Jakarta, LINews – Eks Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Rina Pertiwi didakwa menerima suap sebesar Rp 1 miliar terkait pengurusan eksekusi lahan salah satu perusahaan BUMN. Jaksa mengatakan Rina menerima bagian Rp 797 juta dari total suap tersebut.
“Telah menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
Kasus ini bermula dari gugatan perdata ahli waris pemilik tanah di Jalan Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, yang dikuasai BUMN. Ahli waris itu memberikan kuasa ke seseorang bernama Ali Sofyan.
Gugatan perdata itu telah diputus hingga peninjauan kembali (PK) dengan hasil menghukum perusahaan BUMN membayar ganti rugi sebesar Rp 244.604.172.000 (Rp 244 miliar). Ali meminta bantuan Johanes dan Sareh Wiyono untuk mengurus eksekusi hasil putusan PK tersebut.
Ada tiga kali pertemuan yang dilakukan antara Ali, Johanes dan Sareh untuk membahas eksekusi putusan PK tersebut. Singkatnya, Ali memasukan surat permohonan eksekusi putusan PK melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Jaktim, dan telah lebih dulu menghubungi Rina yang bersedia membantu mengurus eksekusi putusan tersebut.
“Bahwa setelah saksi Ali Sofyan menerima surat kuasa tanggal 18 Februari 2020, selanjutnya pada pertengahan Februari 2020 Saksi Ali Sofyan memasukkan surat permohonan eksekusi tanggal 24 Februari 2020 melalui PTSP Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan bertemu dengan terdakwa di PTSP di mana sebelum saksi Ali Sofyan datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memasukkan surat permohonan eksekusi tersebut, Sareh Wiyono telah menghubungi terdakwa, yang saat itu menjabat sebagai panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur,” ujar jaksa.
Jaksa mengatakan surat permohonan eksekusi itu diteruskan ke meja ketua PN Jaktim. Lalu, surat permohonan itu didisposisi ke Rina selaku panitera.
“Bahwa setelah surat permohonan eksekusi dimasukkan ke PTSP, kemudian diteruskan ke meja ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk mendapatkan disposisi mengenai pelaksanaan eksekusi perdatanya. Selanjutnya surat tersebut didisposisi kepada terdakwa selaku panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur,” ucap jaksa.
Rina kemudian membuat resume surat permohonan eksekusi lahan yang diajukan Ali. Inti resume itu menerangkan penyitaan tak bisa dilakukan oleh pihak manapun ke aset badan milik negara/daerah, melainkan dimasukan dalam DIPA anggaran di tahun berjalan atau tahun selanjutnya.
“Yang isinya pada poin 7 adalah sebagai berikut; bahwa oleh karena termohon eksekusi adalah badan usaha milik negara merupakan instansi pemerintah, maka sesuai ketentuan Pasal 50 UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa uang atau barang milik negara atau daerah tidak dapat dilakukan penyitaan. Oleh karena itu, maka pelaksanaan eksekusi tidak didahului dengan sita eksekusi dan pelaksanaan eksekusi membebankan pemenuhan isi putusan tersebut untuk dimasukkan dalam anggaran DIPA pada para termohon eksekusi tahun anggaran berjalan atau tahun anggaran berikutnya,” ujar jaksa.
Jaksa mengatakan Rina tak menjalankan resume tersebut. Jaksa mengatakan pada kenyataanya Rina tetap melakukan penyitaan pada rekening salah satu perusahaan BUMN senilai Rp 244.604.172.000 (Rp 244 miliar).
“Akan tetapi faktanya diproses faktanya proses pelaksanaan eksekusi terhadap putusan peninjauan kembali nomor 795PK Tanggal 14 November 2019 tetap dilaksanakan oleh terdakwa selaku panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur,” ujar jaksa.
Jaksa mengatakan Rina diyakini menerima bagian dari total suap Rp 1 miliar terkait eksekusi lahan dari Ali Sofyan itu sebesar Rp 797 juta. Uang itu diterima Rina secara transfer dan cash.
“Maka total keseluruhan uang yang diterima oleh terdakwa dari saksi Ali Sofyan melalui saksi Dede Rahmana yaitu sebesar Rp 1 miliar. Dengan rincian yaitu uang sebesar Rp 797.500.000 (Rp 797 juta) diterima oleh terdakwa dan sisanya sebesar Rp 202.500.000 (Rp 202 juta) diberikan oleh terdakwa kepada saksi Dede Rahmana,” ujar jaksa.
Rina Pertiwi didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 12B atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
(Lukman)