat periode kedua Presiden Joko Widodo. Jumlah pastinya sebesar Rp 4,9 triliun. Dari angka itu, senilai Rp 700 miliar digelontorkan untuk pemeliharaan PDN. Dari data LPSE Komdigi, alokasi anggaran terbesar diperuntukkan bagi proyek penyediaan layanan komputasi awan PDNS. Proyek komputasi awan ditujukan memudahkan akses ke server, aplikasi dan basis data melaui jaringan internet yang terhubungn ke Singapura. Anggaran proyek ini mencapai Rp 256 miliar dan yang menggarapnya adalah BUMN PT Telekomunikasi Indonesia.
Lewat anak usahanya, yakni PT Sigma Cipta Caraka, PDNS di Surabaya dikelola perusahaan pelat merah tersebut. Relasi antara Kominfo dan BUMN Telkom sudah terjalin sejak lama. Beberapa proyek di luar perancangan dan pemeliharaan PDN Kominfo selalu dimenangkan atau dilakukan penunjukkan langsung ke Telkom. Pada 2024, anggaran Rp 700 miliar dari APBN, sebesar Rp 259,2 miliar dialokasikan pemeliharaan PDN yang digarap Telkom. Dalam LPSE juga, tercantum nama PT Energi Jaring Komunikasi yang menang tender proyek pembuatan virtual machine backup pada PDNS di Direktorat Pengendalian Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika. Adapun nilai kontrak proyek ini mencapai Rp2 miliar yang dananya berasal dari penerimaan dana bukan pajak.
Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid bersedia memberikan data-data untuk membantu aparat penegak hukum mengusut dugaan korupsi terkait Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) periode 2020-2024. Meutya menyebut bila data tersebut akan diberikan untuk memperlancar pengusutan kasus ini supaya lebih terang benderang.
“Kami bersedia memberikan data-data yang dibutuhkan,” kata Meutya melalui keterangan yang diterima, Kamis (20/03/2025).
Meutya menyatakan bila Komdigi akan mengikuti proses hukum yang sedang berproses dan ia juga berkomitmen untuk membantu aparat hukum dalam mengusut kasus ini.
“Kami proses hukum aja. Kami pada prinsipnya akan membantu penegak hukum mengusut,” tutupnya.
Melacak Keterlibatan Eks Menteri
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengatakan potensi korupsi dalam kasus PDNS Komdigi erat kaitannya dengan relasi antara pemangku kepentingan kementerian dengan pihak vendor. Konflik kepentingan bisa saja terjadi antara kedua belah pihak sehingga mengakibatkan proyek tertuju pada satu pemenang saja secara dominan. Atau pemenang satu proyek memiliki relasi dengan pemenang proyek lain di Komdigi.
“Sehingga proyek jadi tidak jelas arahnya. Laporan BPK yang menemukan proyek tidak mencapai target sesuai waktu merupakan hal yang sulit dibantah kalau proyek PDNS ini memang bermasalah sejak perencanaan,” kata Egi kepada Law-Investigasi, Jumat (21/3/2025).
Egi bilang bahwa korupsi PDNS sama saja modusnya dengan korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa. Dia mewanti-wanti ada pejabat tertentu yang bermain mata dengan pihak swasta untuk memuluskan kepentingan bancakan.
“Perlu dicek kembali apakah proyek ini (PDNS) melibatkan perusahaan yang memiliki afiliasi dengan pejabat,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Menpora yang juga pakar telematika Roy Suryo menungkapkan dugaan keterlibatan eks Menkominfo Budi Arie Setiadi di kasus ini.
“Kasus ini diduga merugikan negara Rp1 triliun (tepatnya Rp959.485.181.470),” kata Roy Suryo melalui keterangan tertulisnya, Jumat 14 Maret 2025 sebagaimana dikutip RMOL.
Roy Suryo mengatakan, awalnya proyek PDN (sebelum jadi PDNS) ini digagas Menkominfo Johnny Gerald Plate dengan peletakan batu pertama di Cikarang, Kabupaten Bekasi pada 9 November 2022, dan direncanakan selesai dua tahun sesudahnya.
“Sayang Johnny Gerald Plate terkena kasus Proyek BTS-5G dan diteruskan oleh Menkominfo Budi Arie Setiadi,” kata Roy Suryo.
Di periode Budi Arie Setiadi inilah, kata Roy Suryo, terjadi kecerobohan akibat mau mencari muka Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi. PDN yang seharusnya ada di empat lokasi, yakni Cikarang, Batam, Ibu Kota Nusantara (IKN) dan NTT, kemudian dishortcut dibuat menjadi Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Serpong dan Surabaya.
“Ini dilakukan Budi Arie untuk mengejar peresmiannya sebelum Jokowi lengser,” kata Roy Suryo.
Budi Arie memajukan peresmian titik pertama PDN yang seharusnya di Cikarang pada November 2024 menjadi 17 Agustus 2024 agar seolah-olah bisa diresmikan Jokowi sebelum lengser.
“Ini adalah sebuah keputusan konyol yang secara teknis sangat berbahaya, karena harusnya PDN sesuai dengan standar ISO dan TIER tertentu, menjadi specdown dan tidak sesuai standar lagi,” kata Roy Suryo.
Lanjut Roy Suryo, Budi Arie juga telah secara serampangan memindahkan rencana detail PDN yang sebelumnya sudah dirancang di empat lokasi tetap, menjadi hanya dua lokasi yang bersifat sementara.
“Itu pun perangkatnya hanya menyewa alias buang-buang anggaran percuma, karena sebelumnya sudah dianggarkan senilai Rp2,7 triliun dengan bantuan Prancis untuk Cikarang, Korea untuk Batam, Inggris dan Amerika untuk IKN dan NTT,” kata Roy Suryo.
Dalam kasus PDNS ini pun, tak kalah sepele. Meskipun anggaranya tidak sebesar proyek BTS, proyek in tergolong strategis sebab menyangkut pengelolaan data nasional. Sejak proyek ini dicanangkan, sejumlah kasus peretasan dan kebocoran data telah terjadi. Diduga akibat pengelolaan PDNS yang awut-awutan dan duitnya sebagian ditilap. Sehingga, pengerjaan dan pengeloiaannya tidak sesuai standar. Jika Presiden Prabowo Subianto masih meyakini digitalisasi di berbagai sektor sebagai salah satu kunci keberhasilan pemerintahnnya, maka dia pun harus memberika perhatian yang lebih serius terhadap pengelolaan PDNS. Dugaan keterlibatan eks pejabat hingga level menteri di kasus ini harus ditindaklanjuti sesuai hukum.
(R. Simangunsong)