Law-investigasi, Pertama pasca reformasi, mahasiswa, intelektual, kaum muda, unsur partai dan tokoh politik bersatu dalam satu barisan aksi oposisi. Dipicu upaya DPR untuk menjegal putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pilkada, ribuan orang berpusat di depan DPR menyuarakan dukungan terhadap MK dan menolak cawe-cawe. Pertama dalam sejarah kepemimpinan Joko Widodo, parlemen tunduk pada desakan publik. Pembahasan RUU Pilkada dibatalkan. Apakah perlawanan ini akan terus bergulir atau bakal digantikan dengan hiruk pikuk Pilkada 2024?
Fenomena akhir-akhir ini yang terjadi terkait pendaftaran Pilkada Serentak 2024 menjadi dinamika tersendiri di Indonesia. Belakangan fenomena koalisi KIM Plus yang terjadi di setiap daerah pada kontestasi Pilkada 2024. Terhitung hanya PDI Perjuangan yang cenderung berbeda koalisi dengan KIM Plus di mayoritas daerah di Pilkada 2024. Pilkada serentak lantas berubah aras menjadi upaya menjegal PDI Perjuangan menjadi peserta Pilkada. Dengan syarat minimal 20 persen gabungan kursi di DPRD, Partai ini tak mungkin berlenggang sendiri di hampir seluruh daerah.
Khusus di provinsi di pulau Jawa, gerakan alienasi PDI Perjuangan nyaris berhasil. Penggalangan partai pemenang pemilu dalam Koalisi Indonesia Maju yang mulai menggarap partai-partai rival mulai menunjukkan hasil. Di Jakarta, PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai pemilik kursi yang tidak bergabung dalam KIM+. Akibatnya, partai ini terancam absen di Pilkada DKI. Di Banten, KIM+ mendapat cobaan yang tak kalah seru. Partai Golkar yang dimotori oleh keluarga almarhun H Chasan, bersikukuh mencalonkan Airin sebagai Bacagub Banten. Airin merupakan menantu dari H Chasan setelah menikahi TB Chairawan alian Wawan. Airin, justru berkoalisi dengan PDI Perjuangan yang mengusung Ketua DPD Banten Ade sebagau Cawagub.
Skenario KIM+ nyaris berjalan mulus, saat tiba-tiba berita menggegerkan datang Merdeka Barat. Di luar spekulasi, Mahkamah Konstitusi membuat putusan fenomenal yang merusak skenario KIM+. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD. MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Dilansir dari mkri.id, Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Putusan perkara yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora ini dibacakan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Ketua MK Suhartoyo yang membacakan Amar Putusan tersebut menyampaikan Mahkamah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian. Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon Gubernur dan calon wakil Gubernur:
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di Provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di Provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di Provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di Provinsi tersebut;
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:
- Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di Kabupaten/Kota tersebut;
- Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di Kabupaten/Kota tersebut;
- Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di Kabupaten/Kota tersebut;
- Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di Kabupaten/Kota tersebut.
“Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo.
Putusan ini seolah menjadi titik balik bagi PDI Perjuangan, tiba-tiba kartunya hidup lagi. Bahkan, PDI Perjuangan bisa berlaga di Pilkada Jakarta sendiri. Selain PDI Perjuangan, ada lagi sosok yang diuntungkan dengan beleid ini, Anies Baswedan. Kandas di Pilpres 2024, Anies memiliki peluang untuk mejajal peruntungan di Pilkada Jakarta. Modal utamanya, tentu saja, elekbilitasnya yang selalu nomor 1 di sejumlah survey. Sayangnya, nasib Anies seolah serupa PDI Perjuangan. Usai Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bergabung dengan KIM++, nasib politik Anies suram. Meskipun merupakan pengusung Anies saat menjadi capres, ketiganya mencabut dukungan untuk Anies di Pilkada Jakarta.
Bara dari Senayan
Rupanya putusan MK ini tidaklah serta merta diterima. Upaya perlawanan dari KIM++ menyeruak. Melalui kewenangan legislasi, KIM++ berhasil menyelundupkan RUU Pilkada menjadi pembahasan. PDI Perjuangan kalah telak di Baleg. Beleid ini pun lancar melaju ke paripurna. Upaya koppig parlemen ini justru memantik perlawanan dari kelompok sipil. Kalangan mahasiswa, pemuda dan intelektual ramai-ramai menyoroti upaya DPR yang senaytaya dianggap endk membegal kewenangan MK.
