Jakarta, LINews – Fadel Muhammad keberatan dengan keputusan pencopotan dirinya dari Wakil Ketua MPR unsur DPD. Fadel menolak mosi tidak percaya yang ditandatangani 102 anggota DPD terhadapnya.
Hal itu disampaikan tim kuasa hukum Fadel Muhammad, Pitra Romadoni Nasution dan Elza Syarief. Keterangan itu sekaligus merupakan hak jawab dari pihak Fadel Muhammad atas pencopotan di DPD.
“Bahwa klien kami adalah dr. Ir. Fadel Muhammad yang merupakan salah satu Wakil Ketua MPR RI dari Unsur DPD RI yang dalam pemilihannya telah melalui hasil pemungutan suara (voting) meraih suara terbanyak, yaitu 59 suara dari 136 anggota,” kata Pitra dalam keterangan tertulis, Selasa (23/8/2022).
Pitra mengatakan Fadel juga menolak mosi tidak percaya yang ditandatangani itu. Pitra menilai mosi tidak percaya itu tak berdasarkan aturan yang berlaku.
“Bahwa mosi tidak percaya yang disampaikan dalam rapat paripurna pada tanggal 15 Agustus 2022 oleh para anggota DPD RI ini tidak berdasarkan hukum yang wajib ditaati sebagaimana sumpah jabatan seluruh pimpinan dan anggota DPD juga secara konstitusional mosi tidak percaya tidak dikenal dan diakui dalam struktur negara Republik Indonesia dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI 1945),” ujarnya.
Berikut ini pernyataan lengkap keberatan Fadel Muhammad atas pencopotan dirinya:
Hak Jawab Tim Penasehat Hukum Fadel Muhammad Terkait Mosi Tidak Percaya
Bersama ini Kami menyatakan keberatan dan penolakan atas mosi tidak percaya yang dibuat dan di tandatangani oleh 102 (seratus dua) Anggota DPD RI. Adapun dasar hukum penolakan tersebut, kami sampaikan sebagai berikut:
1. Bahwa klien kami adalah dr. ir. Fadel Muhammad yang merupakan salah satu Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI yang dalam pemilihannya telah melalui hasil pemungutan suara (voting) meraih suara terbanyak yaitu 59 Suara dari 136 Anggota.
2. Bahwa pencalonan, pemilihan dan pengangkatan klien kami sebagai Wakil Ketua MPR telah memenuhi syarat dan melalui mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) dan ketentuan Pasal 19 Peraturan MPR Nomor 1 tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat serta telah dituangkan dalam Surat Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 3 Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Bahwa pada rapat paripurna tanggal 15 Agustus 2022 merupakan agenda konstitusional untuk mendengarkan laporan kinerja dari klien kami selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2019 – 2024 yang kemudian pada saat itu juga Ketua DPD RI melayangkan pendapat tentang mosi tidak percaya terhadap klien kami selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat serta terdapat mosi tidak percaya yang telah ditandatangani oleh 91 Anggota DPD RI berdasarkan bukti pada berita di media online 2022, Uritanet tanggal 15 Agustus 2022, Rakyat Merdeka tanggal 16 Agustus, Antaranews tanggal 17 Agustus 2022, dan Rakyat Merdeka tanggal 17 Agustus 2022;
4. Bahwa dalam perjalanannya kariernya selama 2 tahun lebih klien kami mengabdikan diri sebagai wakil rakyat yang belakangan ini mendapat desakan dari 102 Anggota DPD RI untuk menarik diri dari jabatan sebagai Wakil Ketua Majelis Persmusyawaratan Rakyat dari Unsur Dewan Perwakilan Daerah melalui mosi tidak percaya yang di tandatangani oleh 102 Anggota DPD pada saat rapat paripurna pada tanggal 15 Agustus 2022 kami anggap telah cacat hukum dan inkonstitusional;
5. Bahwa mosi tidak percaya yang di sampaikan dalam rapat paripurna pada tanggal 15 Agustus 2022 oleh para anggota DPD RI ini tidak berdasarkan hukum yang wajib di taati sebagaimana sumpah jabatan seluruh pimpinan dan anggota DPD juga secara konstitusional mosi tidak percaya tidak dikenal dan diakui dalam struktur negara Republik Indonesia dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI 1945), Undang-Undang, Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :
