Fenomena Politisasi Penegakan Hukum #2

Fenomena Politisasi Penegakan Hukum #2

Law-Investigasi,

Memandirikan Hukum

Negara Indonesia adalah negara hukum sehingga sudah seharusnya hukum menjadi panglimanya. Oleh karena itu salah satu amanah reformasi 1998 adalah menjadikan hukum sebagai panglima dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sejalan dengan komitmen para pendiri bangsa dan negara ini (the Founding Fathers) yang meletakkan fondasi dasar negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat) semata.

Politik sejatinya adalah sarana untuk mencapai kekuasaan dan kesejahteraan itu ingin dicapai sesuai dengan tujuan negara. Problematika sering muncul karena aktor politik adalah juga aktor pembuat aturan hukum itu sendiri yang tidak pernah sunyi dari kepentingan politiknya.

Namun beberapa fenomena bernegara masih saja menampakan fakta yang sebaliknya. Politik masih sangat dominan sebagai penyetirnya. Benturan politik dan hukum masih saja terjadi karena adanya kepentingan politik mereka yang tengah berkuasa

Kekuasaan atau politik selalu mengalami abuse of Power karena yang menjadi orientasinya adalah kepentingan kelompok sesaat tanpa melihat orientasi penegakan hukum sebagai acuannya. Degradasi hukum oleh politik atau kekuasaan ini telah menimbulkan gejala- gejala yang buruk terhadap perkembangan struktur penegakan hukum di Indonesia.

Kekuasaan yang dominan tanpa pengawasan hukum yang efektif tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter. Lord Acton menyatakan “ Power tends to corrupt but absolutely power tends to corrupt absolutely. Pernyataan tersebut mengindikasikan setiap kekuaasaan yang ada tanpa pengaturan hukum tentu akan mengalami penyimpangan.

Fakta yang terjadi sekarang bahwa konfigurasi politik atau kekuasaan terhadap perkembangan hukum telah membelenggu penegakan hukum tersebut. Hukum yang menjadi simbol keadilan hanyalah tajam ke bawah(red. rakyat) namun tumpul ke atas (red. penguasa).

Kemandekan hukum terhadap para elite politik dan penguasa ini telah menimbulkan disorientasi hukum sendiri sedangkan hukum seyogianya dijadikan variable bebas (berpengaruh)terhadap politik atau hukum semestinya perekayasa politik, namun hal tersebut berbanding terbalik dalam implementasinya.

Oleh karena itu penegakan hukum sejatinya harus dilaksanakan objektif, professional, proporsional dengan tetap mengacu nilai dasar hukum yaitu aitu rasa keadilan, kebenaran, kejujuran, kepastian dan kemanfaatannya.Ia harus pegangan pemerintah dan seluruh aparatur penegakan hukum yang diberikan mandat untuk menjalankannya.

Bila penegakan hukum komit dan berpedoman pada nilai dasar maka hukum akan membawa keberkahan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang dinaunginya. Dan kehidupan berbangsa bernegara aman tenteram, damai, harmonis, beradab, jauh dari rasa dendam dan perpecahan guna terwujudnya masyarakat adil makmur sejahtera yang diridhai Allah SWT. Tanpa mengedepankan nilai-nilai dasar hukum dimaksud, negara hanya “apologis semata”.

Berkaca pada kondisi yang dikemukakan diatas lalu langkah apa yang dibutuhkan untuk membenahinya ?

Pertama, aktor politik atau pelaku kekuasaan politik yang diberi kewenangan membentuk Undang-undang seyogyanya mengabdi pada kepentingan kesejahteraan rakyat sesuai tujuan negara. Bukan lagi berdiri di atas kepentingan partai politik pengusungnya atau oligarki yang telah mengongkosinya. Karena ketika kekuasaan diperoleh, aktor politik telah menjadi alat negara bukan lagi alat kepentingan politik yang telah mengusungnya.

Kedua, wilayah penegakan hukum harus dibuat terbebas dari kepentingan politik atau intervensi penguasa maupun pengusaha. Lembaga penegak hukum adalah termasuk dalam sistem hukum yang berfungsi sebagai institusi penegaknya. Kemandirian atau independensi dari lembaga penegak hukum tentu akan mengefektifkan fungsi dan tujuan ideal dari hukum yaitu pemberian keadilan substansial bagi seluruh warga negara.

Dalam hal ini Prof. Sri Soemantri M, SH Guru Besar Hukum Tata Negara UNPAD menganologikan hukum dan politik seperti rel dan kereta. Jika rel diibaratkan hukum dan kereta api sebagai politik, maka kereta api ini kerap kali berjalan diluar relnya. Artinya hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya karena intervensi politik pemegang kuasa. Oleh karena itu kereta harus dijalankan sesuai dengan relnya.Arinya hukum harus tetap menjadi panglima sesuai amanat konsitusi kita.

Ketiga, Kita tidak hanya membutuhkan peran politik dan hukum semata. Baik politisi maupun aktor hukum membutuhkan etika. Not only rule of law, rule of politics, but rule of ethics. Rekonstruksi, reposisi, restrukturisasi dan Etika moralitas politik-hukum, niscaya akan mendamaikan politik dan hukum demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Ke empat, mendorong supaya hukum bisa bersifat otonom. Hukum yang otonom adalah hukum yang mampu berdiri sendiri di dalam nilai dasarnya yaitu keadilan, kepastian dan kemamfaatan. Ketika hukum bersifat otonom di atas nilai dasarnya maka hukum adalah menjadi variable yang berpengaruh kepada kekuasaan dan politik. Hukum tentu yang menjadi rambu- rambu dalam menjalankan kekuasaan dan politik bukan yang lainnya.

Kelima, memurnikan hukum. Kemurnian hukum tentu akan menjaga eksistensinya sebagai alat perekayasa sosial (tools as engenairing social). Hukum sebagai peraturan harus mampu merekayasa kehidupan sosial untuk memberikan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan, sehingga hukum sendiri terlepas dari pengaruh kekuasaan yang bisa merusak misinya.

(Vhe)

Tinggalkan Balasan