Ya, dalam RUU Pilkada yang akan dibahas tersebut, DPR beritikad mengabaikan sebagian putusan MK. Terutama soal syarat pilkada untuk partai pemilik kursi DPRD. Jika RUU ini lolos, maka PDI Perjuangan tetap dalam posisi teralienasi. Selain soal syarat kursi, RUU Pilkada juga akan mengeliminir putusan MK tentang syarat usia calon kepala daerah. DPR akan berpegang pada putusan MA yang mensyaratkan syarat minimal usia dihitung saat pelantikan, bukan saat pendaftaran sesuai putrusan MK. Beleid iin diyakini merupakan upaya untuk memuluskan langkah putra bungsu Jokowi untuk melaju di Pilkada. Kaesang Pangarep digadang-gadang akan melaju di Pilkada Jawa Tengah, setelah beredar informasi yang bersangkutan mengurus dokumen pendukung. Sebelumnya, Kaesang juga diproyeksi untuk maju di Jakarta.
Gelombang perlawanan pun semakin masif. Dua isyu utama menjadi amunisi peserta aksi, pembegalan konstitusi dan dinasti politik.
Tekanan aksi massa yang masif, efektif membuat parlemen jiper. PDI Perjuangan yang sedari awal beritikad untuk tidak hadir di Paripurna, ternyata tidaksendiri. Dalam paripurna yang digelar kamis (22/8/2024) kurang dari 30 persen anggota yang hadir. Akibatnya, kuorom tidak tercapai.
Pimpinan DPR Sufmi Dasco Ahmad pun mengumumkan bahwa revisi UU Pilkada batal. Menurutnya, semua poin di RUU Pilkada otomatis batal dan putusan yang berlaku adalah Putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70.
“Iya putusan MK itu kan berlaku dan bersifat final and binding. Nah ketika kemudian ada undang-undang baru, tentunya kan undang-undang baru. Tapi kan undang-undang barunya nggak ada. Jadi kita tegaskan di sini putusan yang berlaku, yaitu putusan MK Nomor 60, Putusan MK Nomor 70,” ujar Dasco dalam konferensi pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Menurut pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, putusan MK 60 dan 70 sudah seharusnya dijalankan KPU. Namun, DPR menyanggahnya atas kepentingan politik tertentu. Ini yang menurutnya Indonesia sedang terjadi krisis konstitusi.
“Bagi publik, itu terlihat jelas sebagai pembajakan. Kita dalam negara ada trias poliitka. Memang legislatif berwenang membuat UU, tapi kan harus merujuk konstitusi. Lalu yang menguji UU itu sesuai konstitusi atau tidak kan MK,” kata dia.
Kata Bivitri, kalau manuver politik terus terjadi, kartel politik akan menguasati sistem demokrasi dan hukum Indonesia. “Nah kita harus paham bahwa kartel politik itu artinya memang pimpinan-pimpinan parpol punya kesepakatan di antara mereka untuk membuat persekongkolan di antara mereka gitu sama kayak kartel dagang kan menentukan harga. Biasanya kartel politik itu artinya dia akan diuntungkan dari suatu keputusan politik yang sifatnya kartel tadi diuntungannya biasanya secara finansial,” kata dia.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid bilang gerakan mahasiswa saat ini sedang menumbuh kembangkan gerakan demokrasi sosial yang baru. Gerakan mereka seperti bibit-bibit demokrasi sosial baru yang lebih transformatif dibanding gerakan mahasiswa di era 98.
“Kalau melihat tuntutan, mereka masih mempertahankan liberalisme politik, seperti kebebasan berpendapat, reformasi kepolisian, militer, pemilu yang demokratis hingga pemberantasan korupsi yang sebelumnya belum diperjuangkan di era 98 karena saat itu terfokus lepas dari belenggu kekuasaan orde baru,” kata dia.
“Selain mempertahakan agenda liberalisme politik mahasiswa era 98, mereka saat ini memperluas agenda liberalisme baru. Yaitu seperti reforma agraria, perlindungan hak masyarakat adat dari PSN sampai protes UU Cipta Kerja,” ia menambakan.
Menurutnya, ketahanan gerakan mahasiswa ini sedang proses pembibitan. Sehingga tergantung dari cara merawatnya untuk tetap tumbuh dan besar. Tetapi dengan dua agenda demokrasi sosial dan politik, mereka menempatkan faktor Jokowi sekadar faktor pelengkap untuk mempersonifikasi problem struktural semisal sistem pemilu yang kental dengan praktik kartel politik-ekonomi yang intinya ketimpangan sosial, ketidakadilan ekonomi. Jadi gerakan mahasiswa sekarang ini tidak akan bersifat sebentar, tidak hanya misal sampai jokowi tumbang. Karena mereka tampaknya belajar dari gerakan di 98 kalau penggulingan Suharto bukan segala-galanya.
(R. Simangunsong)