a) Pasal 99 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menyatakan bahwa Badan Kehormatan memiliki masa jabatan untuk satu tahun siding Berdasarkan hal tersebut, setelah tanggal 15 Agustus dimana tahun sidang 2021-2022 telah ditutup dengan pidato ketua DPD dalam sidang paripurna, maka semua pimpinan dan anggota alat kelengkapan DPD termasuk pimpinan dan anggota Badan Kehormatan sudah tidak lagi menjabat sampai dengan ditentukan keanggotaan baru dalam sidang paripurna DPD dan dilakukan pemilihan pimpinan Badan Kehormatan yang baru. Untuk itu, segala kegiatan alat kelengkapan DPD terhitung setelah pidato penutupan tahun sidang 2021-2022 pada tanggal 15 Agustus adalah tindakan yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku;
b) Pasal 298 ayat (3) Peraturan Tata Tertib DPD menegaskan bahwa Badan Kehormatan berwenang untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik. Selain itu, dalam Pasal 100 Peraturan Tatib DPD ditegaskan tugas Badan Kehormatan adalah melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
1) Tidak melaksanakan kewajiban;
2) Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a;
3) Tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d;
4) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e;
5) Melanggar pakta integritas; dan/atau;
6) Melanggar ketentuan larangan Anggota;
Kemudian Pasal 240 Peraturan Tata Tertib DPD makin memberikan penegasan bahwa pengaduan disampaikan oleh masyarakat tentang perilaku anggota DPD.
c) Berikutnya fakta hukum terkait pemberhentian anggota DPD, pakta integritas, kewajiban, larangan dan sanksi sebagai berikut:
1) Pasal 25 Peraturan Tata Tertib DPD mengatur tentang pemberhentian antar waktu, yang utama disini adalah terkait dengan ketentuan “diberhentikan”. Dalam hal ini ketentuan tersebut telah memberikan kepastian hukum bahwa, anggota diberhentikan antarwaktu apabila:
• tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;
• melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik;
• dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
• tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat Alat Kelengkapan yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
• tidak memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum; atau
• melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Peraturan DPD ini.
2 )Pasal 11 Peraturan Tatib DPD mengatur Pakta Integritas yang mengatakan bahwa pakta integritas yang harus dijalankan oleh anggota adalah:
• bersedia dan bersungguh-sungguh menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang DPD;
• bersedia ditugaskan DPD sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang DPD;
• tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
• bersedia melaporkan harta kekayaan secara jujur dan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
• tidak menerima dan/atau memberi imbalan atau hadiah dari pihak lain, secara melawan hukum terkait tugas dan kewajibannya termasuk Pimpinan Alat Kelengkapan; dan
• menaati sanksi atas pelanggaran karena tidak memenuhi kewajiban sebagai Anggota sebagaimana diatur dalam Peraturan DPD tentang Tata Tertib dan/atau Kode Etik.
3) Pasal 13 mengatur tentang kewajiban Anggota DPD yaitu :
• Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
• melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang- undangan;
• mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
• mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah;
• menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara daerah.
• menaati tata tertib dan kode etik;
• mematuhi dan/atau menaati keputusan lembaga;
• menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
• menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat;
• memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya; dan
• menyebarluaskan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
4) Pasal 298 tentang larangan bagi anggota DPD adalah tidak boleh rangkap jabatan, dilarang melakukan pekerjaan lain, dilarang melakukan KKN dan menerima gratifikasi;
5) Pasal 299 ayat (1) mengatur tegas tentang sanksi bagi anggota yang tidak melaksanakan kewajiban berupa sanksi teguran lisan, teguran tertulis, diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan dan/atau diberhentikan sebagai Anggota DPD. Selanjutnya ayat (2) mengatur tentang sanksi pemberhentian bagi anggota yang terbukti melanggar ketentuan larangan anggota DPD. Ayat (3) mengatur tentang sanksi pemberhentian sebagai anggota bagi anggota yang terbukti melakukan KKN berdasarkan keputusan pengadilan.
