Jakarta, LINews — Sejumlah organisasi sipil yang bergerak di bidang kemanusiaan, hukum, dan HAM mengkritik dugaan kriminalisasi sebagai modus untuk membuat pengkritik pemerintah dan aktivis publik diam.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menduga kriminalisasi terhadap para aktivis dilakukan agar pihak-pihak tertentu bisa menindas mengeksploitasi juga melanggar hak-hak atas nama pembangunan, investasi, dan lain-lain yang terkait proyek strategis.
“Kriminalisasi sebetulnya adalah modus dari para penguasa, pengusaha, oligarki supaya kita tidak memperjuangkan hak supaya kita diam,” ujar Arief, Rabu (2/8).
Dia juga membeberkan beberapa contoh kriminalisasi terhadap aktivis dan pengkritik pemerintah yang salah satunya melibatkan duo eks Koordinator KontraS Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti–dalam kasus pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Kemudian, dia juga menyebut kasus yang menyeret jurnalis Dandhy Laksono dan aktivis cum musisi Ananda Badudu usai mengkritik situasi pelanggaran HAM di Papua dan juga membantu mahasiswa aksi menolak RUU KPK juga KUHP.
“Kriminalisasi ini terjadi ketika masyarakat itu sedang memperjuangkan hak-haknya. Ada persoalan serius di situ,” tuturnya.
Ia juga mencatat beberapa pasal yang acap kali digunakan untuk mengkriminalisasi. Di antaranya Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Tentang Hukum PIdana.
“Pasal ini terkait berita bohong dan berita tidak lengkap. Ancamannya sangat mengerikan, bisa sampai 10 tahun,” kata dia.
Lalu, dia juga menyoroti Pasal 310 dan 311 KUHP tentang permintaan pencemaran nama baik. Selain itu, dia juga menyebut ada satu pasal zombie yang sebelumnya sudah tak dipakai namun berhasil menjerat seseorang, yakni Pasal 207 KUHP.
“Pasal 207 KUHP bicara tentang penghinaan terhadap presiden yang sekarang jadi delik aduan. Terakhir ada mantan tentara Ruslan Buton meminta Presiden Jokowi mundur karena dianggap melanggar dan mengabaikan konstitusi. Akan tetapi, dia justru dikriminalisasi dan dipenjara,” ujar Arif.
Perlindungan untuk Pengkritik Penguasa
Ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menilai perlindungan untuk para pengkritik pemerintah dan pekerja advokasi publik belum memadai di Indonesia sejauh ini.
Hal itu dia ucapkan lantaran banyak orang yang cenderung berada di pusat yakni DKI Jakarta, namun tetap berpotensi terjerat hukum atau dipidanakan.
“Di sentral Jakarta, Jawa perlindungan masih belum memadai. Apalagi di daerah,” ujar Zainal dalam diskusi yang sama.
Dia menyoroti kasus yang tengah menjerat akademisi Rocky Gerung. Menurutnya, Rocky mendapatkan pula simpati karena semua mata tertuju ke padanya.
Zainal juga menyoroti kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsat Pandjaitan yang menyeret Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Dia menilai Haris-Fatia cukup beruntung lantaran berada di sentral Jakarta sehingga bisa bersuara dan merupakan orang dengan figur penting.
“Bagaimana kalau yang di daerah dan tidak punya perlindungan apa-apa dan bukan bagian dari figur publik yang dianggap penting?” tuturnya.
Menurut Zainal, permasalahan kurangnya perlindungan untuk para pengkritik pemerintah atau aktivis publik bukan terletak pada aturan, melainkan tingkat pelaksanaan hukum itu sendiri.
“Di tingkat pelaksanaan, sehingga tidak bisa memberi perlindungan memadai untuk pekerjaan advokasi publik,” ujar Zainal.
Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengatakan semuanya berharap perbaikan, termasuk cara penguasa–pemerintah maupun parlemen–dan orang-orangnya dalam menghadapi kritik.
Menurutnya, Indonesia harus memiliki pemimpin yang tahan dengan kritik dan bisa menerima celaan sebagai bagian bagian dari dunia politisi.
“Dan menganggap bahwa kritik itu adalah obat agar tidak puas dalam bekerja,” tuturnya dalam diskusi yang sama.
Denny mengatakan pemimpin Indonesia seharusnya tak melihat kritik sebagai bagian dari perbuatan pidana sehingga mengkriminalisasi atau memenjarakan aktivis.
Terkait pelaporan pidana pengkritik, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) enggan mengomentari polah para relawannya yang memolisikan Rocky Gerung karena dianggap menghina dirinya. Dia mengaku lebih memilih kerja saja sebagai presiden.
“Itu hal-hal kecillah. Saya kerja saja,” kata Jokowi di Senayan Park, Jakarta, Rabu (2/8).
(Roy)