6. Bahwa berdasarkan uraian poin 5 (lima) di atas dapat ditegaskan bahwa Mosi tidak percaya tidak dikenal dalam ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan terutama yang mengatur tentang pelaksanaan tugas MPR dan DPD. Pimpinan dan keanggotaan alat kelengkapan DPD terhitung sejak penutupan tahun sidang 2021-2022 pada tanggal 15 Agustus 2022 telah berakhir masa jabatannya. Sebelum diadakan penetapan keanggotaan dan pemilihan pimpinan untuk tahun sidang 2022-2023, segala bentuk pelaksanaan tugas alat kelengkapan termasuk Badan Kehormatan tidak sesuai atau bahkan melanggar peraturan perundang-undangan, dan Badan Kehormatan hanya memiliki kewenangan untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik, melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota yang disampaikan oleh masyarakat (bukan anggota dan/atau pimpinan DPD) serta Sanksi bagi anggota DPD diberikan hanya ketika anggota melanggar sumpah/janji jabatan, melanggar pakta integritas, melanggar kewajiban, dan melanggar larangan. Sanksi yang diberikan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut hanya berupa teguran lisan, teguran tertulis, diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan dan/atau diberhentikan sebagai Anggota DPD.
7. Bahwa laporan hasil kinerja yang klien kami sampaikan sebagai bentuk akuntabilitas pelaksanaan tugas selaku Wakil Ketua MPR selama satu tahun sidang telah sesuai dengan ketentuan pasal 138 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib.
8. Bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut dari penyampaian laporan kinerja klien kami selaku wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat selain laporan tersebut di tindaklanjuti oleh Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana ketentuan pasal 138 ayat 2 peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib.
9. Bahwa mosi tidak percaya yang Inkonstitusional terhadap klien kami yang disampaikan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah untuk ditindaklanjuti jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 99 Peraturan Tata Tertib DPD yang menyatakan “Pimpinan Badan Kehormatan memiliki masa jabatan untuk satu tahun sidang”.
Sehingga setelah tanggal 15 Agustus, sidang tahunan 2021-2022 telah ditutup dengan pidato ketua DPD dalam sidang paripurna, maka semua pimpinan dan anggota alat kelengkapan DPD termasuk pimpinan dan anggota Badan Kehormatan sudah tidak lagi menjabat sampai dengan ditentukan keanggotaan baru dalam sidang paripurna DPD dan dilakukan pemilihan pimpinan Badan Kehormatan yang baru. Untuk itu segala kegiatan alat kelengkapan DPD terhitung setelah pidato penutupan tahun sidang 2021-2022 pada tanggal 15 Agustus adalah tindakan yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku;
10. Bahwa sampai saat ini tidak pernah dapat dijelaskan serta tidak terdapat dasar hukum yang menjadi kesalahan Klien Kami sehingga para anggota DPD RI yang menandatangani mosi tidak percaya yang inkonstitusional kepada klien kami dan klien kami tidak pernah diperiksa terkait adanya pelanggaran kode etik dari Badan Kehormatan.
Berdasarkan hal tersebut, maka kami selaku Kuasa Hukum Ir. Fadel Muhammad menilai mosi tidak percaya yang dibuat dan di tandatangani oleh 102 Anggota DPD RI tidak sesuai ketentuan aturan yang berlaku (inkonstitusional). Sehingga sudah sepatutnya mosi tidak percaya tersebut dinyatakan Inkonstitusional dan cacat hukum, serta klien kami akan menempuh jalur hukum terhadap keputusan tersebut.
(Red)